Credit here |
Negara kita Negara Hukum! Memang!
Kita merdeka berbicara! Memang! Tetapi bukan merdeka
yang liar! Negara hukum adalah Negara Budi, Negara Toleran dan Negara Tasamuh!
Negara yang tidak ada paksaan dalam agama. Siapa yang melanggar aturan dan undang-undang
pidana harus dituntut dibawa ke muka hakim. (Prof. Dr. Hamka)
Dalam bukunya Ghirah Dan tantangan terhadap islam,
Hamka menuliskan kisah seorang Mahatma Gandhi dalam satu bab khusus. Betapa
seorang Gandhi rela meniarap dibawah kaki seorang Vijaya Lakshmi Pandit, adik perempuan Jawaharlal Nehru. Hanya karena Vijaya ingin menikah dengan seorang doktor
muslim. Meniarap hingga Vijaya patah!
Pada tahun 1936 putera sulungnya, Motial Gandhi, masuk Islam di Amerika
Selatan. Ribut besar! Gandhi sudi puasa sampai mati! Lain lagi pada tahun 1938,
ketika seorang gadis islam bernama Raihanah
Thaib, jatuh cinta pada seorang pemuda hartawan Hindu. Kemenakan dari
seorang milyuner Hindu Chankarlal.
Mereka akhirnya menikah. Maka orang yang lebih dulu mengirim kawat, mengucap
selamat atas perkawinan itu, dimalam pertama, tidak lain dan tidak bukan adalah
Mahatma Gandhi!
Begitu hebatnya
cemburu Gandhi kalau martabat agamanya tersinggung. Meskipun kelihatannya
begitu lemah lembut dan
berperikemanusiaan. Tulis Buya dalam
bukunya.
Cemburu itu wajar. Bukan hanya milik Islam. Agama
lain pun sama. Kenapa saya mengambil tokoh bukan seorang muslim? Sebab banyak
dari kita yang masih begitu takut ketika mengambil sikap berdasar kisah dari
muslim lainnya. Kisah yang lain? Banyak tentu saja.
Saya cemburu ketika melihat banyak dari kita yang
justru ramai melihat sisi aksi turun kejalanya, membagikan banyak tautan dengan
komentar kurang lebih, ‘Halah begitu saja kok heboh’. Namun jarang sekali yang
kemudian menunjukkan rasa cemburunya ketika ada orang yang dengan jumawa bernasihat
‘jangan mau dibohongi oleh surat cinta Tuhanmu’. Sungguh, kalau pun ini diucapkan
oleh seorang muslim kepada pemeluk agama lain, saya juga akan meradang.
Saya cemburu. Ketika beberapa rumah tulisan kami
ditutup paksa namun di saat yang sama situs-situ media yang menciderai kode
etik jurnalistik justru bebas melenggang bebas begitu saja. Juga saat media
lebih tertarik berbicara tentang Jesicca Mirna dari pada tentang adik kami Musa.
Apakah saya minta semuanya? Tidak. Hanya, bersikaplah
sesuai tempatnya. Adil memang tidak merata. Tapi lakukan yang sejujurnya dan
sesungguhnya. Meminta hati untuk berfatwa.
Kita memang berbeda, tapi seharusnya ini sudah cukup
menjadi tanda, dimana batas toleransi kita.
Bagiku agamaku,
dan bagimu agamamu.
Selain itu, mari kita bersama.
Dengan Cinta
Jogja 4 November 2016
Tidak ada komentar:
Write Comment