Senin, September 10, 2012

Agama Soe Hok Gie?

Credit here


Sebuah tulisan tanpa riset ilmiah yang mendalam. Hanya ingin sedikit menulis tentang apa yang sedikit diketahui. Tentang Soe Hok Gie. Tokoh mahasiswa benar-benar mahasiswa pada masanya. Tanpa kompromi, tanpa basa basi. Tidak tunduk secara begitu saja dengan aturan. Bahwa salah akan tetap salah dan benar harus dikatakan dengan benar. Tanpa tendensi apapun. Paling tidak itulah yang kemudian dikenal masyarakat secara luas.
Buku-buku yang ditulisnya, juga buku yang menuliskan tentang dia berbicara banyak tentang siapa dia sebenarnya. Meskipun masih banyak hal misterius yang belum terungkap. Dia yang pernah mengutip sebuah ungkapan, “nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda….” akhirnya dia juga menjemput ajalnya dalam usia yang relatif muda, 26 tahun.
Mungkin tulisan ini akan sangat kontroversial jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan tentang Soe –begitu dia kerap disapa- yang selama ini beredar di masyarakat. Soe yang selama ini dikenal cukup waow dengan idealisme yang dibawanya hingga menghadap Tuhannya. Namun, sangat disayangkan hubungan Soe dengan Tuhannya sepertinya tidak cukup ‘harmonis’. Bisa jadi karena tidak ada satu pun media yang menuliskan apa agama yang diyakini Soe, sehinga tidak banyak yang tahu bagaimana hubungan Soe dengan Tuhannya. Bisa jadi Soe memang tidak pernah meyakini salah satu agama yang -dianggap- benar di Negara Indonesia.
Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada satu pun tulisan –sepanjang yang saya baca- yang membahas apa kepercayaan yang dianut Soe. Apakah katolik seperti keluarganya? Ataukah Islam seperti kakak kandungnya Arief Budiman (kakak kandung Soe berganti nama dari Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman). Saya dulu dan hingga sekarang masih banyak mengambil benang merah dari pemikirannya. Tentang oposisif yang tak bisa diajak kompromi, atau sekitar pendapatnya tentang bagaimana cara mencintai alam. Saya menyayangkan seorang –yang baik- seperti Soe akhirnya dikenal orang sebagai tokoh yang (kurang) tidak jelas agama apa yang dianutnya. Mungkin kita memang tidak seharusnya mengangkat SARA dalam menilai seseorang. Namun, dari sinilah kita berawal. Tentang apa yang kita percayai, tempat asal dan kembalinya kita.
Hingga akhir hayat Soe, tidak ada satu pun sahabatnya yang tahu agama apa yang dipercayai Soe. Bagaimana Soe harus dikebumikan, menjadi pertanyaan yang cukup membingungkan waktu itu. Bagaimanapun Soe tidak pernah menunjukkan ‘keberpihakan’ kepada salah satu agama. Meskipun akhirnya Soe dikebumikan dengan cara Katolik, itu tidak bisa menjadikan jaminan bahwa Katoliklah agamanya. Hanya karena Soe tidak pernah melakukan ritual agama selain agama Katolik, akhirnya dengan cara itulah Soe dikebumikan.
Sekali lagi Allah menuliskan sebuah sejarah. Seandainya Soe menunjukkan ‘pilihannya’ mungkin saja hari ini akan banyak yang narsis. Itu lho, si dia menjadi contoh untuk ribuan mahasiswa.

Je
Sebuah subyektifitas dalam menilai

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment