Sekali lagi cerita tentang
mudik. Mudik panjang (lebih dari 1 bulan) tahun ini memang membuat saya
mendapatkan banyak cerita untuk diceritakan. Tentang mereka yang ada
disekitarku namun tak satupun ‘kuperhatikan’. Bukan tidak mau memperhatikan.
Namun, selama lima tahun ini, Jogja menjadi tempat yang sangat nyaman untuk
ditinggali dan mungkin selamanya akan nyaman. Hal itu membuatku jarang pulang
kerumah. Lebih asyik dengan dunia sendiri, jalan-jalan, hunting foto, naik
gunung, atau sekedar duduk manis menghadapi laptop menulis apapun yang ingin
ditulis. Mudik lama membuatku menemukan banyak hal. Beberapa diantaranya akan
tertulis disini.
Kali ini aku harus menelan
ludah pahit saat melihat mereka yang dulu pernah menjadi teman sepermainan kini
sudah menggendong anak tanpa bapak. Jleb! Ini sangat menyakitkan, melihat
perempuan-perempuan itu terjebak dalam perannya sebagai perempuan. Bukan satu
dua orang, tapi lebih dari satu orang.
Kisah
1
Pacaran sudah menjadi gaya
dalam hidup remaja Indonesia, termasuk juga di desa. Orang tua tidak setuju itu bukan alasan.
Sekolah jalan, pacaran juga jalan. Sepertinya itulah semboyan yang dia gunakan.
Kita sebut saja namanya Nanda. Dia masih SMP saat aku berangkat ke kota
jogja. Orang tuanya termasuk orang yang
cukup dihormati di desa ini. rumahnya cukup bagus, bahkan lebih bagus dari
rumah keluargaku. J
J .
Nanda mengenal istilah
pacaran (dekat dengan laki-laki) sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar
(SD). Jangan heran, karena sejek SD mereka (anak-anak SD) sudah sering melihat
kakak kelas mereka (yang juga masih SD) mojok berdua. Ini realita, nyata
terjadi. Aku pun tidak habis pikir, kenapa anak SD sudah ‘berulah’ seperti itu.
Masyarakat sekitar sering melihat Nanda jalan berdua dengan anak laki-laki,
apakah itu seumuran ataupun sedikit lebih ‘tua’. Mojok berdua sudah biasa.
Pegangan tangan, itu mah udah sering. Bahkan ciuman.
WHAT?
Ini benar-benar gila.
Bagaimana mungkin Nanda yang baru kelas 5 SD melakukan hal yang seperti itu.
Namun, ini benar-benar terjadi. Percaya atau tidak, ini nyata. Masuk SMP,
ulahnya semakin ‘aneh’. orang tuanya mungkin sudah angkat tangan. Hanya sekedar
menasehati, namun tidak banyak berpengaruh. Budaya gaya hidup bebas sudah
merasuk.
Aku tidak banyak tahu
bagaimana pergaulannya saat SMP. Sampai akhirnya dia dikabarkan dikeluarkan
dari sekolah (SMA) alasannya karena dia hamil. Yup, dia MBA. Akhirnya dia
memang menikah. Terpaksa. Kini anaknya sudah satu tahun. Suaminya (yang dulunya
sama-sama masih pelajar) kini tetap melanjutkan kuliah. Dia kini tinggal
bersama keluarga suaminya.
Kisah
2
“Pak, saya mau cerai.
Tolong dibantu!”
Kata-kata ini beberapa kali
aku dengarkan. Kebetulan orang tua saya salah satu orang yang cukup punya
banyak akses dalam urusan nikah, cerai dan administrasi kependudukan.
“Kenapa?”
“Suami saya sudah tidak
bertanggung jawab. Saya juga tidak boleh ketemu anak saya.”
Dalam kesempatan lain saat
ada yang bertamu kerumah:
“Bagaimana kabar si X?”
“Sekarang sudah punya anak
pak.”
“Lha kapan nikahnya?”
“Bukan nikah pak, tapi
kumpul kebo sama laki-laki asal daerah S. ternyata laki-laki itu sudah punya
istri dan anak”
Ini nyata adanya. Ini desa
kecil di pojok kota blora. Jauh dari hiruk pikuk kota. Tidak ada mall besar.
Apalagi diskotik. Tapi inilah kenyataannya. Selingkuh, hamil diluar nikah.
Hingga kumpul kebo. Miris dan sangat miris. Bahkan ada tetangga yang rela
menjual anaknya, hanya gara-gara malu. Sudah dosa karena namil diluar nikah,
kini tambah dosa lagi karena menjual anak.
Aku tak bisa melogika saat
ada orang tua yang mengijinkan pacar anaknya menginap bermalam-malam dan tidur
satu kamar. Bahkan hingga aktivitas pribadi seperti mencuci juga dilakukan di
rumah sang pacar itu. Manusia memang semakin gila.
Salah
gaul?
Bisa jadi. Sekolah menjadi
tempat pertemuan banyak orang. Dari berbagai tempat. Cara bergaulnya juga
bermacam-macam. Belum lagi contoh di televisi. Film-film yang sangat tidak
mendidik bertebaran dimana-mana. Mulai dari gaya pacaran, style, gaya hidup,
hingga cara menggaet gebeten. Semua lengkap.
Apakah
hanya karena salah gaul?
Mungkin tidak. Pendidikan
dari orang tua sangat berpengaruh banyak. Bentukan lingkungan juga ikut andil
dalam hal ini. sebagai contoh dicerita diatas. Nanda meskipun hidup dalam
keluarga yang cukup agamis, lingkungan hidupnya tidak mendukung. Kakak
perempuannya lebih memilih menikah dari pada kuliah. Itu sangat mempengaruhi
pola pikirnya. Lalu, kisah selingkuh, ini karena si orang tua mengijinkan
laki-laki (yang sudah berkeluarga) itu tinggal dirumahnya. Hidup bersama dalam
satu atap dengan putrinya tanpa ikatan pernikahan yang sah. Akhirnya, kini si
laki-laki kembali kepada keluarganya. Perempuan tersebut ditinggal saat masih
hamil. Itu pun dengan cara tidak terhormat. Di grebek warga desa.
Ini bukan sekali dua kali.
Bahkan cukup sering ada kejadian 6 bulan baru menikah, seorang anak sudah
lahir. Normal, bukan premature.
Peran
media
Media berperan banyak dalam
hal ini. terutama televisi, karena masyarakat desa banyak mengambil informasi
dari kotak ajaib itu. Mereka yang tak kenal internet apalagi faceb^^k yang kebanyakan hanya mengenyam pendidikan
sampai tingkat SMP atau SMA. Mereka
belajar dari apa yang mereka lihat dan dengarkan. Hingga akhirnya itu tumbuh
dialam bawah sadar. Menghipnotis tanpa disadari. Para produser film itu memang
harusnya dituntut, ditegur, dimarahi atau apapun itulah, agar mereka tak
sembarangan membuat film atau acara-acara lain di kotak ajaib bernama televise.
Menyadari banyak hal,
akhirnya membuka tabir prioritas. Aku belum melakukan apapun untuk mereka.
Edisi mudik jilid 2
Je
Tidak ada komentar:
Write Comment