Selasa, Oktober 09, 2012

Menembak dan ditembak

Credit here

Pernah jadi sasaran tembak?
Sesering apa?
Berapa kali?
Pernah mencoba untuk menembak?
Atau sedang berencana menembak?

Eits…jangan salah kira ya. Saya tidak sedang menulis sesuatu berbau militer, pistol, senapan, apalagi perang di perbatasan. Tapi, ini tentang hati. Sssttt…jangan keras-keras bacanya, ntar banyak yang denger.Ini rahasia antara kita berdua. Janji ya, cuma kita aja yang tahu. Tambah Allah deh. 

Kita mau bahas tembak menembak antara dua hati. Ehem…agak sensitif nih kayaknya. Ya gitu deh, saya pas pertama kali denger bahasan ini juga agak gimana gitu. Tak terdefinisikan. Jadi agak merona gitu. Merasa jadi tertuduh, kayak jadi actor utama yang lagi dibahas. Jangan-jangan blogie semua juga merasakan hal yang sama. Nah lho…ngaku deh. Siapa yang hari-hari ini lagi gantungin orang? Atau jangan-jangan ada yang habis ditolak?

Ngobrolin dunia tembak menembak, saya jadi ingat kisah unyu saya. saat itu saya masih kelas 6 SD, masih imyut gitu dweh. Tapi, meskipun imyut, bakat galak dan cuek saya sudah tumbuh dan berkembang hehehehe. Saat itu lagi asyik-asyiknya pak guru menjelaskan di depan kelas, tiba-tiba seorang teman yang duduk di belakang bangku belakang saya memanggil,

“Eh…mau tak kasih ini nggak?” katanya sambil mengulurkan sebuah gelang.
“Apaan?”
“Nih,” lanjutnya sambil mengulurkan sebuah gelang dengan tulisan I LOVE YOU.
Kening saya berkerut,
“Ogah ah, nggak mau.”

Jawaban skakmat, dan setelah itu saya tidak peduli lagi dengan teman saya yang pasang tampang ‘bengong’. Saya masih ada satu cerita lagi, dan lebih sadis. Masih tentang dunia tembak menembak. Tidak berselang lama dari kejadian diatas, kira-kira satu setengah tahun kemudian. Saya sudah duduk dibangku SMP, baru naik kelas 2, dan baru saja punya adek kelas. Kebetulan saat SMP saya ‘hobi’ beladiri. Nah, bergabunglah saya di ekstrakulikuler beladiri. Disana saya bertemu dengan seseorang, sebut saja namanya goni.

Bisa dibilang kami cukup dekat. Beberapa kali saya dipasangkan dengan dia saat latihan bantingan. Mungkin karena sering berinteraksi inilah, akhirnya muncul benih cinta (monyet). Suatu ketika, sahabat kami yang lain bilang,

“Mbak, sebenernya dia itu suka sama mbak.” Si dia hanya diam saja, kebetulan dia juga duduk disamping saya.
“Hih…ogah ah. Apa-apaan coba. Nggak mau aku”

Astagfirullah…kalau tak pikir-pikir lagi, ternyata saya sangat juteeeeeekkkk sekali. Ah…tapi biarkanlah. Alhamdulillah dengan jutek saya yang sering tidak sengaja ini, saya jadi terlindung dari mara bahaya cinta. Halah lebay banget sih.

Cerita diatas adalah contoh dunia tembak menembak versi anak muda. Sekarang kita beranjak kedunia dewasa? Dewasa? Yakin loe? Nggaya bener ngaku dewasa. Hehehehe, saya tidak menemukan kata lain, dari pada saya bilang setengah tua, kan malah nyelekit.

Ditembak

Saya mulai dulu dengan ditembak ya, karena Alhamdulillah saya seringnya ditembak (PD dikit boleh donk).  Bagi blogie yang mengenal saya secara live, mungkin tidak akan percaya kalau saya (yang sudah dewasa) pernah ditembak orang. Jangankan para blogie, saya saja tidak percaya, apa coba yang bikin mereka pengen nembak. Dibilang cantik, jauuuuhhh banget. Dibilang pinter juga nggak terlalu, ya cukuplah. Halus? feminim? Bukan saya banget. Bahkan lebih cenderung grasak grusuk. Tipe cewek yang peduli? Nggak juga. Saya bahkan cuek banget. Belum lagi sifat bawaan lahir yang dari dulu hingga sekarang saya masih berusaha sekuat tenaga untuk menguranginya, galak. Nah loh, apa coba yang membuat itik buruk rupa ini terlihat blink-blink berkilauan. Eh..malah curhat.

Balik kebahasan awal, ditembak. Saya kira para banyak dari para blogie ini yang pernah ditembak (baca: diajak untuk menikah), terutama para blogiewati. Pasti banyak juga yang akhirnya kelimpungan nanggepinnya. Mau nolak, nggak tega, kasihan sudah mengumpulkan keberanian buat nembak, apalagi nembaknya serius. Mau nerima, belum waktunya, masih kuliah nih, targetnya kan nanti kalau sudah lulus. Kebetulan si dia yang nembak juga nggak sesuai dengan criteria yang sudah dirancang. Jadi serba salah. Pengalaman pribadi nih, hehehe ya gitu deh. Tapi, alhamdulillah beberapa kali sifat cuek dan lola saya selalu muncul di garda terdepan.  Lola, karena saya tak pernah sadar kalau ternyata tuh orang ngomong beneran. Biasanya saya sadar satu minggu kemudian :D, yang pastinya sudah sangat basi kalau saya menjawab saat itu. Si dia juga sudah keburu patah hati. Sudah menganggap saya menolaknya. Padahal saya tidak sadar. Ya sudah….

Nah, untuk mengantisipasi hal biar nggak kelabakan dan juga biar tidak cuek kebablasan. Saya ingin bercerita tentang nasehat seorang ummi kepada saya beberapa waktu yang lalu. The first, buat planning, kapan mau menikah dan ingin menikah dengan orang yang seperti apa. Ingat, tidak penting menikah dengan siapa, yang penting adalah menikah dengan orang yang seperti apa. Second Daftar semua syarat-syarat minimal yang musti dipenuhi oleh si dia. Sebagai gambaran, selain agamanya oke, paling tidak seorang calon suami itu harus mampu memberikan nafkah, baik lahir maupun batin. Eits,,batin bukan hanya kebutuhan biologis saja lho ya. Kasih sayang, ketenangan, perlindungan, pembelaan dan lain sebagainya juga musti dipertimbangkan dengan matang. Kita kan nggak cuma butuh uang dan cinta juga tak bisa dimakan bukan.

Tak perlu bingung kalau tiba-tiba ada pangeran berkuda ferrary (alamak…ngayal mulu nih orang) datang menjemput. Tanyakan, apa yang dia mampu. Kalau ternyata, si pangeran hanya sedang galau, tinggalkan saja. Mau jadi apa keluarga kita kalau dipimpin orang galau. Bisa gaswat. Tak perlu risau kalau dia mengelurkan jurus ampuh. Salah satu jurus ampuh biar tidak ditolak adalah hadist nabi yang berbunyi,

“Bila datang kepadamu seorang laki-laki yang kamu ridhai agam dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan anak kalian). Jika tidak , maka akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerusakan yang besar. HR. atTirmidzi”

Dalam beberapa redaksi kalimat “yang kamu ridhai agam dan akhlaknya” diganti sholih. Maka, saya sarankan, katakan padanya,

“Seorang yang Sholih tidak akan menganggap dirinya sholih”
Namun, jangan mudah pula menolak orang tanpa alasan yang syar`i. Hanya gara-gara dia tidak good looking , kita cari-cari alasan. Nggak se-visi lah, beda pemikiran lah, beda cara berkomunikasilah,  belum  siaplah, dan berbagai alasan yang lain.

