Sekali lagi untuk hari ini.
Kemarahan yang meluap. Kekecewaan yang meluber dari wadahnya. Tangis, bukan
hanya tangis air mata, tapi juga tangis darah. Darah yang mengental, hingga tak
setetespun keluar dari sudut mata. Ada benda tak berwujud di jantung ini, benda
yang begitu keras dan berat. Menekan kuat hingga sanggup membunuh, perlahan
namun pasti. Lebih dari sekedar tikaman pisau berkarat. Sederhana, namun
berharga. Ini hanya tentang kejujuran yang sudah tak laku lagi untuk dijual,
meskipun dengan harga 50 rupiah, atau bahkan gratis.
Berkali-kali mata ini harus
terbuka untuk melihat berbagai macam ulah manusia negeri ini. Manusia? Masih
layakkah mereka disebut manusia. Makhluk yang diciptakan untuk menjadi pemimpin
dunia ini. Masih pantaskah mereka menyandang gelar sebagai makhluk yang paling
sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Haruskah mulut ini menyebut
mereka manusia? Saat tak ada satupun dari apa yang dilakukannya mencerminkan
tindakan makhluk berakal dan berhati nurani. Akal dan hati nurani, bukankah itu
yang membedakan anatara manusia dan binatang. Bagaimana kalau keduanya
sama-sama tak memiliki akal dan nurani? Bukankah itu artinya mereka sama, hanya
berbeda rupa.
Hari ini, aku harus melihat
sesuatu yang tak pantas aku lihat. Bukan karena aku masih dibawah umur, aku
sudah cukup tua untuk dianggap berumur. Pagi ini aku kembali menyadari banyak orang
disekitarku yang berpura-pura. Berpura-pura tidak punya uang, namun ternyata
punya gudang harta. Bukan hanya mereka yang selalu mengadahkan tangan di
perempatan jalan. Berpura-pura sakit, menggendong anaknya yang masih dibawah
umur. Bukan hanya mereka yang masuk ke kampus-kampus membawa kantong-kantong
bekas bungkus permen. Tidak sekedar mereka yang datang dengan mobil dan turun
dengan baju compang-camping lengkap dengan gelas plastik bekas air minum merk
tertentu, bagaikan artis sedang bermain peran. Namun, juga mereka yang berdasi,
naik mobil mengkilap, lengkap dengan jas warna hitam.
Mereka yang mendadak
menjadi begitu alim saat tiang gantungan mulai dipancangkan. Mereka yang
mendadak kaya untuk membeli selembar kain untuk menutup rambut dan tubuh mereka saat vonis dijatuhkan.
Apakah mereka bisa disebut manusia?
Layakkah?
Aku mengenal banyak
makhluk, banyak sekali, bukan hanya satu dua, lebih. Hanya saja baru sekali ini
aku melihat makhluk seperti mereka. Makhluk langka yang sangat tidak layak
untuk dilestarikan. Bahkan seumur hidupku, aku belum pernah menemukan makhluk
seperti mereka, di hutan belantara sekalipun. Mereka dengan beraninya (atau
tanpa malu?) mempermainkan agama. Menggelapkan uang untuk ibadah. Menyimpan
uang untuk pembelian alat ibadah dalam rekening masing-masing. Ingin rasanya
aku ambil uang itu, membagikannya ke rakyak kelaparan dibantaran kali. Seperti
apa yang dikerjakan si Robin Hood. Mengambil uang dari si kaya dan
membagikannya kepada si miskin. Tapi, aku tak mampu. Aku hanya bisa geram
melihat tingkah laku mereka, yang terlihat bijaksana saat dihadapan kamera dan
para wartawan. Namun, ternyata hanya omong kosong belaka.
Aku marah, sangat marah.
Bukan sekali dua kali aku memperingatkan mereka atas apa yang mereka lakukan.
Melalui para mahasiswa yang aku pikir saat ini hanya mereka yang masih punya
nurani, walau hanya saat mereka jadi mahasiswa. Bersama mereka para buruh yang
merasa hak-nya tidak tersampaikan ketangan mereka. Bersama para ibu rumah
tangga yang ‘terpaksa’ menjadi penambah devisa negara dengan mengais rejeki di
negeri orang. Mereka yang mencari makan bersama buliran air mata penghinaan,
yang terpaksa menelan kemarahan saat mereka dipanggil ‘Indon’. Hingga saat ini,
hingga detik ini, aku masih selalu bersama mereka. Mengukur panjangnya jalan
perjuangan ini. Menegakkan kembali apa yang memang seharusnya ditegakkan. Mencoba meletakkan kembali nurani di hati
manusia, bukan di tong sampah.
Namun, aku ingin kalian
semua tahu. Aku tak selalu berada dalam barisan aksi. Aku tahu di pihak mana
aku harus perpihak, tidak kepada semua orang. Tidak setiap saat aku ada dalam
barisan panjang demonstran untuk memenuhi jalan. Aku tidak bersama mereka yang memperjuangkan
kebebasan yang tak terbatas. Kebebasan tak terbatas itu hanya akan
menghancurkan moral bangsa ini secara perlahan. Aku tidak pernah menaruh
simpati kepada mereka yang aksi hanya untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan saja. Hanya bermain kepentingan. Aku tidak akan pernah berpihak kepada
mereka yang hanya mencari ‘enaknya bagaimana’. Aku hanya akan berpihak kepada
mereka yang memperjuangkan ‘seperti apa baiknya’. Bagiku, baik tidak selalu enak,
dan enak belum tentu baik.
Aku ingin berkata jujur.
Maaf kalau ini terlalu menyakitkan untuk kalian dengarkan. Aku tahu dengan baik
apa yang terjadi kepada bangsa ini. Bahkan aku tahu saat semua itu belum
terjadi. Tsunami yang melanda Aceh, gempa bumi yang pernah menghancurkan kota
Yogyakarta, meletusnya merapi, bom Bali, dan berbagai kejadian yang pernah
melanda bangsa ini. Aku sudah coba mengatakannya kepada kalian semua sebelum
itu semua terjadi, dengan bahasaku tentunya. Namun, debu itu telah menutup hati
kalian. Kalian lebih percaya dengan paranormal, orang pintar, atau seperti
apapun itu kalian menyebutnya. Aku lebih suka menyebut mereka dukun. Aku
terkadang heran, bukankah kalian sudah belajar banyak hal dari sejarah, kenapa
masih saja ada yang percaya dengan hal-hal seperti itu. Bukankah sudah
berkali-kali mereka gagal dan selalu gagal.
Kenapa tidak ada satupun yang mencoba untuk percaya kepadaku, kepada
ibumu, ibu pertiwi.
Surga masih
ditelapak kaki ibu
Tulisan
ini dikutsertakan dalam lomba ‘Paling Indonesia’
Tidak ada komentar:
Write Comment