Selasa, Juni 24, 2014

Selamat Memilih


Pada akhirnya kita sendiri yang memilih jalan dan cara kita. Apapapun itu. Termasuk memilih hidup yang seperti apa. Juga tentang bagaimana caranya. Biar tetap berkah atau hanya dapat hikmah. Saya tertampar sekali ketika melihat banyak realita. Beginikah? Begitukah? Atau saya yang terlalu polos, sehingga tak pernah terpikir tentang itu.

Salah satu hal yang bisa kita pilih adalah tentang pernikahan dan hubungan dengan lawan jenis. Sebenarnya saya sedang tidak ingin menulis tentang tema ini. Tapi ini harus dituliskan segera. Sebagai pembelajaran. In Sha Allah bukan dalam rangka menyebarkan aib. Hanya untuk saling menjaga. Aku, kamu, dia, mereka. Kita semua.

Tentu saja kita berbeda, jangan pernah berpikir menyenangkan menjadi orang kebanyakan. Sebab pada kenyataannya kita dari awal memang sudah memilih sebuah jalan. Mari kita sebut jalan itu sebagai “Jalan cinta para pejuang”. Meminjam istilah judul buku ustadz salim.

Seperti yang selalu kita yakini (Eh iya kan? Kita sama-sama yakin kan?). Apa iya kita merasa beriman kalau belum diuji? Allah selalu tahu dimana titik terlemah kita, dan disitulah kita akan diuji. Jadi, kalau kita masih diuji dengan hal remeh temeh, bisa jadi keimanan kita juga masih remeh temeh.

Saya sering mengalami ini. Diuji dengan hal yang remeh temeh. Itu membuat saya berpikir, seremeh temeh kah itu iman saya. Saya ambil contoh tentang sabar. PR terberat saya adalah terus mengasah sabar. Bagaimana memanagemen marah saat marah itu menjadi hal yang wajar (misal saat kita dihina). Juga tentang caci maki, bagaimana cara kita mengerem mulut dan tangan untuk mengucap serta menulis caci saat cacian itu benar. Apalagi saya berasal dari lingkungan dekat Jawa Timur yang sudah mulai terasa aroma “keras”-nya. Lalu pindah ke Jogja menghadapi orang-orang yang begitu halus. Hahha, awalnya fell like crazy. Gemesss!! Disini selalu ada pilihan. Mau marah dan mencaci? Atau mau duduk tersenyum memaafkan (memahami). Dan yang kedua ini saya belum bisa sering-sering mempraktekkan. Butuh training khusus. Seringnya saya pilih pergi ke cafĂ© es krim, makan es krim yang banyak. Hihihhi

Oke, kembali ke jalan yang kita pilih. Tentang pernikahan dan hubungan dengan lawan jenis. Salah satu fitnah untuk laki-laki adalah perempuan. Begitu juga sebaliknya, fitnahnya perempuan adalah laki-laki. Ini fitrahnya, karena pada kenyataannya, ada juga perempuan menjadi fitnah bagi perempuan lainnya. Juga dengan laki-laki, ada yang menjadi fitnah bagi laki-laki yang lainnya.

Beberapa waktu lalu, tahun lalu mungkin. Saya pernah debat dengan seorang teman. Dia keukeuh bahwa perempuan itu nggak boleh pasang foto (apalagi foto cantik) di sosial media seperti facebook, twiter, profil BBM, DP WA dan sejenisnya. Alasannya klasik, karena laki-laki itu fitnahnya ada dimata. Saya pribadi, keukeuh, bahwa itu tidak salah. Salah sendiri laki-lakinya nggak bisa menjaga. Lalu teman saya itu menjelaskan secara ilmiah tentang daya rangsang gambar terhadap otak laki-laki. Saya juga masih keukeuh, pokoknya itu tidak masalah. Selama fotonya wajar. Nggak centil dan sok cantik.

Debat kusir itu tidak ada ujungnya. Saya keukeuh dengan pendapat saya. Dia pun begitu. Hingga akhirnya saya menemukan fakta yang rasanya membuat jantung saya berhenti (#lebay). Saya menyadari, saya salah mengambil sudut pandang. Tentu saja saya tidak masalah kalau ada perempuan yang memasang fotonya di sosmed. Mau itu gaya apapun. Karena saat itu saya melihatnya dari sudut pandang perempuan. Ya iyalah ya, saya mana mungkin tergoda melihat foto-foto perempuan. Saya kan juga perempuan. Ya meskipun banyak yang bilang, gen ganteng saya lebih tinggi dari pada gen cantik. heehee

Saya lupa bahwa saya sedang berbicara dengan laki-laki. Mereka tentu saja punya sudut pandang sendiri. Tertampar betul saya saat melihat akud sosmed seorang perempuan muslimah, cantik dan kebetulan model iklan. Saya kepoin foto-fotonya. Banyak foto-foto cantik yang di upload. Tapi bukan itu masalahnya. Komentar yang mengikuti foto-foto itu yang bermasalah. Kalau komentar sejenis, subhanallah, masyaAllah dll saya masih cukup bisa mentolerir. Tapi bagaimana kalau komentarnya adalah, “wah cantiknya. Mau nggak taaruf sama aku?”, “Wah mbaknya cantik, mau nggak jadi ibu dari anak-anakku?”. WHAT? Are you kidding me?iki ope rek, rek?  #garuk-garuk tembok #pingsan. Serasa mau bilang, bunuh saja aku! Dari pada harus melihat ini. :D

Di waktu lain saya menemukan kasus serupa. Seorang adik yang cantik. Manis pake banget lah. Saya tidak tahu apa maksudnya upload gambar-gambar cantik dirinya. Para komentatornya juga nggak kalah seru. Mulai dari yang normal sejenis “cantik”, sampai yang high quality gombal, “Ih nggak nahan deh cantiknya”. Ini cowok mameenn yang komen. Duh dek…. Nggak risih po kalau ada yang komen kayak gitu.

Masih kurang faktanya? Ada lagi, satu fakta yang membuat saya mual dan pengin muntah. Saat dengan sengaja (karena ada kebutuhan) melihat pesan seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya. Mereka saling berkirim (bertukar) foto perempuan (akhwat). Saya ada buktinya. Tapi itu biar jadi amanah saya untuk menjaganya. Ini nyata! Bukan sinetron.

Jalan Cinta Para Pejuang

Ini pilihanmu sendiri. Kau mau yang terjaga? Maka jagalah dirimu. Kamu mau yang sholihah? Maka sholihkan dirimu. Kamu mau yang cantik atau ganteng? Maka rawatlah tubuhmu. Cantik dan ganteng itu bukan bawaan lahir. Menarik secara fisik itu hanya bonus dari Allah, dengan menutup aib-aibmu, mencegah penyakit-penyakit darimu. Tapi sebelum memilih, luruskan dulu semuanya.

Teman saya menikah tanggal bulan Juni kemarin. Dia bercerita kenapa mau menerima suaminya itu. Salah satu alasannya adalah, sebelum suaminya mengajak taaruf, ada seseorang yang GJ (Gak Jelas) memberikan sinyal. Dia tidak mau. Dia ingin jadi bagian dari dakwah. Membangun masyarakat. Bukan sekedar menikah. Sekedar punya anak. Sekedar sholihah untuk dirinya sendiri. Dia memilih jalannya. Maka dia memilih orang yang baik dengan cara dan proses yang baik.

Terkait jalan yang kita pilih ada satu fenomena yang cukup miris saat ini adalah banyaknya perempuan muslimah yang mulai ikut-ikutan memajang foto selfie. Terlepas apapun tujuannya. Dan yang perlu kita ingat, bahwa kita tidak pernah tahu kondisi hati seperti apa yang sedang dialami oleh orang disekitar kita. Bisa jadi ada yang hatinya sedang sakit. Akibatnya foto kita justru membuat orang lain bermaksiat. Duh, bahasanya kok tinggi amat ya. Begini, intinya membuat orang-orang disekitar kita pengen lihatin foto kita terus. Nah, nggak baik kan.

Juga untuk kita sendiri. Ini bukan sebuah kebaikan. Sebuah nasehat yang sampai sekarang masih saya ingat adalah. Ketika kamu berani mempublish foto untuk umum tanpa tujuan yang syar’I, maka kamu harus berani menghadapi orang-orang yang mendekatimu karena fisik. Seperti yang kita tahu, laki-laki dan pandangannya adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Ini sejenis kita sedang menyeleksi orang-orang yang mendekati kita. Ketika kita pamer fisik maka bersiaplah, yang mendekat adalah mereka yang mudah tergoda dengan fisik. Fisik disini bukan berarti lekuk tubuh saja. Juga tentang manisnya senyum, tentang lesung pipi, tentang anggunnya gaun atau gamis yang kita pakai. All. Karena Allah itu baik, maka diciptakanlah perempuan yang begitu menarik.

Sekali lagi ini tentang pilihan. Tidak ada paksaan. Ketika kita sebagai perempuan memilih jalan seleksi fisik maka bersiaplah yang datang adalah mereka yang mendahulukan fisik sebelum kefahaman. Juga untuk laki-laki, ketika kamu memilih perepumpuan yang dengan mudah menunjukkan keindahan fisiknya, maka bersiaplah. Tugasmu lebih berat. Bagaimanapun, sebagian darinya sudah milik orang lain sebelum menjadi milikmu.

Setiap perempuan itu cantik, tapi hanya perempuan yang cerdas yang mampu memilih siapa yang berhak melihat kecantikannya.

Senorita 1251|240614

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment