Pada
akhirnya kita sendiri yang memilih jalan dan cara kita. Apapapun itu. Termasuk
memilih hidup yang seperti apa. Juga tentang bagaimana caranya. Biar tetap
berkah atau hanya dapat hikmah. Saya tertampar sekali ketika melihat banyak
realita. Beginikah? Begitukah? Atau saya yang terlalu polos, sehingga tak
pernah terpikir tentang itu.
Salah
satu hal yang bisa kita pilih adalah tentang pernikahan dan hubungan dengan
lawan jenis. Sebenarnya saya sedang tidak ingin menulis tentang tema ini. Tapi ini
harus dituliskan segera. Sebagai pembelajaran. In Sha Allah bukan dalam rangka
menyebarkan aib. Hanya untuk saling menjaga. Aku, kamu, dia, mereka. Kita
semua.
Tentu
saja kita berbeda, jangan pernah berpikir menyenangkan menjadi orang
kebanyakan. Sebab pada kenyataannya kita dari awal memang sudah memilih sebuah
jalan. Mari kita sebut jalan itu sebagai “Jalan cinta para pejuang”. Meminjam
istilah judul buku ustadz salim.
Seperti
yang selalu kita yakini (Eh iya kan? Kita sama-sama yakin kan?). Apa iya kita
merasa beriman kalau belum diuji? Allah selalu tahu dimana titik terlemah kita,
dan disitulah kita akan diuji. Jadi, kalau kita masih diuji dengan hal remeh
temeh, bisa jadi keimanan kita juga masih remeh temeh.
Saya
sering mengalami ini. Diuji dengan hal yang remeh temeh. Itu membuat saya
berpikir, seremeh temeh kah itu iman saya. Saya ambil contoh tentang sabar. PR
terberat saya adalah terus mengasah sabar. Bagaimana memanagemen marah saat
marah itu menjadi hal yang wajar (misal saat kita dihina). Juga tentang caci
maki, bagaimana cara kita mengerem mulut dan tangan untuk mengucap serta
menulis caci saat cacian itu benar. Apalagi saya berasal dari lingkungan dekat
Jawa Timur yang sudah mulai terasa aroma “keras”-nya. Lalu pindah ke Jogja
menghadapi orang-orang yang begitu halus. Hahha, awalnya fell like crazy. Gemesss!!
Disini selalu ada pilihan. Mau marah dan mencaci? Atau mau duduk tersenyum
memaafkan (memahami). Dan yang kedua ini saya belum bisa sering-sering
mempraktekkan. Butuh training khusus. Seringnya saya pilih pergi ke café es
krim, makan es krim yang banyak. Hihihhi
Oke,
kembali ke jalan yang kita pilih. Tentang pernikahan dan hubungan dengan lawan
jenis. Salah satu fitnah untuk laki-laki adalah perempuan. Begitu juga
sebaliknya, fitnahnya perempuan adalah laki-laki. Ini fitrahnya, karena pada
kenyataannya, ada juga perempuan menjadi fitnah bagi perempuan lainnya. Juga
dengan laki-laki, ada yang menjadi fitnah bagi laki-laki yang lainnya.
Beberapa
waktu lalu, tahun lalu mungkin. Saya pernah debat dengan seorang teman. Dia
keukeuh bahwa perempuan itu nggak boleh pasang foto (apalagi foto cantik) di
sosial media seperti facebook, twiter, profil BBM, DP WA dan sejenisnya.
Alasannya klasik, karena laki-laki itu fitnahnya ada dimata. Saya pribadi,
keukeuh, bahwa itu tidak salah. Salah sendiri laki-lakinya nggak bisa menjaga.
Lalu teman saya itu menjelaskan secara ilmiah tentang daya rangsang gambar
terhadap otak laki-laki. Saya juga masih keukeuh, pokoknya itu tidak masalah.
Selama fotonya wajar. Nggak centil dan sok cantik.
Debat
kusir itu tidak ada ujungnya. Saya keukeuh dengan pendapat saya. Dia pun
begitu. Hingga akhirnya saya menemukan fakta yang rasanya membuat jantung saya
berhenti (#lebay). Saya menyadari, saya salah mengambil sudut pandang. Tentu
saja saya tidak masalah kalau ada perempuan yang memasang fotonya di sosmed.
Mau itu gaya apapun. Karena saat itu saya melihatnya dari sudut pandang
perempuan. Ya iyalah ya, saya mana mungkin tergoda melihat foto-foto perempuan.
Saya kan juga perempuan. Ya meskipun banyak yang bilang, gen ganteng saya lebih
tinggi dari pada gen cantik. heehee
Saya
lupa bahwa saya sedang berbicara dengan laki-laki. Mereka tentu saja punya
sudut pandang sendiri. Tertampar betul saya saat melihat akud sosmed seorang
perempuan muslimah, cantik dan kebetulan model iklan. Saya kepoin foto-fotonya.
