Saya sebenarnya tidak ingin
berkomentar apapun dengan dunia politik, apalagi tentang dunia partai politik
(Parpol). Hanya saja, kejadian beberapa hari yang lalu dirumah, membuat saya
berpikir sebaliknya. Mungkin sedikit pendapat dan masukkan yang membangun boleh
juga buat ditulis. Meskipun saya bukan orang yang telah lama terjun di dunia
politik, paling tidak saya cukup tahu bagaimana rasanya mencicipi politik
kampus yang sedikit banyak agak dimiripkan dengan politik di Indonesia.
Ceritanya begini, saat
masih dirumah, tiba-tiba ada saudara yang kirim pesan singkat, intinya minta
bantuan untuk mencari fotocopy KTP 10 orang + fotocopy KTP saya, sebagai syarat
keanggotaan parpol tertentu. Lah..ada apa ini? Tak ada angin tak ada hujan, kenapa
tiba-tiba saya di sms seperti ini. Belum tentu juga saya mau (kata-kata di
sms-nya cukup yakin kalau saya bersedia). Akhirnya, saya menjelaskan, bukan
saya tidak bersedia, namun konsekwensinya berat. Apalagi kalau saya harus
mengajak 10 orang. Secara otomatis 10 orang tersebut dibawah tanggungjawab
saya. Padahal saya tidak tahu menahu apapun tentang kegiatan Parpol tersebut di
daerah asal saya. Saya juga tidak pernah sekali pun ikut kegiatan Parpol
tersebut. Jangankan kebijakan, orang-orang didalamnya saja saya tidak tahu.
Intinya saya tidak tahu apapun tentang sepak terjang Parpol yang dimaksud
tersebut. Ini bukan hanya perkara saya
mau atau tidak, namun bagaimana pertanggungjawaban selanjutnya. Bagaimanapun
saya berdomisili di Jogja, bukan di kota kelahiran saya.
Partai
Politik Vs Kepentingan Mahasiswa
Mungkin banyak yang tidak
terima saat saya menghubungkan antara partai dan mahasiswa. Sebab selama ini
mahasiswa diidentikkan sebagai komunitas independent yang tidak bisa disusupi
oleh kepentingan partai macam apapun. Namun, sepertinya kita harus mulai bisa
membuka mata dan telinga. Mahasiswa kita tetap saja manusia yang punya
keberpihakan politik. Mereka tetap punya hak-hak politik mereka, untuk memilih,
dipilih bahkan menjadi pengurus. Sayangnya ada banyak kejadian-kejadian di
lapangan yang akhirnya membuat kita terutama yang mahasiswa harus sering-sering
mengingatkan teman-teman satu perjuangan untuk tetap bisa berpikir rasional dan
obyektif. Mendukung bukan berarti menyetujui segala hal.
Kampus tempat saya belajar
menyuguhkan banyak pilihan, termasuk juga pilihan untuk memilih partai politik.
Bahkan ada partai politik yang punya masa pendukung yang cukup banayk dari
kampus saya. lalu, salahkah? Tidak, itu tidak masalah. Sudut pandang kebebasan memilih
mengatakan bahwa itu tidak salah. Namun, akan menjadi salah apabila cara
mensikapinya ‘amburadul’. Sebagai contoh cara aktivasi masa. Pesan singkat
aktivasi masa untuk Parpol tertentu dulu sering kali saya dapatkan. Mungkin
karena saya terciri seperti pendukung parpol tertentu. Saya tidak pernah
menyalahkan masalah itu, hanya saja bahasa yang digunakan untuk aktivasi adalah
bahasa yang salah kaprah. Bagaimana tidak salah kaprah, kami semua disebut
sebagai ‘kader kampus’, namun diajak aktivasi masyarakat untuk memilih salah
satu pasangan calon (saat itu sedang pemilukada). Kebetulan calon tersebut
berasal dari Parpol yang selama ini mempuyai banyak pendukung dari mahasiswa di
kampus saya.
Saya yang sedari awal tidak
pernah sepakat Parpol masuk kampus, hanya menanyakan satu hal.
“Kenapa P** tidak berani
menggunakan kata ‘kader P**’? Kenapa harus pakai kata kader kampus?”
Bukan jawaban yang kemudian
saya terima, justru (sejenis) hardikan yang saya terima.
“Anda mau atau tidak, kalau
tidak mau tidak perlu berangkat kegiatan ini.”
Loh..apa-apaan ini? kenapa
jadi saya yang disalahkan? Jelas-jelas ini aktivasi yang salah. Ini kampus,
kenapa digunakan untuk aktivasi Parpol. Saat itu saya hanya berpikir, mungkin
orang yang mengajak saya tidak cukup faham peraturan yang berlaku di kampus,
bahwa Parpol tidak boleh masuk kampus.
Ini tidak hanya terjadi
satu kali dua kali. Berkali-kali. Bahkan dulu akhirnya beberapa mahasiswa harus
kerja keras agar sebuah agenda ormawa bisa tetap berlangsung meskipun hampir
sebagian besar anggota ormawa tersebut menjadi panitia acara besar sebuah
Parpol di Jogja. Parpol lebih dipentingkan dari pada kepentingan mahasiswa.
Ada yang sakit disini.
Bukan sistem, tapi orang-orang yang ada didalamnya. Kurang bisa menempatkan
diri. Kuantitas dianggap sebagai sebuah cirri yang baik, padahal sudah jelas,
banyak belum tentu baik. Inilah realitanya, mahasiswa masih bisa disusupi
kepentingan-kepentingan diluar. Lalu, apakah kita masih bisa saling percaya?
Saat ada begitu banyak bangkai yang tersimpan dibelakang punggung
masing-masing?
Catatan:
Kata ‘kader kampus’ sering
digunakan untuk menyebut kader dakwah kampus.
Dakwah tidak hanya berkutat dengan dunia politik, baik itu politik
kampus maupun politik Indonesia. Dakwah
jauh lebih mulia dari sekedar kepentingan politik.
Episode mudik Jilid 3
Je
Tidak ada komentar:
Write Comment