Baru kali ini saya deg-degan ketemu makhluk
berjenis laki-laki. Biasanya santai saja. Bukan karena masnya cakep maksimal,
tapi karena sebentar lagi dia akan merenggut hal yang berharga. Lebay. Hihihihi.
Dimulai dari sebuah pagi yang cerah. Pagi itu
saya ada janji (duile) dengan teman-teman. Kita mau nyulik seorang penulis.
Kakak seperguruan kami. Namanya Maimon Herawati. Alias Teh Imun. Kalau kalian
suka lihat status FB saya, pasti tahu siapa ini. Cerita tentang pertemuan saya
dengan beliau kita simpan dulu ya. Kan saya kali ini mau cerita tentang mas
kasir. Hihihi.
Pagi itu sebelum berangkat ketemu Teh Imun, saya
ngecek motor. Kebetulan hari-hari ini jarang keluar. Paling pol hanya ke Masjid
dekat kos. Itupun kadang bareng dengan anak kos yang lain. Jadi motor jarang
keluar kandang.
Kebetulan si motor emang sudah waktunya servis
juga. Rantai sudah mulai kering, eh kering banget malahan. Terus saya mikir,
kalau kering kayak gini, mungkin putus dijalan nggak ya. Malu donk kalau harus
dorong motor. Apalagi waktu itu ketemuannya di sebuah hotel yang ih Waow.
Tahu apa yang saya pikirkan? Kalau dikasih
minyak goreng, boleh nggak ya. Pikir saya, kan sama-sama minyak. Oli juga
minyak. Duh, anak kimia yang gagal fokus. Keduanya meskipun sama-sama minyak
tapi kan sumbernya beda ya. Satu dari kelapa sawit, satunya dari minyak bumi.
Maap ye yang anak otomotif, saya memang agak-agak oon kalau dalam hal motor.
Tapi tenang, ide gila itu belum sampai saya
lakukan, kebetulan bapak penjaga kos, menyelamatkan motor saya. Nggak jadi
motor goreng. Si bapak punya oli bekas. Jadilah saya pagi itu berbekal kuas
mentega yang sudah nggak terpakai, mengolesi rantai motor. Sambil berdoa,
semoga nggak ada teman yang lewat depan kos. Bisa turun pamor iniiiihhh. :D
Semua lancar. Rantai motor licin. Motor sudah
dipanasi. Giliran saya yang bersiap setelah berpeluh-peluh (lebay) bergulat
(lebay kuadrat) dengan rantai motor. Pukul setengah sebelas saya sudah
kinclong. Nggak ada yang bakal tahu kalau tadi pagi saya jadi montir dadakan. Hihihi.
Ceklek! Kunci motor sudah masuk. Starter tangan
sudah nggak berfungsi. Jadilah saya berpose hero sambil ngengkol (tahu artinya
ngengkol kan?) motor. Engkolan pertama gagal. Engkolan kedua nihil. Yang ada
malah terdengar suara bunyi mesin yang mlempem (kerupuk keless). Waduh rek, opo
iki. Sampai engkolan kesepuluh. Bukan mesinnya yang nyala, tapi sahur tadi pagi
saya yang habis. :D.
Oke fine, pinjam motor teman kos. Sepertinya
memang si motor minta jatahnya.
Besoknya, saya meluangkan waktu untuk ke
bengkel. Kebetulan saya sudah cukup familiar dengan mekanik (eh benerkan?) di
bengkel ini. Soalnya dulu pernah dikerjain sama mereka. What? Ternyata kamu
sukanya main sama mas-mas bengkel? Biasa aja kali kagetnya. Mereka manusia
juga.
Kekonyolan pun dimulai. Sampai di bengkel, sudah
ada beberapa motor yang sedang diservis. Lalu saya dengan indahnya (bo’ong)
masuk dang langsung daftar antrian. Entah masnya yang lembut (gegara melihat
aku yang dikira lelembut kali ya hihihi), atau saya yang mulai bolot. Setiap
masnya nanya, saya selalu menjawab, “Apa?”, “Heh?”. Si mas selalu mengulang
pertanyaannya dua kali. Konyolnya, saat masnya nanya, “Motornya apa mba?”. Saya
menjawab, “Nomor Hp saya?”. Alamaakkk. Ada apa dengan kupingkuuhh. Soalnya
kebetulan saya mau pergi sebentar, jadi si motor tak tinggal di bengkel bentar.
Dan sedari awal yang saya pikirkan adalah, kalau saya ninggalin motor, pasti
nanti disuruh ninggalin nomor Hp. Duh!
Semua berjalan lancar setelah itu. Motor saya
diservis. Nggak ada yang aneh. Tapi dunia serasa goyang begitu mas mekaniknya
bilang, “Mbak, kampas rem depan sudah habis.” Saya senyum miris, “Ya sudah mas
diganti sekalian.” Duh, nggak tahu lagi banyak kebutuhan nih motor. Setengah
jam kemudian, masnya datang lagi, “Mbak, kampas rem belakang juga habis.” Kali ini
masnya pakai muka nggak enak. Tahu kali ya, dompetku lagi tipis (kayak pernah
tebel aja). Ekspresiku? Jangan ditanya, melas tingkat nasional. “Emang berapa
mas kalau diganti?” Lalu masnya menyebutkan sebuah nominal.
Oke, fine. Semoga cukup uangnya. Tapi, wait! Ganti
oli, ganti kampas, servis. Duh! Kalau kurang duitnya gimana ya, bisa jadi bully
nih. Setengah jam kemudian mas mekaniknya datang lagi. Saya sudah melas.
“Sudah mbak.”
“Fyuhh…saya menghela napas.”
Suer saya deg-degan. Begitu berdiri di depan mas
kasir sambil melihat catatan si mas mekanik. Angka-angka. Sekian ditambah
sekian. Duh, mendadak saya nggak bisa berhitung. Diam, menggigit bibir. Mengumpulkan
kekuatan, kalau uangnya kurang langsung kabur. Eh nggak juga sih.
Sebelum menunjukkan nota pembayaran mas kasirnya
bilang sesuatu, dan saya dengan suksesnya tidak mendengar apa katanya :D.
“Berapa mas?”
“Sekian mbak.”
“Fyuhh..” legaaa. Untung bentar lagi mudik.
#Lho. Uang yang tadi pagi baru saya ambil dari ATM, langsung berpindah tangan. Nggak
jadi belanja. #eh.
Senorita
1144|19072014
Saya pun manusia
Tidak ada komentar:
Write Comment