Minggu, September 02, 2012

Menjelang Pemilu 2014



Saya sebenarnya tidak ingin berkomentar apapun dengan dunia politik, apalagi tentang dunia partai politik (Parpol). Hanya saja, kejadian beberapa hari yang lalu dirumah, membuat saya berpikir sebaliknya. Mungkin sedikit pendapat dan masukkan yang membangun boleh juga buat ditulis. Meskipun saya bukan orang yang telah lama terjun di dunia politik, paling tidak saya cukup tahu bagaimana rasanya mencicipi politik kampus yang sedikit banyak agak dimiripkan dengan politik di Indonesia.  

Ceritanya begini, saat masih dirumah, tiba-tiba ada saudara yang kirim pesan singkat, intinya minta bantuan untuk mencari fotocopy KTP 10 orang + fotocopy KTP saya, sebagai syarat keanggotaan parpol tertentu. Lah..ada apa ini? Tak ada angin tak ada hujan, kenapa tiba-tiba saya di sms seperti ini. Belum tentu juga saya mau (kata-kata di sms-nya cukup yakin kalau saya bersedia). Akhirnya, saya menjelaskan, bukan saya tidak bersedia, namun konsekwensinya berat. Apalagi kalau saya harus mengajak 10 orang. Secara otomatis 10 orang tersebut dibawah tanggungjawab saya. Padahal saya tidak tahu menahu apapun tentang kegiatan Parpol tersebut di daerah asal saya. Saya juga tidak pernah sekali pun ikut kegiatan Parpol tersebut. Jangankan kebijakan, orang-orang didalamnya saja saya tidak tahu. Intinya saya tidak tahu apapun tentang sepak terjang Parpol yang dimaksud tersebut.  Ini bukan hanya perkara saya mau atau tidak, namun bagaimana pertanggungjawaban selanjutnya. Bagaimanapun saya berdomisili di Jogja, bukan di kota kelahiran saya.


Partai Politik Vs Kepentingan Mahasiswa

Mungkin banyak yang tidak terima saat saya menghubungkan antara partai dan mahasiswa. Sebab selama ini mahasiswa diidentikkan sebagai komunitas independent yang tidak bisa disusupi oleh kepentingan partai macam apapun. Namun, sepertinya kita harus mulai bisa membuka mata dan telinga. Mahasiswa kita tetap saja manusia yang punya keberpihakan politik. Mereka tetap punya hak-hak politik mereka, untuk memilih, dipilih bahkan menjadi pengurus. Sayangnya ada banyak kejadian-kejadian di lapangan yang akhirnya membuat kita terutama yang mahasiswa harus sering-sering mengingatkan teman-teman satu perjuangan untuk tetap bisa berpikir rasional dan obyektif. Mendukung bukan berarti menyetujui segala hal.

Kampus tempat saya belajar menyuguhkan banyak pilihan, termasuk juga pilihan untuk memilih partai politik. Bahkan ada partai politik yang punya masa pendukung yang cukup banayk dari kampus saya. lalu, salahkah? Tidak, itu tidak masalah. Sudut pandang kebebasan memilih mengatakan bahwa itu tidak salah. Namun, akan menjadi salah apabila cara mensikapinya ‘amburadul’. Sebagai contoh cara aktivasi masa. Pesan singkat aktivasi masa untuk Parpol tertentu dulu sering kali saya dapatkan. Mungkin karena saya terciri seperti pendukung parpol tertentu. Saya tidak pernah menyalahkan masalah itu, hanya saja bahasa yang digunakan untuk aktivasi adalah bahasa yang salah kaprah. Bagaimana tidak salah kaprah, kami semua disebut sebagai ‘kader kampus’, namun diajak aktivasi masyarakat untuk memilih salah satu pasangan calon (saat itu sedang pemilukada). Kebetulan calon tersebut berasal dari Parpol yang selama ini mempuyai banyak pendukung dari mahasiswa di kampus saya.

Saya yang sedari awal tidak pernah sepakat Parpol masuk kampus, hanya menanyakan satu hal.
“Kenapa P** tidak berani menggunakan kata ‘kader P**’? Kenapa harus pakai kata kader kampus?”

Bukan jawaban yang kemudian saya terima, justru (sejenis) hardikan yang saya terima.
“Anda mau atau tidak, kalau tidak mau tidak perlu berangkat kegiatan ini.”

Loh..apa-apaan ini? kenapa jadi saya yang disalahkan? Jelas-jelas ini aktivasi yang salah. Ini kampus, kenapa digunakan untuk aktivasi Parpol. Saat itu saya hanya berpikir, mungkin orang yang mengajak saya tidak cukup faham peraturan yang berlaku di kampus, bahwa Parpol tidak boleh masuk kampus.

Ini tidak hanya terjadi satu kali dua kali. Berkali-kali. Bahkan dulu akhirnya beberapa mahasiswa harus kerja keras agar sebuah agenda ormawa bisa tetap berlangsung meskipun hampir sebagian besar anggota ormawa tersebut menjadi panitia acara besar sebuah Parpol di Jogja. Parpol lebih dipentingkan dari pada kepentingan mahasiswa.

Ada yang sakit disini. Bukan sistem, tapi orang-orang yang ada didalamnya. Kurang bisa menempatkan diri. Kuantitas dianggap sebagai sebuah cirri yang baik, padahal sudah jelas, banyak belum tentu baik. Inilah realitanya, mahasiswa masih bisa disusupi kepentingan-kepentingan diluar. Lalu, apakah kita masih bisa saling percaya? Saat ada begitu banyak bangkai yang tersimpan dibelakang punggung masing-masing?

Catatan:
Kata ‘kader kampus’ sering digunakan untuk menyebut kader dakwah kampus.  Dakwah tidak hanya berkutat dengan dunia politik, baik itu politik kampus maupun politik Indonesia.  Dakwah jauh lebih mulia dari sekedar kepentingan politik.



Episode mudik Jilid 3
Je

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment