Credit here |
Tertangkap basah? Tidak juga.
Tersangka? Tentu saja tidak.
Saya sempurna melongo saat
ngobrol dengan seorang teman, tiba-tiba dia bertanya,
“Kamu itu satu lingkaran sama si
D kan?”
Exuse me?
Satu lingkaran?
Semudah itukah menggolongkan seseorang. Apa iya dengan kita berjilbab lebar
terus dibilang ikut aliran T, kalau pakai gamis dianggap aliran H, misal pakai
cadar dianggap kelompok S, dan lain sebagainya.
Saat itu saya hanya senyum dan
menjawab dengan sedikit penjelasan,
“Tidak mbak, saya muslim. Cukup
itu saja. Dari manapun kebenaran datang, akan saya terima. Bukan hanya dari
satu sumber saja.”
Si mbak hanya ber-O panjang.
Tapi kamu sering ada kegiatan
dengan dia kan?
“Ya, tapi itu tidak menjamin kan
mbak.”
Selanjutnya si mbak hanya terdiam.
Pada kesempatan
lain, saat itu saya masih aktif di dunia organisasi kampus, seorang teman juga
pernah mengatakan sesuatu yang hampir senada. Waktu itu kampus sedang
‘berkasus’, biasalah politik kampus yang aneh bin ajaib. Kebetulan saya banyak
mengenal orang yang aktif di banyak organisasi kampus, apakah itu BEM, Himpunan
mahasiswa, Rohis kampus, hingga teman-teman dari harakah di luar kampus. Saya
memang mencoba akrab dengan seluruh kalangan yang ada di kampus. Waktu itu
secara tidak sengaja saya memang salah seorang yang cukup kenal dengan para
pembuat ‘kasus’, dedengkotnya kampus. Tanpa basa basi, tiba-tiba seorang teman
berujar seperti ini,
“Itu lho teman-temanmu,”
Zink!!!
Me again?
Why me?
Hrgghh!!
Saya jadi
berpikir, adakah yang salah dari saya? oke saya berjilbab dan boleh dibilang
jilbab saya bukan jilbab mini. Lalu? Masalah? Saya juga aktif dalam berbagai
macam organisasi dan mengenal banyak orang, lalu apakah ini juga masalah?
Kebetulan saya suka ikut berbagai macam kegiatan, dari naik gunung, silat,
tulis menulis, hingga diskusi agama. Apakah itu jadi parameter? Apakah ketika
saya ikut kajian agama, itu dijadikan alasan untuk mengelompokkan saya ke dalam
salah satu golongan yang ada di Indonesia?
Sebuah Kacamata
Kita terbiasa
untuk mengidentifikasikan seseorang tanpa meminta izin kepada orang yang kita
identifikasi. Bahkan kita juga tak jarang main hakim sendiri. Membuat
kesimpulan pribadi yang terkadang agak ‘ngawur’ bin ‘ngaco’.
Bukankah setiap
orang punya karakter masing-masing. Jadi apa salahnya ketika seseorang
menunjukkan karakternya? Apakah dia kemudian harus diakukan ke salah satu
pihak? Juga tentang kebebasan, selama ini banyak yang berbicara kebebasan,
banyak yang menuntut untuk hidup bebas, tanpa aturan. Lalu, kenapa saat ada yang
bertindak atau berpakaian agak berbeda lalu di cap label tertentu?
Mungkin sudah
saatnya kita menggunakan kacamata. Agar tak ada yang tersakiti dengan apa yang
kita pikirkan dan mungkin saja kita ‘tuduhkan’. Terkadang apa yang kita lihat
memang tak selamanya benar, perlu adanya klarifikasi benar tidaknya.
Sentuhan
Terakhir
Belum lama ini, saya mendapat
pertanyaan yang membuat saya pengen jitak yang nanya.
“Mbak, kenapa jilbabnya jumbo
sih?”
Pertanyaan ini lagi? Oh My God,
Ya Robbi. Apa sih salahnya jilbab yang tidak mini?
-Je-
Tidak ada komentar:
Write Comment