Jumat, Desember 26, 2014

Kesungguhan Tanpa Bukti, Adakah?

Credit here
Allah punya sejuta cara untuk mendewasakan umatnya, termasuk saya. Ada banyak hal yang tak terduga yang tetiba saya harus hadapi. Ini tentang kesungguhan. Bahwa Allah selalu memberi jeda untuk kita membuktikan bahwa kita bersungguh-sungguh.

Satu setengah tahun yang lalu seorang teman perempuan saya datang, atau lebih tepatnya kami sengaja bertemu untuk bercerita. Menggambarkan semua yang kami alami selama ada jeda yang menyembunyikan kabar masing-masing.

“Aku sedang berproses dengan seseorang,” begitu awal ceritanya. Lalu bergulirlah semua cerita itu. Saya tak harus menuliskannya disini kan? Karena keduanya akhirnya tidak disatukan. Jadi biarkan itu menjadi satu dari sekian rahasia yang harus saya simpan baik-baik.

Hari ini, seseorang yang lain menyatakan hal yang sama.

“Mbak, aku sedang berproses dengan si ini,” Si ini yang tidak lain adalah orang yang sama dengan yang berproses dengan teman saya pertama tadi.

“Iya, terus?”

“Dia bagaimana mbak?

“Dia baik,” kata saya.

“Mau ngaji nggak ya?”

Satu dari beberapa pertanyaan prinsip yang akan ditanyakan oleh perempuan yang insya Allah selalu berusaha baik. Apakah dia mau ngaji? Apakah dia mau membaik?

Saya menarik napas panjang, Sulit dan begitu sulit memang bagi kami para perempuan untuk mempersilakan masuk seseorang ketika dia sendiri masih belum yakin dimana dia berdiri. Satu nasehat yang masih selalu saya ingat adalah, terimalah dia yang memang secara agama sudah baik. Urusan dunia, lihat potensinya. Dunia akan mudah kalian lalui ketika kalian bisa saling menunjuang potensi masing-masing. Poinnya, agama dia yang sekarang. Bagaimana salatnya? Bagaimana akhlaknya? Dan tentu saja bagaimana ngajinya? Selanjutnya baru siapa gurunya dan bagaimana sikap serta sifatnya.

Ini tidak semudah kaum adam yang lebih leluasa memilih karena nantinya mereka yang akan ambil keputusan. Sedang kami adalah perempuan yang dengan patuh kepada suaminya ada surga yang mengikutinya. Lalu bagaimana cara menggapai surga ketika orang yang datang kepadanya masih bingung dalam barisan mana dia akan menuju surga.

Sekali lagi Allah mendewasakan saya. Meletakkan saya pada posisi tengah yang harus bisa menjadi penentu yang baik.

Saya tahu betapa sulit dan rumitnya ini. Tentang kesungguhan yang harus dibuktikan. Bahwa tidaklah seseorang dianggap beriman apabila dia belum diuji.
Tentu saja bukan hal yang bijak ketika memutuskan mau bergabung dengan sebuah jama’ah karena sebagai syarat. Ada niat yang dipertaruhkan disini. Lalu apakah proses ini harus selesai sebelum berakhir (lagi)? Urusan yang terakhir ini bukan wewenang saya. Biar yang berproses yang memikirkannya.

Pada titik ini saya akhirnya menyadari satu hal. Bahwa kita belum dikatakan bersungguh-sungguh ketika belum ada bukti. Dalam hal ini, tidak ada yang bisa menjamin bahwa seseorang itu mau berubah ketika belum ada bukti yang dia tunjukkan. Belum ada gerakan nyata yang dia lakukan. Contoh nyatanya dalam hal ini.

Saya pikir waktu satu setengah tahun bukanlah waktu yang cukup singkat untuk memilih ada di barisan mana kita akan berjuang. Bukankah pada yang pertama dia temukan syarat serupa dan dia pun mengatakan bahwa dia pun butuh sebuah tempat bernama jama’ah untuk berkarya. Lalu mana kesungguhan bahwa jama’ah itu menjadi sebuah kebutuhan, kalau pada kenyataannya, tidak ada ikhtiar kita untuk menjemput kendaraan surga.

Sekali lagi Allah mendewasakan saya. Melalu nyata-nyata yang dilewatkanNya menjadi parade bianglala. Kamu belum bersungguh-sungguh ketika kamu belum coba ikhtiar untuk membuktikannya.





Senorita
Arumdalu 26 Desember 2014 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment