Credit here |
Mudik itu memang selalu meninggalkan kenangan
yang aneh-aneh. Ada saja kisah-kisah
aneh yang bisa diceritakan. Nah, kali ini tentang nikah. Weits..saya mudik
bukan untuk dinikahkan koq. Hanya kebetulan saja diberikan kesempatan untuk
melihat proses menuju pernikahan beberapa orang. Kali ini tentang mahar. Ada
apa sih tentang mahar. Beberapa waktu yang lalu saya sempat agak ngaco,
tiba-tiba mikir, ‘enaknya minta mahar berapa ya?’. Gubrak…woi Je, masih seumur
jagung, karya juga belon banyak, udah mikir nikah. Astagfirullah…buru-buru saya
hapus pikiran itu.
Mahar
Sesuatu yang diberikan calon suami kepada
calon isterinya. Ini menjadi syarat syah sebuah pernikahan. Maka tak heran
kalau akhirnya banyak yang mengajukan barang yang aneh untuk mahar. Maklum,
sekali seumur hidup. Mulai dari uang sejumlah tanggal pernikahan, misalnya seratus sebelas ribu dua ratus tiga belas
rupiah (Rp.111213) hingga yang menggnakan mata uang dinar. Biar berkesan,
begitu katanya. Tapi, apa iya seperti itu?
Hal yang berbeda akan kita temui saat didesa.
Berbeda dan sangat berbeda. mahar menjadi sesuatu yang dianggap formalitas,
bukan sesuatu yang penting. Bahkan sering terbengkalai. Tidak penting dan
sering terlupakan.
Kisah 1
Seorang pemuda yang akan segera meoangsungkan
akad pernikahan saat ditanya berapa mahar yang akan dia berikan kepada calon
istri, dengan entengnya dia memberikan jawaban,
“Dua puluh ribu saja lah pak”
WHAT? 20rb? Murah banget. Ups, ini bukan
maslaah murah dan mahal. Tapi, cara pemuda tersebut menjawab seolah itu hal
yang tidak penting.
“Lho, calonmu mintanya berapa?”
“Nggak minta koq pak”
GUBRAK!!
Kisah 2
Seorang ibu (kebetulan si ibu sudah pernah
menikah sebelumnya) akan melangsungkan akad pernikahan 2 hari lagi. Ini adalah
pernikahan yang ketiganya. Mungkin bagi si ibu dan calon suaminya (kebetulan
calon suaminya juga sudah pernah menikah sebelumnya) ini bukan moment yang
spesial, karena bukan yang pertama. Maka, tak ada persiapan yang spesial, tak
ada rencana untuk walimah. Hanya akad nikah. Itupun direncanakan sangat
sederhana, disebuah mushola di samping rumah saya. saksi diambil dari tetangga.
Semuanya serba simpel dan sederhana. Termasuk juga maharnya. Saat orang tua
saya menanyakan berapa mahar yang diminta, si ibu menjawab dengan entengnya,
“Seribu rupiah sajalah. Sudah tua, buat apa.”
Saya yang kebetulan ikut membantu persiapan
akad nikah langsung bengong.
WHAT? Are you kidding me? Ini beneran? Seribu
rupiah dapat apaan? Gorengan dua dan bonus cabe rawit?
Hhhrrgggghhh…apa-apaan ini? masak Cuma seribu
rupiah, atau Cuma 20rb. Masalahnya tentu saja bukan karena nominalnya, lagi
pula lebih baik perempuan mengajukan mahar yang murah dan calon suaminya
sanggup. Tapi, lebih ke-bagaiamana calon pengantin (baik baru pertama kali
menikah ataupun yang sudah lebih dari satu kali) memahami arti dari mahar.
Bukan sekedar pemberian yang tiada artinya. Ini menunjukkan kesungguhan seorang
calon suami, seorang laki-laki untuk menikah.
Apakah pantas sebuah penyerahan seutuhnya
hanya dihargai materi sekian dan sekian. Terlepas dari seperti apa sikap mereka
setelah menikah. Namun, dari awal ketika mahar dianggap sebagai sesuatu yang
‘agak’ tidak penting. Bagaimana mereka akan menghargai istrinya nanti?
Ini bukan tentang materi. Namun, apa yang
layak untuk seorang perempuan yang sudah rela menyerahkan seluruhnya?
Episode mudik
jilid 1
Je
Tidak ada komentar:
Write Comment