Kita terkadang kurang peka dan jeli terhadap
sebuah tindakan bernama izin. Merasa sudah dekat dengan seseorang, lalu merasa
apa yang dia punya seolah menjadi milik kita juga. Padahal hal yang sama belum
tentu dirasakan oleh orang disekitar kita. Hidup bersama memang akhirnya
membentuk konsekwensi-konsekwensi, salah satunya tentang izin.
Sebagai contoh, mereka yang hidup dalam satu rumah, apakah itu kost ataupun kontrakan. Hidup bersepuluh atau lebih dalam sebuah rumah. belum lagi yang sekamar berdua. Masalah privacy bisa menjadi hal yang paling sering menyinggung apabila tidak dikomunikasikan dengan baik. Beberapa orang mungkin bisa saja menggunakan barang secara bersama-sama, apakah itu alat makan, alat tidur bahkan hingga alat tulis. Namun, ada juga tipe orang yang semuanya serba teratur dan serba tertata. Tidak ada ceritanya menggunakan barang secara bersama-sama. Semua serba rapi dan bersih. Termasuk juga dalam menggunakan barang-barangnya. Orang yang teratur, dia akan tahu dimana letak sebuah barang di dalam ruangannya. Orang seperti ini butuh untuk banyak memaklumi apabila dia hidup dalam sebuah komunitas yang beranggapan, miliku milikmu, milikmu milikku.
Misal, sandal jepit. Sebuah sandal
jepit bisa menjadi masalah besar apabila ada orang yang pinjam –meskipun hanya
sekedar pinjam- tanpa izin. Tentu bukan karena tidak boleh, tapi dalam kondisi
ini si pemilik sandal tidak merasa memberikan izin untuk meminjamkan sandalnya.
Contoh lain tanda tangan. Hal ini sering terjadi di kalangan aktivis di kampus.
Merasa sudah senasib sepenanggungan, maka dengan seenak hatinya membubuhkan
tanda tangan di tempat yang seharusnya orang lain tanda tangan.
Lebih sederhana lagi nomor Hp. Semua berawal
karena sudah merasa dekat, batas privacy seolah hilang tak berbekas. Merasa sudah
bersahabat, maka dengan mudahnya memberikan nomor Hp saudaranya ke orang lain. Tanpa
sepengetahuan si pemilik nomor Hp. Hingga akhirnya si pemilik nomor kalang
kabut saat ada yang menghubungi. Tidak kenal, tapi tiba-tiba menghubungi. Parahnya
yang menghubungi juga mendapat nomor itu dari orang yang tidak kenal dengan si
pemilik nomor Hp yang sedang dihubungi. Ruwet!!!
Tsiqoh sering menjadi kambing hitam untuk ini.
Terlebih saat sudah merasa sepenanggungan. Kata izin seolah melebur dan hilang
perlahan. Kita bisa saja sudah merasa enjoy
saat kita merasa fine saat meminjam
barang orang lain tanpa izin. Namun, bagaimana dengan saudara kita? Apakah hal
yang sama yang dia rasakan. Bukankah semua hal itu bergantung dengan akad di
awal. Tanpa akad yang jelas, sebuah amal juga tidak akan jelas.
Tentang izin, ini mejadi evaluasi besar dalam
hidup berjamaah. Tidak semua hal bisa kita anggap sebagai barang bersama. Ini
tentang kepekaan. Sebuah rasa yang sudah lama terlupakan.
Akhirnya tertuliskan juga
~Je~
Tidak ada komentar:
Write Comment