Berbicara. Ini sama sekali bukan tentang hak dalam bicara,
Karena pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk berbicara. Minimal untuk
menyampaikan pendapat. Ini bukan biacra dalam arti perkataan sebuah kata, tapi
bicara dalam arti yang sebenar-benarnya. Bicara dengan mulut dan dari mulut itu
mengeluarkan bunyi-bunyian menghasilkan kata-kata. Bicara dalam arti pandangan
kebanyakan orang.
Bicara menjadi bearti disaat waktu yang tepat. Namun
bicara juga bisa menjadi sebuah boomerang saat dilakukan diwaktu yang tidak
tepat. Satu contoh saat yang tidak tepat itu adalah, saat kita sedang berbicara
dengan orang yang sedang tidak bisa diajak bicara. Contoh orang yang tidak bisa
diajak bicara itu misalnya orang yang sedang sholat.
Sepele. Sangat remeh temeh. Bukan sesuatu yang berat.
Namun efeknya luar biasa, dan sayangnya ini sering dilakukan kebanyakan orang
(Indonesia, Je belum pernah ke luar negeri jadi belum tahu keadaan
disana). Kita (Je juga termasuk ke
dalamnya), sering melakukan hal ini. Ada saudara kita yang sedang sholat
disamping kita, kita dengan PD-nya ngobrol dengan asyiknya. Ada lagi yang lebih
parah, orang sedang sholat diajak ngobrol.
Ada sebah kisah, seorang teman ingin mengembalikan
sebuah benda ke temannya. Saat itu yang punya benda itu sedang sholat. Bukannya
menunggu hingga temannya selesai sholat, yang dilakukannya adalah dengan
entengnya berkata,
“Mbak, tak taruh di depan kamar ya! Terimakasih.”
Please deh!
Sudah dengan jelas kawan bicaranya sedang sholat, malah
diajak bicara. Selain dia sedang dalam kondisi yang tidak siap untuk diajak
berkomunikasi, kawan bicaranya tentu saja sedang dalam kondisi yang memang
tidak boleh bicara dan (biasanya) membutuhkan ketenangan. Tentu saja bisa
dibayangkan, sedang membaca sebuah surat atau ayat, tiba-tiba ada yang nyeletuk
mangajak bicara dari belakang. Manusia saja tidak mau kalau dipotong
pembicaraannya, bagaimana dengan Allah? Saat kita sedang “berkomunikasi”
dengan-NYA, tiba-tiba ada yang mengganggu. Ini contoh yang bener-bener bikin anyel.
Ada lagi contoh lain yang agak mending, namun sebenarnya
sama saja. Sengaja berbicara saat ada orang sholat disampingnya atau di
sekitarnya. Apa yang dikatakannya juga bukan sesuatu yang urgent untuk disampaikan. Hanya sekedar obrolan biasa saja.
Meskipun tidak mengajak bicara yang sedang sholat, tapi kan yang sedang sholat
punya telinga. Telinga orang (sekarang), bukan telinga yang bisa diajak
kompromi, yang bisa memfilter apa yang akan masuk. Telinga orang (sekarang)
bukan jenis telinga yang bisa menuli disaat-saat tertentu. Lalu, ketika contoh
kasusnya seperti diatas, siapa yang harus tahu diri? Yang punya telinga? Atau
yang punya mulut? Atau keduanya?
Kepekaan, ya kepekaan. Sesuatu yang mulai langka.
mencoba menempatkan diri di tempat yang semestinya tanpa harus lebih dulu orang
lain mengatakan atau menegur. Kasus diatas tidak akan terjadi kalau ada
kepekaan yang mewarnai. Peka dan akhirnya tahu diri, tanpa harus menunggu
“aba-aba” dari orang lain.
(Kalau
ada yang merasa kisahnya masuk ditulisan ini, jangan GR ya! Apalagi tersinggung,
hanya kebetulan koq J . Kebetulan aku tau
kisah itu maksudnya. hehehehehe)
_JeannaMilagros_
Tidak ada komentar:
Write Comment