Rabu, Februari 03, 2021

Merdeka dari Kemelekatan Benda


Saya tidak menemukan kata lain yang dapat mendefinisikan apa yang ada di kepala saya selain ‘kemelekatan’. Ini semacam keinginan untuk memiliki, namun bukan. Tapi rasa ingin terikat dengan benda-benda yang sudah dimiliki, serta terus ingin menambah koleksi. Nah, kurang lebih seperti ini.


Saya tipe manusia yang mudah meletakkan emosi pada sebuah benda. Apa saja. Misalnya ketika mengikuti sebuah kegiatan, saya bisa dengan senang hati menyimpan co-card peserta selama bertahun-tahun ketika saya tersentuh dengan kegiatan itu. Pernah suatu ketika saya menemukan sebuah ‘harta’ ketika saya membongkar barang-barang lama. Dari cocard saat saya jadi bantara ketika SMA, hingga pin jaman saya masih jadi pengurus Rohis SMA. Sebagai catatan, saya menemukannya setelah saya lulus pasca sarjana. Lebih tepatnya satu tahun setelahnya. Waks! Kebayang buluknya seperti apa benda-benda tersebut?


Selain barang-barang yang mengandung bawang –kenangan, saya (dulu) juga senang sekali mengkoleksi buku-buku. Saya hampir tidak pernah absen ketika ada pameran buku di Jogja. Sebagai gambaran, Jogja itu surganya pameran buku. Setiap tiga bulan sekali bisa dipastikan ada pameran buku islami. Belum lagi gramedia, toga mas, dan penerbit kompas yang juga kerap menyelenggarakan pameran buku. Satu lagi, ada yang namanya Pasar Kangen di Jogja. Di sana, kita bisa menemukan berbagai macam benda-benda unik dan berumur, dari mainan, aksesoris, dan tentu saja buku. Terbayang, kira-kira sebanyak apa buku saya? Sebelum kejadian menyortir yang sudah saya sedikit ceritakan di atas, saya menyimpan setidaknya lima box dan 4 kardus buku. Ini buku semua, belum lagi barang-barang lainnya. Terbayang sesesak apa kamar dan pikiran saya.


Hingga akhirnya saya menemukan beberapa artikel yang menyentil saya, salah satunya berjudul, ‘goodbye things’. Usai membaca itu, saya kemudian terpikir, ‘nah iya ya, untuk apa saya menyimpan benda-benda ini?’. Berubah memang tidak bisa dengan sekali hentakan ya. Saya kemudian mulai menyortir barang-barang koleksi peninggalan sejarah saya selama hidup. Ronde pertama saya behasil membuang setengah dari koleksi tersebut. Apa saja isinya?


Selain benda-benda penuh kenangan –yang ternyata banyak sekali, saya juga menyingkirkan buku-buku kuliah S1. Ya meski sampai sekarang saya masih menyimpan sebagian besar darinya, namun hampir 2/3 simpanan saya akhirnya saya lepaskan. Hasil sortir ini kemudian membuat harta karun saya hilang setengahnya.


Rasanya? Lega! Selain tempat tinggal jadi lebih lega, ada rasa dalam jiwa yang sedikit plong. Pernah patah hati lalu potong rambut pendek nggak? Nah, persis! Enteng! Jadi ada tempat buat hal-hal baru lainnya. Saya kemudian berhenti sejenak. Cinta dunia utamanya buku masih menjadi raja. Sampai akhirnya awal tahun ini, saya kembali menguji kadar kemelekatan saya terhadap benda-benda.


Dulu, saya pernah ingin membuat perpustakaan. Maka, semua buku yang bagus –dan nampaknya bagus serta murah, saya borong semuanya. Padahal kantong mahasiswa. Cita-cita saya simple waktu itu, punya rumah di pinggiran kota dengan halaman yang cukup untuk membuka perpustakaan dan bimbingan belajar gratis untuk anak-anak di sekitar. Namun ternyata Allah berkata lain, hingga tahun 2021, hal ini tak kunjung terwujud –atau mungkin saya yang kurang keras berusaha. Akhirnya buku-buku tersebut menumpuk. Terawat dengan baik tentu saja. Namun tidak (belum) menjadi manfaat.


Honestly, saya jadi merasa memiliki beban. Buku-buku yang bisa jadi menjadi manfaat untuk orang lain, justru tertahan di kolong ranjang. Berdebu pula. Hish!


Mengalahkan rasa malas, dan ikatan emosional dengan buku, saya membongkar ulang simpanan harta karun saya. Setidaknya ada lima box ukuran 45 liter yang terisi penuh buku dan satu lemari belajar yang penuh dengan buku-buku bacaan.


Selama proses sortir, perasaan seperti,

‘ih bagus ini’

‘wah ini kan yang menulis si ini’

‘hmm dulu mau beli buku ini pakai nabung dulu’

Dan seterusnya, terus terbayang. Hih! Emang ya. Godaan saat ingin melangkah kepada kebaikan itu adaaa ajaa. Saya akhirnya menemukan cara baru untuk sortir. Saya hanya akan menyimpan buku pemberian orang (dan bagus) serta buku yang rekomended untuk anak-anak saya kelak. Saya yang biasanya penuh perasaan saat sedang mengurus buku, mendadak menjadi tega sekali. Prinsip saya satu, ‘apa yang bisa disumbangkan, sumbangkan. Apa yang bisa dibuang, buang!’


Tara! Dari lima box buku bacaan, tinggal 1 box saja. Empat box lainnya saya hibahkan. Bisa ya melepas ‘anak’ dengan semudah itu? Jujur saja tidak. Sampai saya menuliskan tulisan ini, saya masih kerap kali ingat anak-anak saya itu. Tapi saya senang, setidaknya mereka bermafaat untuk orang lain, dan saya bisa mengurai kemelekatan saya terhadap benda-benda. Itung-itung mengasah diri agar tidak terlalu cinta dunia, ye kan.


Dulu, setiap melihat tumpukan buku, saya selalu takut (dan senang). Takut kalau suatu saat, belum mampu menjadikan buku-buku ini manfaat untuk orang lain, sudah diminta untuk ’pulang’. Terus sampai ‘rumah’, ditanya, apa manfaat dari waktu serta benda-benda yang saya beli selama hidup.

Sije

Arumdalu, 20 Januari 2021

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment