Sebuah teguran untuk diri sendiri
Gambar pinjam google |
Seorang teman pernah bercerita
tentang sebuah kisah yang pernah dialami oleh seorang saudaranya. Saat itu
saudaranya sedang bersiap untuk melakukan akad nikah. Tenda sudah terpasang,
makanan sudah dipesan. Penhulu sudah dihubungi. Hanya tinggal hari-H pernikahan.
Tinggal akad nikah. Rencana Allah memang selalu indah. Rencana yang sudah
direncanakan hanya tinggal rencana. Mempelai putri membatalkan pernikahan
karena memilih pergi dengan laki-laki lain.
Pernah juga Sije datang kesebuah
acara walimahan seorang sahabat. Kebetulan kami (Sije dan mempelai putri)
dulunya merupakan kawan akrab. Kami sering pergi bersama, atau makan bersama.
Waktu itu Sije dan teman-teman datang bersama beberapa rombongan dari kampus.
Niatnya sih mengejar akad nikah (mana bisa akad nikah dikejar? J). Cuaca ternyata tidak berpihak,
hujan deras mengguyur. Kami (terutama yang putri), terpaksa berhenti untuk
menunggu hujan reda. Jauhnya tempat yang kami tuju, ditambah dengan hujan deras
mengguyur membuat kami tidak sempat melihat prosesi akad nikah. Sampai disana, Sije
sempat bertemu dengan beberapa teman-teman kampus. Ada yang istimewa, ada
beberapa orang yang disinyalir dulu pernah ada “something” duduk dibarisan terdepan. Kebetulan Sije dapat jatah membagi undangan,
dan kebetulan ada beberapa orang yang mendapat undangan pribadi. Hal itu
membuat Sije menyimpulkan, ada apa ini? Sije aja yang dulunya teman wira-wiri kagak dapat undangan pribadi (jadi lu iri je, bilang aja iri. Pakai cari
alibi segala JJ). Orang-orang yang duduk dibarisan
terdepan adalah mereka-mereka yang mendapat undangan pribadi itu.
Bisa dikatakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang dulunya pernah punya rasa dengan si mempelai putri. Wajah
mereka menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang Sije sendiri tak bisa mengartikannya.
Apa yang mereka pikirkan? Saat melihat orang yang dulu pernah mereka “kejar”,
kini duduk bersanding dengan orang lain? Sakitkah? Marahkah? Nyesek? Atau biasa
aja?.
Hem, keperawanan hati. Itu menjadi
sesuatu yang rasa-rasanya sulit sekali untuk dijaga. Sekali saja sudah terjerat
dengan yang namanya VMJ, cinta, atau apalah itu namanya. Sekali sudah terisi
akan susah mengosongkannya. Kata seorang teman saya di FLP, Islam itu memang
benar ya, tentang menjaga pandangan, tentang menjaga hati, semuanya di atur dengan
jelas.
Kita lihat contoh diatas, saat yang
namanya hati sudah tidak bisa di rem, maka yang namanya keperawanan adalah
menjadi taruhan. Suka dengan seseorang dan tak bisa mengendalikannya pada rel
yang jelas, maka hati menjadi korbannya.
Keperawanan hati, susah namun akan
terasa manisnya kalau kita benar-benar bisa menjaga keperawanan yang satu itu.
Siapa bilang yang namanya kata perawan itu hanya untuk perempuan? Keperawanan,
bisa juga dan memang diletakkan atas laki-laki dan perempuan. Bila kata keperawanan
disandingkan dalam konteks hati, maka keperawanan itu akan berlaku untuk semua
gender.
Apakah Islam melarang kita untuk
menyukai lawan jenis?
Tentu saja tidak. Islam menghargai
yang namanya rasa. Itu fitrah dan itu diperbolehkan. Seorang Fatimah putrid rosul, pernah mempunyai rasa dengan
seorang Ali. Rasa malu yang begitu kuat
dalam bingkai kecintaan terhadap Robb-nya membuat Fatimah mampu menjaga
hati untuk tetap suci (kata perawan kita ganti dengan kata suci). Rasa itu
tetap menjadi fitrah manusia, yang namanya manusia pasti akan menyukai lawan
jenisnya (kecuali yang menyalahi kodrat). Hanya saja caranya perlu diatur.
Kita ngakunya gak pacaran.
Wuih..keren banget gak pacaran, tapi HTS-an (yaelah, sama aja sami mawon). Kita bilangnya menjaga hati,
wah..mantap banget dah pokoke. Setelah diselidiki, ternyata menjaga hati untuk
seseorang. GUBRRAAKK!!!! Cabe deh….
Hal ini tentu saja perlu diluruskan.
Selama ini kita menjaga hati mati-matian, tapi ternyata untuk seseorang yang
sudah dipersiapkan Allah untuk kita. Sampai pada konteks ini, sejauh mana kita
tunaikan hak Allah atas hati kita. Bahkan hanya sekedar hati saja, kita
serahkan kepada manusia. Hal in bukan hanya berlaku bagi mereka yang masih jauh
dari dunia pernikahan, tapi bagi mereka juga yang sedang dalam proses menuju
pernikahan. Hanya gara-gara pinangannya sudah diterima, maka sudah sepenuhnya
menyerahkan hati untuk si calon. Padahal menikahnya masih satu pekan lagi
misalnya. Kita tentu selalu tahu bahwa
Allah selalu punya rencana terbaik. Dalam waktu satu pekan itu tentu
saja bisa terjadi berbagai macam hal. Misalnya salah satu diantara keduanya
dibalikkan hatinya oleh Allah dengan menunjukkan aib dari yang lain. Hingga
akhirnya merubah keinginan untuk berlanjut menikah. Hal yang lain misalnya,
salah satu dari keduanya meninggal. Itu bisa saja terjadi, dan itu pernah
terjadi dengan salah seorang teman Sije.
Menjaga keperawanan hati memang
menjadi tantangan sendiri. Bisa jadi kita selama ini salah niat. Menjaga hati
karena ingin mendapatkan yang terjaga. Hem…sama Allah aja itung-itungan. Allah
tahu yang terbaik untuk kita. Maka, yang perlu kita lakukan adalah melakukan
yang terbaik karena-NYA.
Sije
Preman Sholihah
(Siti
nurjannah)
2 komentar:
Write CommentMenohok tulisannya...tapi bagus, Terus menulis.
BalasHapustermasuk menohok diri sendiri....:-D
Hapus