Banyak foto-foto cantik yang di upload. Tapi bukan itu masalahnya. Komentar
yang mengikuti foto-foto itu yang bermasalah. Kalau komentar sejenis,
subhanallah, masyaAllah dll saya masih cukup bisa mentolerir. Tapi bagaimana
kalau komentarnya adalah, “wah cantiknya. Mau nggak taaruf sama aku?”, “Wah
mbaknya cantik, mau nggak jadi ibu dari anak-anakku?”. WHAT? Are you kidding
me?iki ope rek, rek? #garuk-garuk tembok
#pingsan. Serasa mau bilang, bunuh saja aku! Dari pada harus melihat ini. :D
Di
waktu lain saya menemukan kasus serupa. Seorang adik yang cantik. Manis pake
banget lah. Saya tidak tahu apa maksudnya upload gambar-gambar cantik dirinya. Para
komentatornya juga nggak kalah seru. Mulai dari yang normal sejenis “cantik”,
sampai yang high quality gombal, “Ih nggak nahan deh cantiknya”. Ini cowok
mameenn yang komen. Duh dek…. Nggak risih po kalau ada yang komen kayak gitu.
Masih
kurang faktanya? Ada lagi, satu fakta yang membuat saya mual dan pengin muntah.
Saat dengan sengaja (karena ada kebutuhan) melihat pesan seorang laki-laki
kepada laki-laki lainnya. Mereka saling berkirim (bertukar) foto perempuan
(akhwat). Saya ada buktinya. Tapi itu biar jadi amanah saya untuk menjaganya. Ini
nyata! Bukan sinetron.
Jalan Cinta Para Pejuang
Ini
pilihanmu sendiri. Kau mau yang terjaga? Maka jagalah dirimu. Kamu mau yang
sholihah? Maka sholihkan dirimu. Kamu mau yang cantik atau ganteng? Maka
rawatlah tubuhmu. Cantik dan ganteng itu bukan bawaan lahir. Menarik secara
fisik itu hanya bonus dari Allah, dengan menutup aib-aibmu, mencegah
penyakit-penyakit darimu. Tapi sebelum memilih, luruskan dulu semuanya.
Teman
saya menikah tanggal bulan Juni kemarin. Dia bercerita kenapa mau menerima
suaminya itu. Salah satu alasannya adalah, sebelum suaminya mengajak taaruf,
ada seseorang yang GJ (Gak Jelas) memberikan sinyal. Dia tidak mau. Dia ingin
jadi bagian dari dakwah. Membangun masyarakat. Bukan sekedar menikah. Sekedar
punya anak. Sekedar sholihah untuk dirinya sendiri. Dia memilih jalannya. Maka
dia memilih orang yang baik dengan cara dan proses yang baik.
Terkait
jalan yang kita pilih ada satu fenomena yang cukup miris saat ini adalah
banyaknya perempuan muslimah yang mulai ikut-ikutan memajang foto selfie. Terlepas
apapun tujuannya. Dan yang perlu kita ingat, bahwa kita tidak pernah tahu
kondisi hati seperti apa yang sedang dialami oleh orang disekitar kita. Bisa
jadi ada yang hatinya sedang sakit. Akibatnya foto kita justru membuat orang
lain bermaksiat. Duh, bahasanya kok tinggi amat ya. Begini, intinya membuat
orang-orang disekitar kita pengen lihatin foto kita terus. Nah, nggak baik kan.
Juga
untuk kita sendiri. Ini bukan sebuah kebaikan. Sebuah nasehat yang sampai
sekarang masih saya ingat adalah. Ketika
kamu berani mempublish foto untuk umum tanpa tujuan yang syar’I, maka kamu
harus berani menghadapi orang-orang yang mendekatimu karena fisik. Seperti
yang kita tahu, laki-laki dan pandangannya adalah dua hal yang saling
mempengaruhi. Ini sejenis kita sedang menyeleksi orang-orang yang mendekati
kita. Ketika kita pamer fisik maka bersiaplah, yang mendekat adalah mereka yang
mudah tergoda dengan fisik. Fisik disini bukan berarti lekuk tubuh saja. Juga
tentang manisnya senyum, tentang lesung pipi, tentang anggunnya gaun atau gamis
yang kita pakai. All. Karena Allah itu baik, maka diciptakanlah perempuan yang
begitu menarik.
Sekali
lagi ini tentang pilihan. Tidak ada paksaan. Ketika kita sebagai perempuan
memilih jalan seleksi fisik maka bersiaplah yang datang adalah mereka yang
mendahulukan fisik sebelum kefahaman. Juga untuk laki-laki, ketika kamu memilih
perepumpuan yang dengan mudah menunjukkan keindahan fisiknya, maka bersiaplah.
Tugasmu lebih berat. Bagaimanapun, sebagian darinya sudah milik orang lain
sebelum menjadi milikmu.
Setiap
perempuan itu cantik, tapi hanya perempuan yang cerdas yang mampu memilih siapa
yang berhak melihat kecantikannya.
Senorita
1251|240614
Tidak ada komentar:
Write Comment