Credit here |
Pernah jadi sasaran tembak?
Sesering apa?
Berapa kali?
Pernah mencoba untuk menembak?
Atau sedang berencana menembak?
Eits…jangan
salah kira ya. Saya tidak sedang menulis sesuatu berbau militer, pistol,
senapan, apalagi perang di perbatasan. Tapi, ini tentang hati. Sssttt…jangan
keras-keras bacanya, ntar banyak yang denger.Ini rahasia antara kita berdua.
Janji ya, cuma kita aja yang tahu. Tambah Allah deh.
Kita mau bahas tembak menembak antara dua hati. Ehem…agak
sensitif nih kayaknya. Ya gitu deh, saya pas pertama kali denger bahasan ini
juga agak gimana gitu. Tak terdefinisikan. Jadi agak merona gitu. Merasa jadi
tertuduh, kayak jadi actor utama yang lagi dibahas. Jangan-jangan blogie semua
juga merasakan hal yang sama. Nah lho…ngaku deh. Siapa yang hari-hari ini lagi
gantungin orang? Atau jangan-jangan ada yang habis ditolak?
Ngobrolin dunia tembak menembak, saya jadi ingat kisah unyu
saya. saat itu saya masih kelas 6 SD, masih imyut gitu dweh. Tapi, meskipun
imyut, bakat galak dan cuek saya sudah tumbuh dan berkembang hehehehe. Saat itu
lagi asyik-asyiknya pak guru menjelaskan di depan kelas, tiba-tiba seorang
teman yang duduk di belakang bangku belakang saya memanggil,
“Eh…mau tak kasih ini nggak?” katanya sambil mengulurkan sebuah
gelang.
“Apaan?”
“Nih,” lanjutnya sambil mengulurkan sebuah gelang dengan
tulisan I LOVE YOU.
Kening saya berkerut,
“Ogah ah, nggak mau.”
Jawaban skakmat, dan setelah itu saya tidak peduli lagi dengan
teman saya yang pasang tampang ‘bengong’. Saya masih ada satu cerita lagi, dan
lebih sadis. Masih tentang dunia tembak menembak. Tidak berselang lama dari
kejadian diatas, kira-kira satu setengah tahun kemudian. Saya sudah duduk
dibangku SMP, baru naik kelas 2, dan baru saja punya adek kelas. Kebetulan saat
SMP saya ‘hobi’ beladiri. Nah, bergabunglah saya di ekstrakulikuler beladiri.
Disana saya bertemu dengan seseorang, sebut saja namanya goni.
Bisa dibilang kami cukup dekat. Beberapa kali saya dipasangkan
dengan dia saat latihan bantingan. Mungkin karena sering berinteraksi inilah,
akhirnya muncul benih cinta (monyet). Suatu ketika, sahabat kami yang lain
bilang,
“Mbak, sebenernya dia itu suka sama mbak.” Si dia hanya diam
saja, kebetulan dia juga duduk disamping saya.
“Hih…ogah ah. Apa-apaan coba. Nggak mau aku”
Astagfirullah…kalau tak pikir-pikir lagi, ternyata saya sangat
juteeeeeekkkk sekali. Ah…tapi biarkanlah. Alhamdulillah dengan jutek saya yang
sering tidak sengaja ini, saya jadi terlindung dari mara bahaya cinta. Halah
lebay banget sih.
Cerita diatas adalah contoh dunia tembak menembak versi anak
muda. Sekarang kita beranjak kedunia dewasa? Dewasa? Yakin loe? Nggaya bener
ngaku dewasa. Hehehehe, saya tidak menemukan kata lain, dari pada saya bilang
setengah tua, kan malah nyelekit.
Ditembak
Saya mulai dulu dengan ditembak ya, karena Alhamdulillah saya
seringnya ditembak (PD dikit boleh donk).
Bagi blogie yang mengenal saya secara live, mungkin tidak akan percaya
kalau saya (yang sudah dewasa) pernah ditembak orang. Jangankan para blogie,
saya saja tidak percaya, apa coba yang bikin mereka pengen nembak. Dibilang
cantik, jauuuuhhh banget. Dibilang pinter juga nggak terlalu, ya cukuplah.
Halus? feminim? Bukan saya banget. Bahkan lebih cenderung grasak grusuk. Tipe
cewek yang peduli? Nggak juga. Saya bahkan cuek banget. Belum lagi sifat bawaan
lahir yang dari dulu hingga sekarang saya masih berusaha sekuat tenaga untuk
menguranginya, galak. Nah loh, apa coba yang membuat itik buruk rupa ini
terlihat blink-blink berkilauan. Eh..malah curhat.
Balik kebahasan awal, ditembak. Saya kira para banyak dari
para blogie ini yang pernah ditembak (baca: diajak untuk menikah), terutama
para blogiewati. Pasti banyak juga yang akhirnya kelimpungan nanggepinnya. Mau
nolak, nggak tega, kasihan sudah mengumpulkan keberanian buat nembak, apalagi
nembaknya serius. Mau nerima, belum waktunya, masih kuliah nih, targetnya kan
nanti kalau sudah lulus. Kebetulan si dia yang nembak juga nggak sesuai dengan
criteria yang sudah dirancang. Jadi serba salah. Pengalaman pribadi nih, hehehe
ya gitu deh. Tapi, alhamdulillah beberapa kali sifat cuek dan lola saya selalu
muncul di garda terdepan. Lola, karena
saya tak pernah sadar kalau ternyata tuh orang ngomong beneran. Biasanya saya
sadar satu minggu kemudian :D, yang pastinya sudah sangat basi kalau saya
menjawab saat itu. Si dia juga sudah keburu patah hati. Sudah menganggap saya
menolaknya. Padahal saya tidak sadar. Ya sudah….
Nah, untuk mengantisipasi hal biar nggak kelabakan dan juga
biar tidak cuek kebablasan. Saya ingin bercerita tentang nasehat seorang ummi
kepada saya beberapa waktu yang lalu. The first, buat planning, kapan mau menikah dan ingin menikah dengan orang yang
seperti apa. Ingat, tidak penting menikah dengan siapa, yang penting adalah
menikah dengan orang yang seperti apa. Second
Daftar semua syarat-syarat minimal yang musti dipenuhi oleh si dia. Sebagai
gambaran, selain agamanya oke, paling tidak seorang calon suami itu harus mampu
memberikan nafkah, baik lahir maupun batin. Eits,,batin bukan hanya kebutuhan
biologis saja lho ya. Kasih sayang, ketenangan, perlindungan, pembelaan dan
lain sebagainya juga musti dipertimbangkan dengan matang. Kita kan nggak cuma
butuh uang dan cinta juga tak bisa dimakan bukan.
Tak perlu bingung kalau tiba-tiba ada pangeran berkuda ferrary
(alamak…ngayal mulu nih orang) datang menjemput. Tanyakan, apa yang dia mampu.
Kalau ternyata, si pangeran hanya sedang galau, tinggalkan saja. Mau jadi apa
keluarga kita kalau dipimpin orang galau. Bisa gaswat. Tak perlu risau kalau
dia mengelurkan jurus ampuh. Salah satu jurus ampuh biar tidak ditolak adalah
hadist nabi yang berbunyi,
“Bila datang kepadamu seorang laki-laki yang kamu ridhai agam
dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan anak kalian). Jika tidak , maka
akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerusakan yang besar. HR. atTirmidzi”
Dalam beberapa redaksi kalimat “yang kamu ridhai agam dan
akhlaknya” diganti sholih. Maka, saya sarankan, katakan padanya,
“Seorang yang Sholih tidak akan menganggap dirinya sholih”
Namun, jangan mudah pula menolak orang tanpa alasan yang
syar`i. Hanya gara-gara dia tidak good
looking , kita cari-cari alasan. Nggak se-visi lah, beda pemikiran lah,
beda cara berkomunikasilah, belum siaplah, dan berbagai alasan yang lain.
Kita juga musti sadar, kali ini kita sebagai obyek yang
dikenai perlakuan. Jadi, kita tidak bisa protes sambil uring-uringan,
“Koq, dia suka sama aku sih.”
“Ngapain sih tuh orang suka sama aku.”
“Ngapain sih, tuh orang gangguin orang mulu.”
“Apa sih yang dia suka dari aku?”
Kan menyukai lawan jenis itu fitrahnya manusia, kalau si dia
naksir sama kuda, baru deh protes. Sampai dimarahin juga boleh. Hehehehehe.
Makanya kalau nggak mau jadi obyek, jadilah subyek. Nggak mau jadi sasaran
tembak? Jadi si penembak donk! Eh…sensitif lagi nih kayaknya.
Menembak
Tabu
Pamali
Kagak tahu malu
Ih…serasa jadi cewek nggak laku deh
Jadi cewek koq agresif
Berbagai komentar miring masih saja sering kita dengar di
masyarakat kita kalau ada perempuan yang ‘menembak’ laki-laki. Padahal dulu bunda
Khadijah oke-oke aja tuh. Samapi sekarang namanya tetap dikenang dan masih
dijadikan teladan banyak perempuan. Terutama dalam hal tidak dipoligaminya
istri pertama Rosulullah. Eh..sensitif lagi nih. Kapan-kapan kita bahas si poli
deh. Tapi nggak sekarang ya. :D
Bagaimana sih kalau cewek menembak (baca: mengajak nikah
cowok)? Gimana ya, ya nggak gimana-gimana. Boleh saja asal dengan cara yang
baik. Melalui wali yang bertanggungjawab penuh atas diri kita. Kita juga harus
memastikan bahwa dia benar-benar orang baik dan bisa menjadi imam yang baik.
Bukan dalam masa meminang atau dipinang orang lain. Cara yang digunakan juga
tidak menunjukkan seolah-olah kita ‘mupeng’ banget, kalau tidak dia lebih baik
tidak menikah. Huaaaa…ini mah udah kelewatan.
Dulu kalau saya lagi agak ‘gila’, saya sering ngomong sendiri,
“ Ih…ngapain sih nunggu ada yang datang. Kenapa tidak kita
saja yang mendatangi mereka. Kan hak kita sama.”
Tapi, sekarang saya jadi mikir-mikir. Are you ready? Siap
nggak sih? Secara masyarakat membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang
menunggu, dan sensitif. Ini sangat berbeda dengan laki-laki yang cenderung
lebih berani dan lebih cuek dari pada perempuan.
Kenapa hal pertama yang saya tanyakan adalah kesiapan, karena
sebagai seorang penembak, kita punya dua kemungkinan. Tepat sasaran atau
meleset. Bagi yang tepat sasaran mungkin bisa tersenyum lebar, tapi bagi yang
meleset, apa tidak akan nangis Bombay? Nanti ngedumelnya,
“Aku kurang apa sih?”
“Egois banget sih jadi ikhwan, kriterianya selangit”
“Emang dia pikir aku nggak punya perasaan? Hiks..hiks..hiks…”
“Memang dia kira ikhwan cuma dia doank, masih banyak koq yang
lain,” sesenggukan sambil meluk bantal dan guling.
“Dia kira dia sempurna apa, berani-beraninya nolak aku,”
Yah..gitu-gitu juga (pernah) suka kan.
Nah, siap nggak kalau tembakannya meleset? Siap nggak kalau
ditolak? Malu nggak? Setebal apa mental yang sudah dipersiapkan? Minimal,
sudahkah menyiapkan sikap terbaik sebagai seorang ksatria? Tetap menjalin
silaturahmi misalnya.
Pada akhirnya kita harus sadar, jadi apapun kita (obyek
ataupun subyek) tetap saja ada resiko yang harus dihadapi. Sikap terbaik adalah
menjadi ksatria, sportif dan tetap menginjak bumi. Tak perlu melayang senang kalau
ternyata Allah menakdirkan ada banyak antrian yang menunggu kita ‘siap’. Namun,
tak perlu patah hati juga kalau tembakan kita meleset. Dunia belum berakhir koq. :D
Je
Bagi-bagi ilmu dari si ummi
Tidak ada komentar:
Write Comment