Credit here |
Dua
tahun yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman. Namanya..ah sepertinya tak
perlu saya sebutkan. Biarkan saya saja yang tahu. Kami pernah dalam satu
lingkaran (bukan lingkaran rahasia lho). Saling tahu lah. Tapi entah ada apa
muncul jeda antara kami. Sekian lama nggak bertatap muka. Ceritanya saya kepo
nih, tak bukalah FBnya.
Semua
terhenti sejenak, hingga jarum jam pun enggan beranjak.
Bertunangan.
Satu
kata itu sudah cukup untuk menterjemahkan seperti apa dia sekarang. Semudah itukah
luluh? Terbuat dari apakah hatinya, hingga semudah itu melumer. Melting hanya
gara-gara kata, Aku mencintaimu , atau kata yang lebih halus dari itu.
Dilain
hari, aku bertemu dengan temanku yang lain.
“STOP!,
ikuti motor itu!”
Sebuah
motor satria (pengen punya motor ini #tsaahhh). Ada dua orang diatasnya. Aku mengenal
keduanya. Dua adikku. Putra dan putri. Bukan saudara sedarah ataupun seayah. JLEB.
Kakak macam apa saya ini.
Beberapa
waktu kemudian.
Saya
nggak terlalu mengenal dua orang ini. Hanya sekedar tahu. Oh..ini saudara saya.
Dulu kami pernah bertemu dalam beberapa forum. Tapi itu pun juga nggak
mendekatkan kami. Hanya sekedar kenal. Nggak lebih.
Seorang
akhwat (sekilas terlihat dia sedang berproses) dan seorang ikhwan (kalau dia
layak disebut begini). Saling memberikan harapan, hingga menguatkan. Mereka bukan
sedarah, bukan pula seayah. Belum ada akad antara mereka.
Rasanya
ingin sekali bertanya kepadanya (perempuan), “Oh, Cinta, semudah itukah kau
luluh?”
Karena kita istimewa
Ide
penulisan ini muncul saat melihat yang berguguran di tengah jalan. Sebabnya
bukan karena berbeda rasa dalam dakwah. Bukan berbeda kata dalam fikrah. Tapi karena
persamaan rasa dalam…dalam apa ya. Hatikah? Atau hanya sekedar diawang-awang?
Saya
belajar dari seorang teman. Dia pernah mengatakan, “Kita itu istimewa, wajar
saja kalau banyak yang menginginkan.”
Nyess
banget kata-katanya. Jadi pengen bikin tameng, biar selalu terjaga.
Bukan
hanya seorang laki-laki yang baik yang menginginkan perempuan yang baik. Bahkan
seorang preman sekalipun ingin ibu yang terbaik untuk anaknya. Coba, mana ada
laki-laki sebejat apapun, sebiadab apapun yang ingin anaknya diasuh oleh
perempuan yang tidak baik. Nggak ada kan. Pasti setiap laki-laki ingin yang
baik. Nah, permasalahannya adalah, bagaimana seorang perempuan baik harus
bersikap?
Sudah
tertulis sebuah batasan. Perempuan baik untuk laki-laki baik, begitu pula
sebaliknya. Kita nggak perlu berdebat tentang ini kan?
Sakit
rasanya kalau melihat mereka yang baik, harus bertemu dengan yang mungkin baik,
diwaktu yang tidak baik. Semuanya harus
baik, perempuannya, laki-lakinya dan tentu saja waktunya. Biar berkah.
Ayolah
cantik, kuncinya ada di kita. Kalau kita menutup pintu dan menguncinya dengan
baik, pasti nggak ada yang bisa masuk. Kecuali yang memang sudah engkau ijinkan
dan tentu saja Allah ijinkan. Hmm, jadi ingat kata seorang teman. Dia begajulan.
Dengan entengnya dia bilang.
“Tenang
aja mbak, cowok itu kalau cari pacar emang yang cantik, yang buka-bukaan.
Jadinya bisa have fun. Tapi kalau untuk masalah istri. Kita tahu kok. Cari yang
baik.”
“Dasruuunnn!!
Ra mutu! :p” Senorita
Tidak ada komentar:
Write Comment