Selasa, Februari 17, 2015

Aku Terima Keputusanmu

Credit here
Halah judule lebay ya. Hahaha, biarin lah saya sedang mancing ide nulis biar mau keluar. Ikan kali dipancing. 

Coretan kali ini tentang serba serbi penolakan. Pertama adalah saat saya menolak. Cieleh, pernah nolak orang je? Hush… diem aja. 

Tentang menolak, saya jadi ingat beberapa kali menolak orang (cinta monyet sih) secara tidak sadar. Yap, pertama kali ada temen iseng nembak bilang suka, saat saya kelas 6 SD. Demi apa coba ada cowok imut (imut dalam arti umur, saat itu dia masih kelas 6 SD juga) nembak. Modusnya ngasih gelang bertuliskan I Love You.

“Eh mau tak kasih gelang nggak?”

Dan ternyata saya yang punya bakat cuek (lebih tepatnya loading lama dalam urusan beginian) sejak dari lahir, Cuma melirik gelang itu dan dengan entengnya menjawab, 

“Nggak ah.”  Setelah kejadian itu di menjauh, dan saya tetap tidak paham kode menjauhnya dia. Wkekee.

Tahu apa yang saya pikirkan waktu itu? Saya nggak suka motif gelangnya. Simple. Nggak ada tuh terlintas kalau itu ada modusnya. Tahu saya menyadari itu berapa tahun kemudian? Saat saya SMA. Hihihi. Duh, maap ye bro. Harap dimaklumi temanmu satu ini emang lola dalam dunia itu. Wkekeke.

Kedua, saat saya kelas 2 SMP. Saat itu saya ikut ekstrakulikuler pencak silat. Tapi percayalah, ingatan akan semua jurus yang pernah dipelajari sudah menguap entah kemana. Nah, kebetulan yang intensif ikut ekstrakulikuler itu hanya sekitar 6 orang. Tiga perempuan kelas 2 SMP (termasuk saya) 3 orang lagi anak kelas 1 (satu laki-laki dan 2 perempuan).  Karena saking seringnya kami latihan bareng (satu pekan bisa sampai 2 atau 3 kali),  teman saya (perempuan) ada yang suka sama satu-satunya laki-laki diantara kami. Dan dia meminta saya jadi mak comblang. Dasarnya saya juga masih labil, saya iyain aja. 

Suatu hari teman perempuan saya ini minta tolong untuk menyampaikan sebuah surat (surat cinta kali ya, saya tidak pernah tahu isinya) kepada si adik kelas laki-laki yang dia sukai itu. Setelah saya memberikan surat itu, si adik ini iseng membacakan surat itu di depan kelas. 

Meradanglah saya waktu itu. Ya kan ceritanya saya mak comblang. Saya marah-marah (emang bakat marah-marah kali ya -___-) di kelas mereka. Malu donk, surat cinta dibaca di depan kelas. 

Semua terjawab saat akhir pekan. Saat latihan rutin pencak silat. 

“eh mbak, sebenarnya si X (si adik kelas yang disukai teman saya) ini nggak suka sama si mbak ini (menyebut nama teman saya), tapi dia sukanya sama mbak.”

Dan seperti biasanya saya nggak paham maksudnya. Padahal udah jelas banget ya. Waktu itu saya cuma jawab.

“Heleh, ngomong apa sih,” lalu saya menyusul yang lain melanjutkan latihan fisik. 

Kali ini saya menyadarinya satu tahun kemudian. Saat si adik ini sudah pindah sekolah. Hihihi.  

Cerita selanjutnya? Ah sudahlah ya. Nggak usah diceritain. Saya tambah sadis soalnya. :D 

Ada pendapat? Oke saya akui saya lola sekali dalam urusan satu itu. Mau ada yang jempalitan ngasih kode ya biarin. Saya kan bukan detektif. Hingga saat ini saya mensyukuri kelolaan saya dalam hal ini. Bayangkan saja, saat SMP adalah saat labilnya saya. Korban sinetron gitu, pengen jadi orang yang ditakutin di sekolah. Selain itu juga demen banget tuh sama sinetron remaja yang isinya anak SMP rebutan pacar. Duh, masa remaja saya kelabu. Seandainya saya nggak lola, sudah berapa kali saya pacaran. Fyuuhh lola itu kadang indah.  :D

Sudah cukup ya cerita nggak nyambungnya. Bagi yang terbiasa membaca tulisan saya, pasti sudah tahu kalau saya nulisnya suka loncat-loncat, random. 

Kalau tadi tentang menolak, sekarang tentang ditolak. Pernah ditolak je? Hiks, pernah. Sakitnya tuh di jempol #lho.

Bagaimana rasanya jadi mahasiswa baru, pengen banget masuk rohis dan ternyataaaa DITOLAK. 

Yap, saya adalah salah satu orang yang tertolak di rohis kampus. Duh kasihan sekali ya. Ya, saat itu seperti calon aktivis (duileh) yang lainnya, saya daftar rohis fakultas. Saya lupa daftar apa, sepertinya Sumber Daya Manusia (lupa nama departemennya), dan jurnalistik apa ya. Lupa saya. Sama seperti yang lain, mengisi formulir dan wawancara. 

Satu hari sebelum pengumuman saya masih bisa senyum-senyum saat ketemu senior di rohis. Hingga saat hari H, saya shock berat. Tidak ada nama saya di form pengumuman yang ditempelkan di depan sekertariat. Duh pengen mewek. Berasa bandel banget, bahkan sampai rohis fakultas pun menolak.  Padahal semua teman-teman saya diterima. Malu banget pokoknya. 

Ini adalah kali pertama saya ditolak. Eh enggak dink, dulu jaman SMA pernah ditolak masuk OSIS. Tapi emang dari awal udah nggak demen atmosfir di OSIS, ya udah nggak ada adegan memble. Tapi kalau ditolak rohis, rasanya nelangsa banget (waktu itu). 

Butuh jeda bagi saya waktu itu untuk menerima keputusan itu. Bahwa saya lebih dibutuhkan ditempat lain. Ada sampai satu tahun lebih sampai saya akhirnya bisa mengerti alasan kenapa saya ditolak. Hingga akhirnya saya bisa bilang, ‘oke, nggak apa.’ Padahal di dalam hati gerimis. 

Ada yang pernah ditolak oleh sesuatu yang begitu diinginkan seperti saya diatas?  Kalau ada kita sama. Toss!! 

Semakin kesini saya semakin menyadari, ada niat yang ‘busuk’ saat itu. Masih berharap kepada makhluknya. Yap, kalau saya tidak sangat berharap tentu saya tidak akan sememble itu. Lalu bagaimana cara mengelola rasa saat ditolak? 

Kembalikan bahwa Allah adalah sebaik-baik Sutradara. Tidak ada satu pun yang terjadi tanpa ijinNya. Penting juga untuk selalu ingat, bahwa apapun yang terjadi, semua sudah diukur. Sudah diatur sesuai kadar masing-masing. Kalau itu kita alami, berarti kita kuat. 

# sebuah refleksi. Pengikat kisah agar tidak hilang begitu saja. 

Senorita
Arumdalu 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment