Sabtu, Juni 30, 2012

Suara Ibu



Sekali lagi untuk hari ini. Kemarahan yang meluap. Kekecewaan yang meluber dari wadahnya. Tangis, bukan hanya tangis air mata, tapi juga tangis darah. Darah yang mengental, hingga tak setetespun keluar dari sudut mata. Ada benda tak berwujud di jantung ini, benda yang begitu keras dan berat. Menekan kuat hingga sanggup membunuh, perlahan namun pasti. Lebih dari sekedar tikaman pisau berkarat. Sederhana, namun berharga. Ini hanya tentang kejujuran yang sudah tak laku lagi untuk dijual, meskipun dengan harga 50 rupiah, atau bahkan gratis.

Berkali-kali mata ini harus terbuka untuk melihat berbagai macam ulah manusia negeri ini. Manusia? Masih layakkah mereka disebut manusia. Makhluk yang diciptakan untuk menjadi pemimpin dunia ini. Masih pantaskah mereka menyandang gelar sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain.

Haruskah mulut ini menyebut mereka manusia? Saat tak ada satupun dari apa yang dilakukannya mencerminkan tindakan makhluk berakal dan berhati nurani. Akal dan hati nurani, bukankah itu yang membedakan anatara manusia dan binatang. Bagaimana kalau keduanya sama-sama tak memiliki akal dan nurani? Bukankah itu artinya mereka sama, hanya berbeda rupa.

Hari ini, aku harus melihat sesuatu yang tak pantas aku lihat. Bukan karena aku masih dibawah umur, aku sudah cukup tua untuk dianggap berumur.  Pagi ini aku kembali menyadari banyak orang disekitarku yang berpura-pura. Berpura-pura tidak punya uang, namun ternyata punya gudang harta. Bukan hanya mereka yang selalu mengadahkan tangan di perempatan jalan. Berpura-pura sakit, menggendong anaknya yang masih dibawah umur. Bukan hanya mereka yang masuk ke kampus-kampus membawa kantong-kantong bekas bungkus permen. Tidak sekedar mereka yang datang dengan mobil dan turun dengan baju compang-camping lengkap dengan gelas plastik bekas air minum merk tertentu, bagaikan artis sedang bermain peran. Namun, juga mereka yang berdasi, naik mobil mengkilap, lengkap dengan jas warna hitam.

Mereka yang mendadak menjadi begitu alim saat tiang gantungan mulai dipancangkan. Mereka yang mendadak kaya untuk membeli selembar kain untuk menutup rambut  dan tubuh mereka saat vonis dijatuhkan. Apakah mereka bisa disebut manusia?  Layakkah? 

Aku mengenal banyak makhluk, banyak sekali, bukan hanya satu dua, lebih. Hanya saja baru sekali ini aku melihat makhluk seperti mereka. Makhluk langka yang sangat tidak layak untuk dilestarikan. Bahkan seumur hidupku, aku belum pernah menemukan makhluk seperti mereka, di hutan belantara sekalipun. Mereka dengan beraninya (atau tanpa malu?) mempermainkan agama. Menggelapkan uang untuk ibadah. Menyimpan uang untuk pembelian alat ibadah dalam rekening masing-masing. Ingin rasanya aku ambil uang itu, membagikannya ke rakyak kelaparan dibantaran kali. Seperti apa yang dikerjakan si Robin Hood. Mengambil uang dari si kaya dan membagikannya kepada si miskin. Tapi, aku tak mampu. Aku hanya bisa geram melihat tingkah laku mereka, yang terlihat bijaksana saat dihadapan kamera dan para wartawan. Namun, ternyata hanya omong kosong belaka.

Aku marah, sangat marah. Bukan sekali dua kali aku memperingatkan mereka atas apa yang mereka lakukan. Melalui para mahasiswa yang aku pikir saat ini hanya mereka yang masih punya nurani, walau hanya saat mereka jadi mahasiswa. Bersama mereka para buruh yang merasa hak-nya tidak tersampaikan ketangan mereka. Bersama para ibu rumah tangga yang ‘terpaksa’ menjadi penambah devisa negara dengan mengais rejeki di negeri orang. Mereka yang mencari makan bersama buliran air mata penghinaan, yang terpaksa menelan kemarahan saat mereka dipanggil ‘Indon’. Hingga saat ini, hingga detik ini, aku masih selalu bersama mereka. Mengukur panjangnya jalan perjuangan ini. Menegakkan kembali apa yang memang seharusnya ditegakkan.  Mencoba meletakkan kembali nurani di hati manusia, bukan di tong sampah.

Namun, aku ingin kalian semua tahu. Aku tak selalu berada dalam barisan aksi. Aku tahu di pihak mana aku harus perpihak, tidak kepada semua orang. Tidak setiap saat aku ada dalam barisan panjang demonstran untuk memenuhi jalan.  Aku tidak bersama mereka yang memperjuangkan kebebasan yang tak terbatas. Kebebasan tak terbatas itu hanya akan menghancurkan moral bangsa ini secara perlahan. Aku tidak pernah menaruh simpati kepada mereka yang aksi hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan saja. Hanya bermain kepentingan. Aku tidak akan pernah berpihak kepada mereka yang hanya mencari ‘enaknya bagaimana’. Aku hanya akan berpihak kepada mereka yang memperjuangkan ‘seperti apa baiknya’. Bagiku, baik tidak selalu enak, dan enak belum tentu baik.

Aku ingin berkata jujur. Maaf kalau ini terlalu menyakitkan untuk kalian dengarkan. Aku tahu dengan baik apa yang terjadi kepada bangsa ini. Bahkan aku tahu saat semua itu belum terjadi. Tsunami yang melanda Aceh, gempa bumi yang pernah menghancurkan kota Yogyakarta, meletusnya merapi, bom Bali, dan berbagai kejadian yang pernah melanda bangsa ini. Aku sudah coba mengatakannya kepada kalian semua sebelum itu semua terjadi, dengan bahasaku tentunya. Namun, debu itu telah menutup hati kalian. Kalian lebih percaya dengan paranormal, orang pintar, atau seperti apapun itu kalian menyebutnya. Aku lebih suka menyebut mereka dukun. Aku terkadang heran, bukankah kalian sudah belajar banyak hal dari sejarah, kenapa masih saja ada yang percaya dengan hal-hal seperti itu. Bukankah sudah berkali-kali mereka gagal dan selalu gagal.  Kenapa tidak ada satupun yang mencoba untuk percaya kepadaku, kepada ibumu, ibu pertiwi.

Surga masih ditelapak kaki ibu

Tulisan ini dikutsertakan dalam lomba ‘Paling Indonesia’

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment