Kamis, Agustus 09, 2012

Menyoal Golongan

Credit here


Tertangkap basah? Tidak juga.
Tersangka? Tentu saja tidak.
Saya sempurna melongo saat ngobrol dengan seorang teman, tiba-tiba dia bertanya,
“Kamu itu satu lingkaran sama si D kan?”
Exuse me?
Satu lingkaran? Semudah itukah menggolongkan seseorang. Apa iya dengan kita berjilbab lebar terus dibilang ikut aliran T, kalau pakai gamis dianggap aliran H, misal pakai cadar dianggap kelompok S, dan lain sebagainya. 

Saat itu saya hanya senyum dan menjawab dengan sedikit penjelasan,
“Tidak mbak, saya muslim. Cukup itu saja. Dari manapun kebenaran datang, akan saya terima. Bukan hanya dari satu sumber saja.”
Si mbak hanya ber-O panjang.
Tapi kamu sering ada kegiatan dengan dia kan?
“Ya, tapi itu tidak menjamin kan mbak.”
Selanjutnya si mbak hanya terdiam.

Pada kesempatan lain, saat itu saya masih aktif di dunia organisasi kampus, seorang teman juga pernah mengatakan sesuatu yang hampir senada. Waktu itu kampus sedang ‘berkasus’, biasalah politik kampus yang aneh bin ajaib. Kebetulan saya banyak mengenal orang yang aktif di banyak organisasi kampus, apakah itu BEM, Himpunan mahasiswa, Rohis kampus, hingga teman-teman dari harakah di luar kampus. Saya memang mencoba akrab dengan seluruh kalangan yang ada di kampus. Waktu itu secara tidak sengaja saya memang salah seorang yang cukup kenal dengan para pembuat ‘kasus’, dedengkotnya kampus. Tanpa basa basi, tiba-tiba seorang teman berujar seperti ini,

“Itu lho teman-temanmu,”
Zink!!!
Me again?
Why me?
Hrgghh!!

Saya jadi berpikir, adakah yang salah dari saya? oke saya berjilbab dan boleh dibilang jilbab saya bukan jilbab mini. Lalu? Masalah? Saya juga aktif dalam berbagai macam organisasi dan mengenal banyak orang, lalu apakah ini juga masalah? Kebetulan saya suka ikut berbagai macam kegiatan, dari naik gunung, silat, tulis menulis, hingga diskusi agama. Apakah itu jadi parameter? Apakah ketika saya ikut kajian agama, itu dijadikan alasan untuk mengelompokkan saya ke dalam salah satu golongan yang ada di Indonesia?

Sebuah Kacamata

Kita terbiasa untuk mengidentifikasikan seseorang tanpa meminta izin kepada orang yang kita identifikasi. Bahkan kita juga tak jarang main hakim sendiri. Membuat kesimpulan pribadi yang terkadang agak ‘ngawur’ bin ‘ngaco’.

Bukankah setiap orang punya karakter masing-masing. Jadi apa salahnya ketika seseorang menunjukkan karakternya? Apakah dia kemudian harus diakukan ke salah satu pihak? Juga tentang kebebasan, selama ini banyak yang berbicara kebebasan, banyak yang menuntut untuk hidup bebas, tanpa aturan. Lalu, kenapa saat ada yang bertindak atau berpakaian agak berbeda lalu di cap label tertentu?

Mungkin sudah saatnya kita menggunakan kacamata. Agar tak ada yang tersakiti dengan apa yang kita pikirkan dan mungkin saja kita ‘tuduhkan’. Terkadang apa yang kita lihat memang tak selamanya benar, perlu adanya klarifikasi benar tidaknya.

Sentuhan Terakhir

Belum lama ini, saya mendapat pertanyaan yang membuat saya pengen jitak yang nanya.
“Mbak, kenapa jilbabnya jumbo sih?”
Pertanyaan ini lagi? Oh My God, Ya Robbi. Apa sih salahnya jilbab yang tidak mini?

-Je-

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment