Jumat, Juli 18, 2014

Melihat Keberpihakan Opini Media


Pemilihan Presiden (pilpres) sudah selesai. Tapi apakah benar-benar selesai? Ketika masih banyak orang yang tidak siap menerima hasilnya nanti. Hingga akhirnya banyak yang bertindak diluar nalar. It’s like a war. Ini seperti perang, baik itu perang media (sosial, cetak, online). Hingga perang melawan idealisme bagi para wartawan dan jurnalis.

Selama ini masyarakat mengenal media sebagai sebuah pihak yang bisa menerangkan semuanya. Sehingga masyarakat bisa melihat secara utuh sebuah masalah. Sayangnya, kondisi ini berubah 180 derajat menjelang pilpres 2014. Banyak media-media yang awalnya begitu ketat menyaring berita, tetiba menjadi sulit dibedakan dengan media yang abal-abal.

Masih ingat, salah satu media cetak yang memberitakan salah seorang capres yang buang air kecil di TOL? Masih ingat saat ada media menulis tentang seorang capres yang makan pakai tangan? Dilihat dari segi manapun ini tidak menarik untuk dijadikan berita. Tidak ada informasi yang cukup penting yang harus diketahui masyarakat. Bagi yang mau, sekali lagi mau, berpikir kritis pasti akan bertanya, ada apa dibalik pemberitaan ini? Dimana media-media itu meletakkan kredibilitas dan profesionalitas mereka? Oke, maaf kalau akhirnya paragraph ini akan meruncing kepada salah satu capres, tapi itulah kenyataannya.

Mungkin banyak yang akan bilang, dimana para wartawan? Oke, jadi begini, ini harus diluruskan. Bahwa wartawan tidak ikut memutuskan berita mana yang naik dan berita mana yang turun. Apakah tidak ada wartawan yang cukup bisa menulis dengan baik? Masih ada, tapi sekali lagi bukan wartawan yang memutuskan berita mana yang bisa naik cetak dan berita mana yang tidak. Ada dewan redaksi, ada pimpinan redaksi dll. Pimpinan redaksi ini posisi politis, karena pimred menjadi salah satu orang yang berhak memutuskan apakah berita tersebut layak naik atau tidak. Lebih jelasnya kita bahas di artikel yang lain.

Kembali kepada keberpihakan media. Okelah kita lupakan masalah menjelang pilpres. Kita bahas dulu kondisi saat ini. Kondisi pra pilpres kita bahas nanti di tulisan lain. Sadar atau tidak beberapa media sedang membuat opini publik. Miris ketika akhirnya justru media-media tersebut menyalahkan KPU selaku lembaga legal Negara apabila KPU memenangkan salah satu calon. Kebetulan bukan calon yang selama ini dibela oleh media tersebut. Anehnya, opini publik ini mulai dibangun sekarang, saat KPU pun belum angkat bicara siapa pemenangnya.

Salah satu opini publik yang dibangun adalah calon A menang, calon B kalah. Padahal belum ada pengumuman resmi dari yang berwenang. Selain itu ada juga isu lain yang disampaikan, bahwa beberapa lembaga survey ini benar dan lembaga survey lain salah.

Ini hanya sebuah opini sampai tanggal 22 Juli nanti. Saat KPU mengumumkan siapa capres yang memperoleh suara terbanyak. Sekali lagi ini hanya sebuah opini. Siapapun yang menyampaikannya. Media tingkat nasional sekalipun. Dikemas sebaik apapun, ini tetap opini.

Parahnya adalah, opini ini dibuat untuk membentuk pemikiran masyarakat. Agar banyak masyarakat menyakini calon ini yang menang dan calon itu yang kalah. Sehingga apabila nanti akan diperkarakan, mudah mengerahkan masa aksi. Juga ketika nantinya calon yang diusung kalah, opini yang terbentuk bisa menjadi sebuah senjata. Bahwa menurut media ini, lembaga survey ini pemenangnya adalah si ini. Padahal kalau kita mau sedikit saja menelisik kita akan tahu bahwa banyak media yang sudah menggadaikan idealisme mereka.

Pelurusan tentang opini publik ini sangat penting. Karena apa, banyak mereka yang terpelajar dan terdidik mulai termakan opini ini. Apalagi opini-opini ini banyak dibumbui hal-hal yang tidak jelas kebenarannya. Misalnya kecurangan dalam pilpres yang hingga saat ini masih sulit dibuktikan oleh masyarakat secara umum.

Kesimpulannya: Tunggu tanggal 22 Juli 2014. Tidak perlu mempercayai berbagai macam media yang sudah tidak sabar untuk memberitakan (eh mengiklankan). Tahu kan bedanya berita dan iklan?

Senorita
1457|18072014

Ketika akhirnya harus angkat pena

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment