Pecinta alam adalah mereka yang senang
berpetualang. Meneriakkan anti perusakan lingkungan dalam rangka pelestarian
alam. “Konservasi atau mati”, begitu kata mereka.
Selama ini kita,
hmm..aku deh. Sering mengidentikkan pendaki adalah pecinta alam. Tapi apa iya? Nggak
semuanya. Kamu musti tahu, banyak pendaki yang meninggalkan jejak sampah saat
mereka mendaki. Membuat gunung penuh dengan daki. Ah..aku masih belum bisa
memaafkan mereka.
Beberapa waktu
yang lalu, aku diberi kesempatan untuk mendaki (lagi). setelah hampir sekian
bulan nggak mendaki. Ah..rasanya bau angin gunung selalu memanggilku. Wangi gunung
yang selalu membuatku bisa tersenyum. Meskipun kedua kaki berkata lain. Gempor jendral!
Kalau kata
temanku, “Ngapain sih mbak, capek-capek naik gunung? Toh juga turun lagi”
Hahha, bagi
sebagian orang, naik gunung memang seperti pekerjaan sia-sia. Coba bayangkan,
capek-capek naik gunung. Belum lagi kalau medannya aduhai, udah jadi beda
judul, bukan naik gunung, tapi panjat tebing. Bawa tas segede kulkas. Kudu pake
jaket tebel. Perlengkapannya juga nggak bisa dibilang murah meriah. Nguras kantong
bo! Tapi, aku tetep ketagihan tuh.
Back to topic!
Apa iya setiap
pendaki itu pecinta alam?
Kalau ada yang harus kurindukan di atas gunung, itu adalah kalian | . |
Aku melihatnya
berbeda. Pertama kali naik gunung (Gunung Lawu), aku musti agak kecewa. Setiap jengkal
tanah yang aku lewati aku selalu menemukan plastik bekas makanan. Mulai dari plastik
mie instan hingga permen. Berceceran di jalan.
Aku tambah
kecewa saat pendakian Sindoro kemarin. Banyak teman satu tim pendakian yang
dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. Habis minum madu, sampahnya
langsung buang begitu saja. Plastik mie instan, nggak dimasukkan lagi ke dalam
tas, atau tempah khusus sampah.
Puncak Sindoro |
Mengingatkan? Percuma,
bukan satu dua orang yang melakukan demikian. Aku saja begitu mencintainya,
kenapa kalian tidak? Memang benar, mencintai belum tentu menjaga. Belum tentu
mau merawat, hanya mau menikmati apa yang bisa dinikmati. Urusan keindahan
besok? Biarkan alam mendaur ulang sendiri.
Mungkin karena mereka
hanya sekedar pendaki. Aku masih banyak melihat para pendaki yang benar-benar
mencintai alam ini. Merangkai sampah-sampah yang ditemui. Dibawa turun kebawah.
Dibuang! Itulah mencintai. Sampai saat
ini, yang aku bisa hanyalah menyimpan sampahku sendiri. Pendakian
selanjutnya semoga ada peningkatan.
Jadi malu,
sebelum berangkat adekku berkata, “Mbak, jangan lupa bawa plastik!”
Dengan polosnya
aku bertanya,”Buat apa?”
“Lho katanya
pecinta alam. Paling nggak bawa setiap sampah yang ditemui diatas gunung.”
Jangankan,
memungut sampah. Bisa sehat sampai base camp saja bagiku sebuah anugerah. Hehehe.
Kakinya bener-bener demo. Nggak bisa diajak kompromi. Sudah nggak terhitung
berapa kali kram kaki. Nggak terhitung berapa kali mencium tanah dan
semak-semak.
Gunung memang
mampu menyihir setiap manusia. Menunjukkan sifat asli yang sesungguhnya. Jadi kamu pendaki atau pecinta alam?
Kode etik pecinta alam se-Indonesia |
Tidak ada komentar:
Write Comment