Credit here |
Satu
setengah tahun yang lalu seorang teman perempuan saya datang, atau lebih
tepatnya kami sengaja bertemu untuk bercerita. Menggambarkan semua yang kami
alami selama ada jeda yang menyembunyikan kabar masing-masing.
“Aku
sedang berproses dengan seseorang,” begitu awal ceritanya. Lalu bergulirlah
semua cerita itu. Saya tak harus menuliskannya disini kan? Karena keduanya
akhirnya tidak disatukan. Jadi biarkan itu menjadi satu dari sekian rahasia
yang harus saya simpan baik-baik.
Hari
ini, seseorang yang lain menyatakan hal yang sama.
“Mbak,
aku sedang berproses dengan si ini,” Si ini yang tidak lain adalah orang yang
sama dengan yang berproses dengan teman saya pertama tadi.
“Iya,
terus?”
“Dia
bagaimana mbak?
“Dia
baik,” kata saya.
“Mau
ngaji nggak ya?”
Satu
dari beberapa pertanyaan prinsip yang akan ditanyakan oleh perempuan yang insya
Allah selalu berusaha baik. Apakah dia mau ngaji? Apakah dia mau membaik?
Saya
menarik napas panjang, Sulit dan begitu sulit memang bagi kami para perempuan
untuk mempersilakan masuk seseorang ketika dia sendiri masih belum yakin dimana
dia berdiri. Satu nasehat yang masih selalu saya ingat adalah, terimalah dia
yang memang secara agama sudah baik. Urusan dunia, lihat potensinya. Dunia akan
mudah kalian lalui ketika kalian bisa saling menunjuang potensi masing-masing.
Poinnya, agama dia yang sekarang. Bagaimana salatnya? Bagaimana akhlaknya? Dan
tentu saja bagaimana ngajinya? Selanjutnya baru siapa gurunya dan bagaimana
sikap serta sifatnya.
Ini
tidak semudah kaum adam yang lebih leluasa memilih karena nantinya mereka yang
akan ambil keputusan. Sedang kami adalah perempuan yang dengan patuh kepada
suaminya ada surga yang mengikutinya. Lalu bagaimana cara menggapai surga
ketika orang yang datang kepadanya masih bingung dalam barisan mana dia akan
menuju surga.
Sekali
lagi Allah mendewasakan saya. Meletakkan saya pada posisi tengah yang harus
bisa menjadi penentu yang baik.
Saya
tahu betapa sulit dan rumitnya ini. Tentang kesungguhan yang harus dibuktikan.
Bahwa tidaklah seseorang dianggap beriman apabila dia belum diuji.
Tentu
saja bukan hal yang bijak ketika memutuskan mau bergabung dengan sebuah jama’ah
karena sebagai syarat. Ada niat yang dipertaruhkan disini. Lalu apakah proses
ini harus selesai sebelum berakhir (lagi)? Urusan yang terakhir ini bukan
wewenang saya. Biar yang berproses yang memikirkannya.
Pada
titik ini saya akhirnya menyadari satu hal. Bahwa kita belum dikatakan
bersungguh-sungguh ketika belum ada bukti. Dalam hal ini, tidak ada yang bisa
menjamin bahwa seseorang itu mau berubah ketika belum ada bukti yang dia
tunjukkan. Belum ada gerakan nyata yang dia lakukan. Contoh nyatanya dalam hal
ini.
Saya
pikir waktu satu setengah tahun bukanlah waktu yang cukup singkat untuk memilih
ada di barisan mana kita akan berjuang. Bukankah pada yang pertama dia temukan
syarat serupa dan dia pun mengatakan bahwa dia pun butuh sebuah tempat bernama
jama’ah untuk berkarya. Lalu mana kesungguhan bahwa jama’ah itu menjadi sebuah
kebutuhan, kalau pada kenyataannya, tidak ada ikhtiar kita untuk menjemput
kendaraan surga.
Sekali
lagi Allah mendewasakan saya. Melalu nyata-nyata yang dilewatkanNya menjadi
parade bianglala. Kamu belum bersungguh-sungguh ketika kamu belum coba ikhtiar
untuk membuktikannya.
Senorita
Arumdalu 26 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Write Comment