Saleh. Sesuatu yang baik. Iya kan? Semua orang
pasti berebut mendapat predikat ini di hadapan Allah (urusan di mata manusia,
itu nggak penting). Semua orang berlomba. Urusan saleh pribadi, ini mudah
diucapkan dan bisa jadi mudah pula untuk didapatkan. Bahasa mudahnya kita
tinggal menjadi orang taqwa (menjalankan perintah-NYA dan menjauhi
larangan-NYA). Namun, bagaimana dengan saleh secara sosial?
Saleh sosial, saleh berjamaah, bukan hanya
pribadi kita, orang-orang disekitar kita juga, adek-adek kita, ibu-ibu kita,
bapak-bapak kita, kakak kita, semuanya. Semua orang yang ada di sekitar kita. Bukan
hanya sekedar kita faham dan mengamalkan namun orang-orang disekitar masih
dalam kondisinya semula.
Kesalehan sosial tidak hanya tentang kita
berbuat baik untuk orang lain, lalu orang lain berterimakasih kepada kita.
Lebih dari itu semua. Ini tentang bagaimana cara agar orang lain mau dan mampu
berbuat baik seperti apa yang coba kita perbuat atau bahkan lebih baik dari apa
yang kita perbuat. Minimal orang lain akan segan berbuat tidak baik atau ikut
berbuat baik saat ada kita tempat dan waktu yang sama. Minimal itu. Namun,
bagaimana kalau justru kita sendri tidak menyadari pentingnya kesalehan sosial
itu? Masalahnya ada pada diri kita, tidak (mencoba) peka, tidak mau tahu, masa
bodoh, atau bahasa gaulnya cuek tingkat dewa.
Kepekaan memang menjadi sesuatu yang agak
susah untuk diterjemahkan. Bukan tidak bisa namun susah, karena ini berhubungan
dengan hati, segumpal daging yang berisi jutaaan rasa. Pada tingkat tertentu
kepekaan itu justru bisa menjadi dzon atau prasangka, dan ini juga tidak baik.
Namun, kesalehan sosial butuh kepekaan, tidak harus ditunjukkan dengan
kata-kata simpati, bisa dengan perbuatan yang bisa diterjemahkan orang
disekitar kita.
Kita memang tidak bisa memukul rata, menuntut
manusia itu harus seperti ini, itu, seperti apa yang kita inginkan. Sama halnya
dengan kesalehan sosial ini. Ada manusia yang dia merasa tidak perlu untuk
mengurusi itu, itu urusan orang lain. asal tidak saling mengganggu, ya sudah. Ada
juga anggapan yang lebih parah, selama dia merasa tidak dirugikan, ini bukan
urusannya. Ada juga yang merasa tidak mampu untuk mengingatkan, padahal belum
dicoba, takut salah bicara, takut salah menerka, hingga akhirnya dia memilh
untuk diam saja. Bagi mereka lebih baik diam dari pada tabayyun atau crosscheck.
Itu semua menjadi ‘garapan ’ kita bersama yang
hingga sekarang belum selesai. Hal-hal ini menjadi penting, terlebih saat kita
menjadi orang yang dituakan atau orang yang didengarkan suaranya. Saat kita
dikampus, saat kita dimasyarakat, saat kita di kost, saat kita dirumah,
dimanapun kita. Saat kita mulai merasa kita ikut bertanggungjawab atas apa yang
dialami oleh saudara kita disekitar. Bagaimanapun saudara kita punya hak atas
diri kita, termasuk dalam kesalehan sosial ini. Semisal di kampus, saat ini
kita menjadi orang yang dituakan, didengar pendapatnya oleh orang-orang disekitar kita termasuk adek angkatan kita.
Semua orang yang ada disekitar kita berhak untuk mendapatkan imbas dari apa
yang kita perbuat, jadi kebaikan itu menyebar, bukan hanya pada satu titik.
Contoh lain di kost, misalnya saat ini kita
menjadi orang yang cukup dituakan atau minimal didengar pendapatnya dalam kost
atau kontrakan kita. Secara tidak
langsung beban moral untuk ‘njagani’ penghuni kost dalam koridor-koridor yang
benar, ada dipundak kita. Tentang sholatnya, pergaulannya, kegiatannya
sehari-hari, kegiatannya di kampus, hingga kondisi ruhiyahnya. Termasuk pula di
dalamnya, apakah selama ini, saat kita bersama, adakah kemajuan dari teman satu
kost kita yang itu merupakan imbas dari apa yang kita perbuat. Jangan-jangan
justru dia tidak menjadi lebih baik karena seringnya melihat
perbuatan-perbuatan kita (pulang malam, kamar berantakan, tidak rapi dalam
berpakaian, tidak bisa memanagemen waktu dan lain sebagainya). Bahkan kalau
pada akhirnya kita tidak bisa membersamai di tahun selanjutnya, kita masih
punya tanggungjawab yang harus ditunaikan, mencarikan dia tempat yang baik
untuk ditinggali. Tempat yang baik, dengan orang yang baik agar dia bisa
mendapatkan contoh yang lebih baik dari pada kita. Minimal menyadarkan saudara
kita tentang arti tempat yang baik untuk hidup. Bukan yang hanya sekedar murah
dari segi uang, namun juga murah dari segi ilmu. Bukan hanya up grade ilmu saat di kampus atau di
luar, namun juga up grade ilmu saat
di kost atau kontrakan.
Sekali lagi, ini tentang kesalehan sosial,
bukan untuk ikut campur dalam kondisi orang lain. Jauh dari itu semua. Namun,
untuk saling menjaga.
_BelajarMenyalehkanUmmat_
~Je~
Tidak ada komentar:
Write Comment