Sabtu, September 01, 2012

Salah gaul. Really?



Sekali lagi cerita tentang mudik. Mudik panjang (lebih dari 1 bulan) tahun ini memang membuat saya mendapatkan banyak cerita untuk diceritakan. Tentang mereka yang ada disekitarku namun tak satupun ‘kuperhatikan’. Bukan tidak mau memperhatikan. Namun, selama lima tahun ini, Jogja menjadi tempat yang sangat nyaman untuk ditinggali dan mungkin selamanya akan nyaman. Hal itu membuatku jarang pulang kerumah. Lebih asyik dengan dunia sendiri, jalan-jalan, hunting foto, naik gunung, atau sekedar duduk manis menghadapi laptop menulis apapun yang ingin ditulis. Mudik lama membuatku menemukan banyak hal. Beberapa diantaranya akan tertulis disini.

Kali ini aku harus menelan ludah pahit saat melihat mereka yang dulu pernah menjadi teman sepermainan kini sudah menggendong anak tanpa bapak. Jleb! Ini sangat menyakitkan, melihat perempuan-perempuan itu terjebak dalam perannya sebagai perempuan. Bukan satu dua orang, tapi lebih dari satu orang.


Kisah 1
Pacaran sudah menjadi gaya dalam hidup remaja Indonesia, termasuk juga di desa.  Orang tua tidak setuju itu bukan alasan. Sekolah jalan, pacaran juga jalan. Sepertinya itulah semboyan yang dia gunakan. Kita sebut saja namanya Nanda. Dia masih SMP saat aku berangkat ke kota jogja.  Orang tuanya termasuk orang yang cukup dihormati di desa ini. rumahnya cukup bagus, bahkan lebih bagus dari rumah keluargaku. J J .

Nanda mengenal istilah pacaran (dekat dengan laki-laki) sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Jangan heran, karena sejek SD mereka (anak-anak SD) sudah sering melihat kakak kelas mereka (yang juga masih SD) mojok berdua. Ini realita, nyata terjadi. Aku pun tidak habis pikir, kenapa anak SD sudah ‘berulah’ seperti itu. Masyarakat sekitar sering melihat Nanda jalan berdua dengan anak laki-laki, apakah itu seumuran ataupun sedikit lebih ‘tua’. Mojok berdua sudah biasa. Pegangan tangan, itu mah udah sering. Bahkan ciuman.

WHAT?

 Ini benar-benar gila. Bagaimana mungkin Nanda yang baru kelas 5 SD melakukan hal yang seperti itu. Namun, ini benar-benar terjadi. Percaya atau tidak, ini nyata. Masuk SMP, ulahnya semakin ‘aneh’. orang tuanya mungkin sudah angkat tangan. Hanya sekedar menasehati, namun tidak banyak berpengaruh. Budaya gaya hidup bebas sudah merasuk.

Aku tidak banyak tahu bagaimana pergaulannya saat SMP. Sampai akhirnya dia dikabarkan dikeluarkan dari sekolah (SMA) alasannya karena dia hamil. Yup, dia MBA. Akhirnya dia memang menikah. Terpaksa. Kini anaknya sudah satu tahun. Suaminya (yang dulunya sama-sama masih pelajar) kini tetap melanjutkan kuliah. Dia kini tinggal bersama keluarga suaminya.

Kisah 2
“Pak, saya mau cerai. Tolong dibantu!”
Kata-kata ini beberapa kali aku dengarkan. Kebetulan orang tua saya salah satu orang yang cukup punya banyak akses dalam urusan nikah, cerai dan administrasi kependudukan.
“Kenapa?”
“Suami saya sudah tidak bertanggung jawab. Saya juga tidak boleh ketemu anak saya.”
Dalam kesempatan lain saat ada yang bertamu kerumah:
“Bagaimana kabar si X?”
“Sekarang sudah punya anak pak.”
“Lha kapan nikahnya?”
“Bukan nikah pak, tapi kumpul kebo sama laki-laki asal daerah S. ternyata laki-laki itu sudah punya istri dan anak”

Ini nyata adanya. Ini desa kecil di pojok kota blora. Jauh dari hiruk pikuk kota. Tidak ada mall besar. Apalagi diskotik. Tapi inilah kenyataannya. Selingkuh, hamil diluar nikah. Hingga kumpul kebo. Miris dan sangat miris. Bahkan ada tetangga yang rela menjual anaknya, hanya gara-gara malu. Sudah dosa karena namil diluar nikah, kini tambah dosa lagi karena menjual anak.
Aku tak bisa melogika saat ada orang tua yang mengijinkan pacar anaknya menginap bermalam-malam dan tidur satu kamar. Bahkan hingga aktivitas pribadi seperti mencuci juga dilakukan di rumah sang pacar itu. Manusia memang semakin gila.

Salah gaul?
Bisa jadi. Sekolah menjadi tempat pertemuan banyak orang. Dari berbagai tempat. Cara bergaulnya juga bermacam-macam. Belum lagi contoh di televisi. Film-film yang sangat tidak mendidik bertebaran dimana-mana. Mulai dari gaya pacaran, style, gaya hidup, hingga cara menggaet gebeten. Semua lengkap.

Apakah hanya karena salah gaul?
Mungkin tidak. Pendidikan dari orang tua sangat berpengaruh banyak. Bentukan lingkungan juga ikut andil dalam hal ini. sebagai contoh dicerita diatas. Nanda meskipun hidup dalam keluarga yang cukup agamis, lingkungan hidupnya tidak mendukung. Kakak perempuannya lebih memilih menikah dari pada kuliah. Itu sangat mempengaruhi pola pikirnya. Lalu, kisah selingkuh, ini karena si orang tua mengijinkan laki-laki (yang sudah berkeluarga) itu tinggal dirumahnya. Hidup bersama dalam satu atap dengan putrinya tanpa ikatan pernikahan yang sah. Akhirnya, kini si laki-laki kembali kepada keluarganya. Perempuan tersebut ditinggal saat masih hamil. Itu pun dengan cara tidak terhormat. Di grebek warga desa.
Ini bukan sekali dua kali. Bahkan cukup sering ada kejadian 6 bulan baru menikah, seorang anak sudah lahir. Normal, bukan premature.

Peran media
Media berperan banyak dalam hal ini. terutama televisi, karena masyarakat desa banyak mengambil informasi dari kotak ajaib itu. Mereka yang tak kenal internet apalagi faceb^^k  yang kebanyakan hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP atau SMA.  Mereka belajar dari apa yang mereka lihat dan dengarkan. Hingga akhirnya itu tumbuh dialam bawah sadar. Menghipnotis tanpa disadari. Para produser film itu memang harusnya dituntut, ditegur, dimarahi atau apapun itulah, agar mereka tak sembarangan membuat film atau acara-acara lain di kotak ajaib bernama televise.

Menyadari banyak hal, akhirnya membuka tabir prioritas. Aku belum melakukan apapun untuk mereka.

Edisi mudik jilid 2
Je

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment