Credit here |
Sebuah tulisan tanpa riset ilmiah yang mendalam. Hanya ingin
sedikit menulis tentang apa yang sedikit diketahui. Tentang Soe Hok Gie. Tokoh
mahasiswa benar-benar mahasiswa pada masanya. Tanpa kompromi, tanpa basa basi.
Tidak tunduk secara begitu saja dengan aturan. Bahwa salah akan tetap salah dan
benar harus dikatakan dengan benar. Tanpa tendensi apapun. Paling tidak itulah
yang kemudian dikenal masyarakat secara luas.
Buku-buku yang ditulisnya, juga buku yang menuliskan tentang
dia berbicara banyak tentang siapa dia sebenarnya. Meskipun masih banyak hal
misterius yang belum terungkap. Dia yang pernah mengutip sebuah ungkapan,
“nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati
muda, dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati
muda….” akhirnya dia juga menjemput ajalnya dalam usia yang relatif muda, 26 tahun.
Mungkin tulisan ini akan sangat kontroversial jika
dibandingkan dengan tulisan-tulisan tentang Soe –begitu dia kerap disapa- yang
selama ini beredar di masyarakat. Soe yang selama ini dikenal cukup waow dengan
idealisme yang dibawanya hingga menghadap Tuhannya. Namun, sangat disayangkan
hubungan Soe dengan Tuhannya sepertinya tidak cukup ‘harmonis’. Bisa jadi
karena tidak ada satu pun media yang menuliskan apa agama yang diyakini Soe,
sehinga tidak banyak yang tahu bagaimana hubungan Soe dengan Tuhannya. Bisa
jadi Soe memang tidak pernah meyakini salah satu agama yang -dianggap- benar di
Negara Indonesia.
Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada satu pun tulisan
–sepanjang yang saya baca- yang membahas apa kepercayaan yang dianut Soe.
Apakah katolik seperti keluarganya? Ataukah Islam seperti kakak kandungnya
Arief Budiman (kakak kandung Soe berganti nama dari Soe Hok Djin menjadi Arief
Budiman). Saya dulu dan hingga sekarang masih banyak mengambil benang merah
dari pemikirannya. Tentang oposisif yang tak bisa diajak kompromi, atau sekitar
pendapatnya tentang bagaimana cara mencintai alam. Saya menyayangkan seorang
–yang baik- seperti Soe akhirnya dikenal orang sebagai tokoh yang (kurang)
tidak jelas agama apa yang dianutnya. Mungkin kita memang tidak seharusnya
mengangkat SARA dalam menilai seseorang. Namun, dari sinilah kita berawal.
Tentang apa yang kita percayai, tempat asal dan kembalinya kita.
Hingga akhir hayat Soe, tidak ada satu pun sahabatnya yang
tahu agama apa yang dipercayai Soe. Bagaimana Soe harus dikebumikan, menjadi
pertanyaan yang cukup membingungkan waktu itu. Bagaimanapun Soe tidak pernah
menunjukkan ‘keberpihakan’ kepada salah satu agama. Meskipun akhirnya Soe
dikebumikan dengan cara Katolik, itu tidak bisa menjadikan jaminan bahwa
Katoliklah agamanya. Hanya karena Soe tidak pernah melakukan ritual agama
selain agama Katolik, akhirnya dengan cara itulah Soe dikebumikan.
Sekali lagi Allah menuliskan sebuah sejarah. Seandainya Soe
menunjukkan ‘pilihannya’ mungkin saja hari ini akan banyak yang narsis. Itu
lho, si dia menjadi contoh untuk ribuan mahasiswa.
Je
Sebuah subyektifitas dalam menilai
Tidak ada komentar:
Write Comment