Berbicara masalah perempuan memang selalu
menarik. Bukan hanya untuk para laki-laki selaku lawan jenis perempuan, tapi juga
untuk para perempuan itu sendiri. Emansipasi, penindasan, persamaan hak dan
beberapa kata sejenis menjadi bahasan yang laris manis. Bermula dari zaman
“penindasan” perempuan, hingga muncul zamannya kartini dengan sebuah gerakan
yang selalu dikenal dengan istilah emansipasi. Meskipun hingga sekarang tak
banyak yang bisa menebak, gerakan seperti apa yang sebenarnya digagas oleh
kartini. Selain karena tak ada bukti otentik lain kecuali surat-surat Kartini,
tidak banyak saksi hidup yang bisa menjadi juru kunci pembuka. Bagaimanapun Kartini
hidup dalam bingkai penjajahan, meninggal saat gerakan yang digagasnya belum
sempurna. Berlanjut ke zaman dimana persamaan hak atas perempuan dikoar-koarkan
dimana-mana. Hingga terkadang persamaan-persamaan hak yang dituntut itu tidak
masuk akal.
Berbicara sebagai seorang perempuan, saya cukup
mengapresiasi secara positif, mereka-mereka yang mengatakan bahwa perempuan itu
harus dilindungi. Hanya saja penerapannya yang terkadang kurang pas. Sebagai
contoh, dengan dalil melindungi, perempuan dikurung dirumah tanpa diberi
kesempatan untuk keluar. Pada kodratnya memang perempuan mempunyai tugas utama
sebagai madrasah pertama seorang anak, dan itu bisa dilakukan dengan dia
mendampingi pertumbuhan anak-anaknya. Mendampingi disini sering diartikan
sebagai pendampingan full dirumah, tanpa ada aktifitas keluar rumah. Hingga akhirnya
banyak pendapat-pendapat miring yang mengartikan pendampingan artinya
pengurungan. Pengurungan diartikan penindasan. Penindasan bearti ketidakadilan.
Hal ini dijadikan sebagai sebuah alat untuk mem-brainwash pemikiran-pemikiran para
perempuan yang ada. Akhirnya mulai banyak yang berfikiran bahwa yang namanya
mengasuh anak adalah sebuah pekerjaan yang “kuno”, pekerjaan yang tanpa
kebebasan. Padahal seandainya kita mau menilik lebih luas, makan pendampingan
bisa diartikan lain. Ditambah lagi banyaknya
laki-laki yang menuntut istri(perempuan)nya untuk tetap dirumah. Tidak boleh
bekerja. Hal-hal semacam ini membuat pengertian “tinggal dirumah” menjadi
sesuatu yang dihindari. Seolah-olah kebebasan seorang perempuan terenggut
setelah berlangsungnya sebuah prosesi pernikahan atau setelah diketahui hamil
anak pertama.
Hanya saja ada yang perlu digarisbawahi dan
mungkin dicetak tebal. Para ibu atau perempuan mungkin bisa dengan senang hati
ketika para suami mereka meminta untuk tetap tinggal dirumah. Duduk manis,
menunggu suami pulang dengan menyiapkan segelas teh hangat, wah..pokoknya patuh
mode on. Tanpa mempedulikan apa yang tengah terjadi di luar sana. Informasi
yang diterima dari luar sepenuhnya dari sang suami tercinta (bagi keluarga yang
menolak TV). Dunia memang terasa manis. Tapi apakah dunia itu sesempit itu?
Apakah yang membutuhkan ibu adalah anak kita sendiri? Bagaimana dengan mereka
yang terbuang di kolong-kolong jembatan? Bagaimana pula dengan anak-anak yang
hanya bisa mengecap indahnya malam hari dalam remang-remang cahaya lorong ibu
kota?
Bagaimana
pula nasib panggung-panggung sastra yang menunggu polesan seorang sastrawan
dari kalangan muslimah. Kita tak bisa memungkiri bahwa saat ini telah muncul
berbagai media yang “ngajak perang”. Apakah itu dalam bentuk novel blue, puisi
blue, cerpen blue, atau yang lainnya. kita ambil contoh karya anak bangsa, Djenar
Mahesa Ayu dalam “Mereka bilang saya monyet”. Tulisan-tulisan yang ada di dalam
buku ini jauh dari standar sopan untuk disebut sastra. Apakah hingga saat ini
ada yang mampu memangkasnya? Kita mungkin bisa menutup mata dan menganggap itu
semua tidak ada. Bagaimana dengan lingkungan kita? Apakah iya kita hanya akan
diam saja? Tentu saja tidak, kita perlu srikandi-srikandi tandingan, para muslimah
tangguh untuk berkarya yang lebih baik. Sebuah tantangan pembuktian, bahwa
islam mampu mencetak muslimah-muslimah yang mampu berkarya lebih dari yang
lain.
Apakah para bapak-bapak telah sanggup mencari
solusi untuk itu semua tanpa perempuan-perempuan ikut andil? Lalu kenapa masih
saja ada yang menyalahkan ketika para muslimah itu keluar dalam rangka
menjalankan fungsi sosialnya? Padahal dalam konteks ini, tugasnya sebagai
seorang ibu dan sebagai seorang istri telah dia tuntaskan.
Saya pun cukup mengapresiasi positif mereka yang
mengatakan bahwa persamaan hak atas perempuan harus diperjuangkan. Saya kira
bukan hanya perempuan saja yang layak diperjuangkan, tapi setiap manusia harus
diperjuangakn hak-hak-nya sebagai manusia.
Dunia perempuan tidak selamanya melulu
penindasan. Tidak selamanya perempuan bergelut dengan dunia ketidakadilan. Bagi
beberapa orang, pernikahan dianggap sebagai sebuah langkah menuju gerbang
pengungkungan perempuan, hingga akhirnya perlu yang namanya pembelaan terhadap
kaum perempuan. Kasus-kasus dilapangan mungkin bisa jadi bukti bahwa perempuan
memang rawan dengan yang penganiyayaan, tapi tentu saja itu tidak bisa
dijadikan standar. Disaat banyak yang menuntut bahwa mengasuh anak adalah
pekerjaan kuno, masih banyak perempuan yang menikmati hidupnya dengan menjadi
seorang ibu. Diwaktu beberapa perempuan menganggap patuh terhadap suami adalah
sebuah tindakan merendah dihadapan lawan jenis, masih ada dan banyak yang
menganggap itu adalah bukti cinta seorang perempuan kepada suaminya. Artinya
cara menilai tergantung dengan obyek yang
dinilai. Satu penilaian tidak dapat dijadikan standar untuk menilai hal
yang lain.
Berbicara tentang perempuan bukan hanya dapat
dilihat dari sudut boleh dan tidak boleh. Apalagi hanya sekedar seputar dunia
penindasan. Ada banyak kondisi yang harus dipilah dan dipilih. Agama saja masih
mempunyai cara yang pantas untuk meletakkan seorang perempuan. Kenapa kita
sebagai manusia selalu memaksakan penilaian? Bagi mereka yang selalu berkata
ini tak boleh itu tak boleh, ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan.
Sejauh mana kalian bisa menggantikan fungsi sosial perempuan? Bagi mereka yang
selalu mengatakan kebebasan berekspresi, Sejauh mana kalian memahami hakekat
seorang perempuan?
*Sebuah
Proses belajar untuk menjadi seorang perempuan
Tidak ada komentar:
Write Comment