Kita juga musti sadar, kali ini kita sebagai obyek yang dikenai perlakuan. Jadi, kita tidak bisa protes sambil uring-uringan,
“Koq, dia suka sama aku sih.”
“Ngapain sih tuh orang suka sama aku.”
“Ngapain sih, tuh orang gangguin orang mulu.”
“Apa sih yang dia suka dari aku?”

Kan menyukai lawan jenis itu fitrahnya manusia, kalau si dia naksir sama kuda, baru deh protes. Sampai dimarahin juga boleh. Hehehehehe. Makanya kalau nggak mau jadi obyek, jadilah subyek. Nggak mau jadi sasaran tembak? Jadi si penembak donk! Eh…sensitif lagi nih kayaknya.

Menembak
Tabu
Pamali
Kagak tahu malu
Ih…serasa jadi cewek nggak laku deh
Jadi cewek koq agresif

Berbagai komentar miring masih saja sering kita dengar di masyarakat kita kalau ada perempuan yang ‘menembak’ laki-laki. Padahal dulu bunda Khadijah oke-oke aja tuh. Samapi sekarang namanya tetap dikenang dan masih dijadikan teladan banyak perempuan. Terutama dalam hal tidak dipoligaminya istri pertama Rosulullah. Eh..sensitif lagi nih. Kapan-kapan kita bahas si poli deh. Tapi nggak sekarang ya. :D

Bagaimana sih kalau cewek menembak (baca: mengajak nikah cowok)? Gimana ya, ya nggak gimana-gimana. Boleh saja asal dengan cara yang baik. Melalui wali yang bertanggungjawab penuh atas diri kita. Kita juga harus memastikan bahwa dia benar-benar orang baik dan bisa menjadi imam yang baik. Bukan dalam masa meminang atau dipinang orang lain. Cara yang digunakan juga tidak menunjukkan seolah-olah kita ‘mupeng’ banget, kalau tidak dia lebih baik tidak menikah. Huaaaa…ini mah udah kelewatan.

Dulu kalau saya lagi agak ‘gila’, saya sering ngomong sendiri,
“ Ih…ngapain sih nunggu ada yang datang. Kenapa tidak kita saja yang mendatangi mereka. Kan hak kita sama.”

Tapi, sekarang saya jadi mikir-mikir. Are you ready? Siap nggak sih? Secara masyarakat membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang menunggu, dan sensitif. Ini sangat berbeda dengan laki-laki yang cenderung lebih berani dan lebih cuek dari pada perempuan.

Kenapa hal pertama yang saya tanyakan adalah kesiapan, karena sebagai seorang penembak, kita punya dua kemungkinan. Tepat sasaran atau meleset. Bagi yang tepat sasaran mungkin bisa tersenyum lebar, tapi bagi yang meleset, apa tidak akan nangis Bombay? Nanti ngedumelnya,

“Aku kurang apa sih?”
“Egois banget sih jadi ikhwan, kriterianya selangit”
“Emang dia pikir aku nggak punya perasaan? Hiks..hiks..hiks…”
“Memang dia kira ikhwan cuma dia doank, masih banyak koq yang lain,” sesenggukan sambil meluk bantal dan guling.
“Dia kira dia sempurna apa, berani-beraninya nolak aku,” Yah..gitu-gitu juga (pernah) suka kan.

Nah, siap nggak kalau tembakannya meleset? Siap nggak kalau ditolak? Malu nggak? Setebal apa mental yang sudah dipersiapkan? Minimal, sudahkah menyiapkan sikap terbaik sebagai seorang ksatria? Tetap menjalin silaturahmi misalnya.

Pada akhirnya kita harus sadar, jadi apapun kita (obyek ataupun subyek) tetap saja ada resiko yang harus dihadapi. Sikap terbaik adalah menjadi ksatria, sportif dan tetap menginjak bumi. Tak perlu melayang senang kalau ternyata Allah menakdirkan ada banyak antrian yang menunggu kita ‘siap’. Namun, tak perlu patah hati juga kalau tembakan kita meleset. Dunia belum berakhir koq. :D


Je
Bagi-bagi ilmu dari si ummi

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment