Selasa, Mei 22, 2012

Karena Kami (Saya), Masih Tetap Perempuan Indonesia



Lanjutan dari tulisan berjudul “Untuk Para Akhwat: “Bagaimanapun Mereka Tetap Ikhwan Indonesia!”. kali ini tentang akhwat. Bahwa bagaimanapun kami tetap perempuan Indonesia. Tulisan sebelumnya tentang pembagian ranah, tulisan kali ini tentang gaya berpikir, gaya bersikap dan gaya bertutur. Sebagian besar ikhwan berpikir bahwa yang namanya akhwat itu adalah mahkluk yang lembut, kalem, alus, keibuan, pokoknya yang kalem mode on gitu deh. Meskipun pada kenyataannya, hal seperti itu terkadang agak “maksa” untuk beberapa orang. Orang-orang (baca akhwat-akhwat) yang pada dasarnya nggak kalem, dituntut menjadi pribadi yang kalem, alus, melayani, manutan, nggak neko-neko. Juga mereka yang terbiasa “berperang” di lapangan akhirnya diminta untuk mengikuti pandangan banyak orang, bahwa perempuan itu ranahnya adalah ranah “dalam negeri”.

Ada sesuatu hal yang sepertinya harus mulai dibenahi. Sebuah pola, apakah itu pola komunikasi, pola bersikap dan tentu saja pola dalam memandang. Bagaimanapun kami (saya juga) adalah perempuan Indonesia. sosok-sosok perempuan yang menerima informasi dari berbagai macam jalur. Hingga bahkan kami sendiri terkadang kewalahan untuk memfilter. Kami tetap saja perempuan Indonesia yang setiap saat menerima kajian agama berbarengan dengan ilmu yang lain. Bisa jadi yang justru masuk malah ilmu yang lain, bukan ilmu agama. Kami tetap saja perempuan Indonesia yang kenal dengan artis-artis seperti britnish spears, lady gaga, atau Sabrina. Belum lagi gerakan berbagai macam para aktivis perempuan yang terkadang terlalu “berlebihan” dalam memandang sesuatu. Mereka-mereka yang memandang “gender” hanya dari persamaan. Semua minta disamakan. Hal ini membentuk kebanyakan dari  kami menjadi orang-orang yang siap tempur dari pada menjadi orang yang siap manut dan melayani.  Ada sastra yang selalu memanggil untuk diselamatkan para perempuan, ada ahklak umat ini yang merintih, meminta diselamatkan. Belum lagi hantaman berbagai macam produk yang siap menyerang kaum kami dari berbagai penjuru.

Tentu saja kami tak bisa dibandingkan dengan seorang Fatimah Az Zahra, kalau memang figur itu yang dianggap sebagai figur yang keren. Kami belum bisa seperti Siti Khadijah yang mendampingi Rosul di awal kenabian. Kami sangat jauh dari bunda Aisyah, Umminya umat ini. Sangat jauh dan jauh sekali. Tidak ada seujung kuku mungkin. Mungkin beberapa diantara kami (termasuk saya) belum lengkap membaca kisah para shahabiyah, ilmu beberapa diantara kami baru sebatas tentang shahabiyah yang ikut berperang, belajar naik kuda, ikut menjadi tim kesehatan pasukan Rosul. Belum tentang kepiawaian seorang Fatimah dalam mengurus rumah tangganya bersama Ali, atau Khadijah bersama Rosul.

Namun, walaupun begitu, kami sadar, itu semua bukan alasan untuk tidak berbenah. Kami menyadari, bahwa kami tetap saja perempuan-perempuan yang harus siap belajar. Belajar untuk menjadi perempuan terbaik. JJ

_JeannaMilagros_

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment