Minggu, November 09, 2014

Karena kamu tidak pernah sendiri


Credit here
Salah satu kalimat yang ampuh membuat saya kalem mendadak adalah, “Kamu bukan hanya tentang kamu. Kamu mewakili komunitas.” Kalimat ini dulu pertama kali diucapkan oleh guru saya. Mungkin saking jengkelnya beliau karena saya begitu bandel. Ya maklumlah, waktu itu saya masih mahasiswa baru. Masih seneng-senengnya kenalan dengan Jogja. Pengennya menjelajah. Pulang kuliah ngendon dulu di sekre sampai malam. Baru mau pulang kalau diancam dengan satu kalimat, “Awas Poltak!” Ya, dulu ada yang namanya Poltak (Polisi Takmir), sekarang ada nggak ya? Pulang dari sekre nggak langsung balik ke kos, masih kecantol dulu di penyetan lembah UGM. Duh, bandel syekaleee. Ini belum dihitung saat weekend, lebih parah. hihihi. 

Percaya atau tidak, keberadaan poltak suskses membuat orang bandel macam saya menghindari lewat depan Masjid kampus kalau jam sudah menunjuk angka 20.00 WIB. Pilih jalan yang lain. Hihihihi. Sebelum jam 20.00 WIB, pindah parkir motor yang awalnya didepan masjid kampus ke deket sekre. Kalau lupa belum mindah, minta tolong temen-temen yang cowok buat mindahin motor. Biar bisa menyelinap lewat jalan lain. Jadi judulnya tetep ‘bali bengi’. Oke, back to the topic. 

Karena kamu tidak pernah sendiri

Banyak dari kita yang begitu cueknya berperilaku semaunya kita. Merasa acuh dengan sekitar. Bodo amat, ini hidup gue. Kalau nggak suka jangan dilihat. Tentang pergaulan yang kadang terlalu cair (#PLAK!), tentang jam pulang malam yang semaunya sendiri. Tak ketinggalan status-status facebook yang alay. Parahnya lagi akhir-akhir ini banyak status-status yang ‘memancing’ (#PLAK lagi) dan itu oleh mereka yang kelihatannya sudah paham. Pokoknya suka-suka. Seolah kita hidup sendiri. Urusan itu bermanfaat atau tidak itu urusan belakang.

Padahal….

Kadang orang tidak pernah melihat siapa kita. Tapi seperti apa kita. Misal ada seorang muslimah berjilbab rapi tapi begitu cair dengan lawan jenis. Bukan kita sebagai individu yang dilihat (apalagi oleh adik-adik kita) tapi seperti apa kita, mirip siapa kita, komunitas apa yang kita ikuti, hingga label sebagai muslimah yang katanya menjaga syar’I pun ikut terbawa.

Seperti pada tulisan sebelumnya, begitu mudahnya masyarakat melabelkan sebuah keburukan plus-plus ketika keburukan itu dilakukan oleh seorang ibu muslimah yang berjilbab. Pakai jilbab kok gini. Hmm…

Secuek apapun diri kita pada akhirnya kita harus paham kondisi sekitar kita. Masyarakat kita latah dengan cirri fisik. Bahwa yang begini cirinya ikut komunitas ini. Kalau memakai ini agamanya ini. Hingga kemudian, label-label itu membuat kita menjadi wakil dari apa yang kita yakini.



Senorita
15.06-07112014

Kamu tidak pernah sendiri dan jangan pernah berusaha untuk menyendiri. Kata seorang teman, jangan memisahkan diri.

    Choose :
  • OR
  • To comment
1 komentar:
Write Comment