Pemilihan
Presiden (pilpres) sudah selesai. Tapi apakah benar-benar selesai? Ketika masih
banyak orang yang tidak siap menerima hasilnya nanti. Hingga akhirnya banyak
yang bertindak diluar nalar. It’s like a war. Ini seperti perang, baik itu perang media
(sosial, cetak, online). Hingga perang melawan
idealisme bagi para wartawan dan jurnalis.
Selama ini
masyarakat mengenal media sebagai sebuah pihak yang bisa menerangkan semuanya. Sehingga
masyarakat bisa melihat secara utuh sebuah masalah. Sayangnya, kondisi ini
berubah 180 derajat menjelang pilpres 2014. Banyak media-media yang awalnya
begitu ketat menyaring berita, tetiba menjadi sulit dibedakan dengan media yang
abal-abal.
Masih ingat,
salah satu media cetak yang memberitakan salah seorang capres yang buang air
kecil di TOL? Masih ingat saat ada media menulis tentang seorang capres yang
makan pakai tangan? Dilihat dari segi manapun ini tidak menarik untuk dijadikan
berita. Tidak ada informasi yang cukup penting yang harus diketahui masyarakat.
Bagi yang mau, sekali lagi mau, berpikir kritis pasti akan bertanya, ada apa
dibalik pemberitaan ini? Dimana media-media itu meletakkan kredibilitas dan
profesionalitas mereka? Oke, maaf kalau akhirnya paragraph ini akan meruncing
kepada salah satu capres, tapi itulah kenyataannya.
Mungkin banyak
yang akan bilang, dimana para wartawan? Oke, jadi begini, ini harus diluruskan.
Bahwa wartawan tidak ikut memutuskan berita mana yang naik dan berita mana yang
turun. Apakah tidak ada wartawan yang cukup bisa menulis dengan baik? Masih
ada, tapi sekali lagi bukan wartawan yang memutuskan berita mana yang bisa naik
cetak dan berita mana yang tidak. Ada dewan redaksi, ada pimpinan redaksi dll. Pimpinan
redaksi ini posisi politis, karena pimred menjadi salah satu orang yang berhak
memutuskan apakah berita tersebut layak naik atau tidak. Lebih jelasnya kita
bahas di artikel yang lain.
Kembali kepada
keberpihakan media. Okelah kita lupakan masalah menjelang pilpres. Kita bahas dulu
kondisi saat ini. Kondisi pra pilpres kita bahas nanti di tulisan lain. Sadar
atau tidak beberapa media sedang membuat opini publik. Miris ketika akhirnya
justru media-media tersebut menyalahkan KPU selaku lembaga legal Negara apabila
KPU memenangkan salah satu calon. Kebetulan bukan calon yang selama ini dibela
oleh media tersebut. Anehnya, opini publik ini mulai dibangun sekarang, saat
KPU pun belum angkat bicara siapa pemenangnya.
Salah satu opini
publik yang dibangun adalah calon A menang, calon B kalah. Padahal belum ada
pengumuman resmi dari yang berwenang. Selain itu ada juga isu lain yang
disampaikan, bahwa beberapa lembaga survey ini benar dan lembaga survey lain
salah.
Ini hanya sebuah
opini sampai tanggal 22 Juli nanti. Saat KPU mengumumkan siapa capres yang
memperoleh suara terbanyak. Sekali lagi
ini hanya sebuah opini. Siapapun yang menyampaikannya. Media tingkat nasional
sekalipun. Dikemas sebaik apapun, ini tetap opini.
Parahnya adalah,
opini ini dibuat untuk membentuk pemikiran masyarakat. Agar banyak masyarakat
menyakini calon ini yang menang dan calon itu yang kalah. Sehingga apabila
nanti akan diperkarakan, mudah mengerahkan masa aksi. Juga ketika nantinya
calon yang diusung kalah, opini yang terbentuk bisa menjadi sebuah senjata.
Bahwa menurut media ini, lembaga survey ini pemenangnya adalah si ini. Padahal
kalau kita mau sedikit saja menelisik kita akan tahu bahwa banyak media yang
sudah menggadaikan idealisme mereka.
Pelurusan tentang
opini publik ini sangat penting. Karena apa, banyak mereka yang terpelajar dan
terdidik mulai termakan opini ini. Apalagi opini-opini ini banyak dibumbui
hal-hal yang tidak jelas kebenarannya. Misalnya kecurangan dalam pilpres yang
hingga saat ini masih sulit dibuktikan oleh masyarakat secara umum.
Kesimpulannya:
Tunggu tanggal 22 Juli 2014. Tidak perlu mempercayai berbagai macam media yang
sudah tidak sabar untuk memberitakan (eh mengiklankan). Tahu kan bedanya berita
dan iklan?
Senorita
1457|18072014
Ketika akhirnya harus
angkat pena
Tidak ada komentar:
Write Comment