Selasa, Maret 27, 2012

Perempuan (lagi)




Berbicara masalah perempuan memang selalu menarik. Bukan hanya untuk para laki-laki selaku lawan jenis perempuan, tapi juga untuk para perempuan itu sendiri. Emansipasi, penindasan, persamaan hak dan beberapa kata sejenis menjadi bahasan yang laris manis. Bermula dari zaman “penindasan” perempuan, hingga muncul zamannya kartini dengan sebuah gerakan yang selalu dikenal dengan istilah emansipasi. Meskipun hingga sekarang tak banyak yang bisa menebak, gerakan seperti apa yang sebenarnya digagas oleh kartini. Selain karena tak ada bukti otentik lain kecuali surat-surat Kartini, tidak banyak saksi hidup yang bisa menjadi juru kunci pembuka. Bagaimanapun Kartini hidup dalam bingkai penjajahan, meninggal saat gerakan yang digagasnya belum sempurna. Berlanjut ke zaman dimana persamaan hak atas perempuan dikoar-koarkan dimana-mana. Hingga terkadang persamaan-persamaan hak yang dituntut itu tidak masuk akal.

Berbicara sebagai seorang perempuan, saya cukup mengapresiasi secara positif, mereka-mereka yang mengatakan bahwa perempuan itu harus dilindungi. Hanya saja penerapannya yang terkadang kurang pas. Sebagai contoh, dengan dalil melindungi, perempuan dikurung dirumah tanpa diberi kesempatan untuk keluar. Pada kodratnya memang perempuan mempunyai tugas utama sebagai madrasah pertama seorang anak, dan itu bisa dilakukan dengan dia mendampingi pertumbuhan anak-anaknya. Mendampingi disini sering diartikan sebagai pendampingan full dirumah, tanpa ada aktifitas keluar rumah. Hingga akhirnya banyak pendapat-pendapat miring yang mengartikan pendampingan artinya pengurungan. Pengurungan diartikan penindasan. Penindasan bearti ketidakadilan.

Hal ini dijadikan sebagai sebuah alat untuk mem-brainwash ­pemikiran-pemikiran para perempuan yang ada. Akhirnya mulai banyak yang berfikiran bahwa yang namanya mengasuh anak adalah sebuah pekerjaan yang “kuno”, pekerjaan yang tanpa kebebasan. Padahal seandainya kita mau menilik lebih luas, makan pendampingan bisa diartikan lain.  Ditambah lagi banyaknya laki-laki yang menuntut istri(perempuan)nya untuk tetap dirumah. Tidak boleh bekerja. Hal-hal semacam ini membuat pengertian “tinggal dirumah” menjadi sesuatu yang dihindari. Seolah-olah kebebasan seorang perempuan terenggut setelah berlangsungnya sebuah prosesi pernikahan atau setelah diketahui hamil anak pertama.

Hanya saja ada yang perlu digarisbawahi dan mungkin dicetak tebal. Para ibu atau perempuan mungkin bisa dengan senang hati ketika para suami mereka meminta untuk tetap tinggal dirumah. Duduk manis, menunggu suami pulang dengan menyiapkan segelas teh hangat, wah..pokoknya patuh mode on. Tanpa mempedulikan apa yang tengah terjadi di luar sana. Informasi yang diterima dari luar sepenuhnya dari sang suami tercinta (bagi keluarga yang menolak TV). Dunia memang terasa manis. Tapi apakah dunia itu sesempit itu? Apakah yang membutuhkan ibu adalah anak kita sendiri? Bagaimana dengan mereka yang terbuang di kolong-kolong jembatan? Bagaimana pula dengan anak-anak yang hanya bisa mengecap indahnya malam hari dalam remang-remang cahaya lorong ibu kota?

 Bagaimana pula nasib panggung-panggung sastra yang menunggu polesan seorang sastrawan dari kalangan muslimah. Kita tak bisa memungkiri bahwa saat ini telah muncul berbagai media yang “ngajak perang”. Apakah itu dalam bentuk novel blue, puisi blue, cerpen blue, atau yang lainnya. kita ambil contoh karya anak bangsa, Djenar Mahesa Ayu dalam “Mereka bilang saya monyet”. Tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini jauh dari standar sopan untuk disebut sastra. Apakah hingga saat ini ada yang mampu memangkasnya? Kita mungkin bisa menutup mata dan menganggap itu semua tidak ada. Bagaimana dengan lingkungan kita? Apakah iya kita hanya akan diam saja? Tentu saja tidak, kita perlu srikandi-srikandi tandingan, para muslimah tangguh untuk berkarya yang lebih baik. Sebuah tantangan pembuktian, bahwa islam mampu mencetak muslimah-muslimah yang mampu berkarya lebih dari yang lain.

Apakah para bapak-bapak telah sanggup mencari solusi untuk itu semua tanpa perempuan-perempuan ikut andil? Lalu kenapa masih saja ada yang menyalahkan ketika para muslimah itu keluar dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya? Padahal dalam konteks ini, tugasnya sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri telah dia tuntaskan.
Saya pun cukup mengapresiasi positif mereka yang mengatakan bahwa persamaan hak atas perempuan harus diperjuangkan. Saya kira bukan hanya perempuan saja yang layak diperjuangkan, tapi setiap manusia harus diperjuangakn hak-hak-nya sebagai manusia.

Dunia perempuan tidak selamanya melulu penindasan. Tidak selamanya perempuan bergelut dengan dunia ketidakadilan. Bagi beberapa orang, pernikahan dianggap sebagai sebuah langkah menuju gerbang pengungkungan perempuan, hingga akhirnya perlu yang namanya pembelaan terhadap kaum perempuan. Kasus-kasus dilapangan mungkin bisa jadi bukti bahwa perempuan memang rawan dengan yang penganiyayaan, tapi tentu saja itu tidak bisa dijadikan standar. Disaat banyak yang menuntut bahwa mengasuh anak adalah pekerjaan kuno, masih banyak perempuan yang menikmati hidupnya dengan menjadi seorang ibu. Diwaktu beberapa perempuan menganggap patuh terhadap suami adalah sebuah tindakan merendah dihadapan lawan jenis, masih ada dan banyak yang menganggap itu adalah bukti cinta seorang perempuan kepada suaminya. Artinya cara menilai tergantung dengan obyek yang  dinilai. Satu penilaian tidak dapat dijadikan standar untuk menilai hal yang lain.

Berbicara tentang perempuan bukan hanya dapat dilihat dari sudut boleh dan tidak boleh. Apalagi hanya sekedar seputar dunia penindasan. Ada banyak kondisi yang harus dipilah dan dipilih. Agama saja masih mempunyai cara yang pantas untuk meletakkan seorang perempuan. Kenapa kita sebagai manusia selalu memaksakan penilaian? Bagi mereka yang selalu berkata ini tak boleh itu tak boleh, ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan. Sejauh mana kalian bisa menggantikan fungsi sosial perempuan? Bagi mereka yang selalu mengatakan kebebasan berekspresi, Sejauh mana kalian memahami hakekat seorang perempuan?


 *Sebuah Proses belajar untuk menjadi seorang perempuan

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment