Lanjutan dari tulisan berjudul “Untuk Para Akhwat:
“Bagaimanapun Mereka Tetap Ikhwan Indonesia!”. kali ini tentang akhwat. Bahwa
bagaimanapun kami tetap perempuan Indonesia. Tulisan sebelumnya tentang pembagian
ranah, tulisan kali ini tentang gaya berpikir, gaya bersikap dan gaya bertutur.
Sebagian besar ikhwan berpikir bahwa yang namanya akhwat itu adalah mahkluk
yang lembut, kalem, alus, keibuan, pokoknya yang kalem mode on gitu deh.
Meskipun pada kenyataannya, hal seperti itu terkadang agak “maksa” untuk
beberapa orang. Orang-orang (baca akhwat-akhwat) yang pada dasarnya nggak kalem, dituntut menjadi pribadi
yang kalem, alus, melayani, manutan, nggak
neko-neko. Juga mereka yang terbiasa “berperang” di lapangan akhirnya
diminta untuk mengikuti pandangan banyak orang, bahwa perempuan itu ranahnya
adalah ranah “dalam negeri”.
Ada sesuatu hal yang sepertinya harus mulai dibenahi.
Sebuah pola, apakah itu pola komunikasi, pola bersikap dan tentu saja pola dalam
memandang. Bagaimanapun kami (saya juga) adalah perempuan Indonesia.
sosok-sosok perempuan yang menerima informasi dari berbagai macam jalur. Hingga
bahkan kami sendiri terkadang kewalahan untuk memfilter. Kami tetap saja
perempuan Indonesia yang setiap saat menerima kajian agama berbarengan dengan
ilmu yang lain. Bisa jadi yang justru masuk malah ilmu yang lain, bukan ilmu
agama. Kami tetap saja perempuan Indonesia yang kenal dengan artis-artis
seperti britnish spears, lady gaga, atau Sabrina. Belum lagi gerakan berbagai
macam para aktivis perempuan yang terkadang terlalu “berlebihan” dalam
memandang sesuatu. Mereka-mereka yang memandang “gender” hanya dari persamaan.
Semua minta disamakan. Hal ini membentuk kebanyakan dari kami menjadi orang-orang yang siap tempur
dari pada menjadi orang yang siap manut
dan melayani. Ada sastra yang selalu
memanggil untuk diselamatkan para perempuan, ada ahklak umat ini yang merintih,
meminta diselamatkan. Belum lagi hantaman berbagai macam produk yang siap
menyerang kaum kami dari berbagai penjuru.
Tentu saja kami tak bisa dibandingkan dengan seorang
Fatimah Az Zahra, kalau memang figur itu yang dianggap sebagai figur yang
keren. Kami belum bisa seperti Siti Khadijah yang mendampingi Rosul di awal
kenabian. Kami sangat jauh dari bunda Aisyah, Umminya umat ini. Sangat jauh dan
jauh sekali. Tidak ada seujung kuku mungkin. Mungkin beberapa diantara kami
(termasuk saya) belum lengkap membaca kisah para shahabiyah, ilmu beberapa
diantara kami baru sebatas tentang shahabiyah yang ikut berperang, belajar naik
kuda, ikut menjadi tim kesehatan pasukan Rosul. Belum tentang kepiawaian
seorang Fatimah dalam mengurus rumah tangganya bersama Ali, atau Khadijah
bersama Rosul.
Namun, walaupun begitu, kami sadar, itu semua bukan alasan
untuk tidak berbenah. Kami menyadari, bahwa kami tetap saja perempuan-perempuan
yang harus siap belajar. Belajar untuk menjadi perempuan terbaik. JJ
_JeannaMilagros_
Tidak ada komentar:
Write Comment