Minggu, Desember 08, 2013

Cinta, Patuh, dan Takut


Beberapa waktu lalu teman saya di sebuah LSM  up date status. Redaksionalnya saya sudah agak lupa. Intinya adalah, manusia diciptakan untuk memimpin. Begitu pula laki-laki memimpin perempuan. Namun seperti rasululloh, umat mematuhinya karena cinta. Bukan karena takut. Begitu pula seharusnya seorang suami, jangan sampai istrinya patuh kepadanya karena takut, tapi karena cinta.

STOP! Dilarang muntah! Boleh donk sekali-kali nulis tema ini. hihihihi.

Semacho  apapun seorang perempuan, semandiri apapun, semua akan bermuara kepada satu hal, bahwa dia butuh pemimpin, pelindung. Trust me! Sempurnalah Allah menciptakan semua ini. Pasangan. Tidak mungkin tertukar. Meskipun ada perempuan yang begitu mandiri, saya kira aka nada suatu saat dia butuh seseorang. Tempat berbagi, tempat untuk bicara. Apa adanya. Seseorang yang bisa membuatnya berkata, “Ya, saya patuh kepada Allah, dengan salah satunya patuh kepadamu”. Meskipun sebenarnya, tidak ada satu pun ayat yang menyatakan bahwa istri harus taat dan patuh kepada suami.

Tapi, ibarat sebuah kapal, dia tidak akan berjalan dengan baik kalau ada dua nahkoda. Harus ada yang wakilnya. Bahasa mudahnya, salah satu patuh kepada yang lain. Pemimpinnya bertugas untuk mengetuk palu. Sedangkan wakilnya ikut memutuskan. Bukan hanya ngikut. Jadi, cukup bisa difahami ya, kata patuh diisni.

Kita sering menemui patuh ada dua jenis. Patuh karena takut dan patuh karena cinta. Apabila kepatuhan itu terbentuk karena takut, yang terjadi bukan sebuah kepatuhan yang manis. Bayak hal yang disembunyikan. Saya punya sebuah contoh keluarga. Kepala keluarganya sangat keras. susah untuk diberi masukkan. Walaupun oleh istrinya sendiri. hanya orang-orang tertentu yang dia dengar nasehatnya. Padahal kalau dilogika, secara rasa dan raga, harusnya istrinya adalah orang pertama yang bisa dia ajak bertukan pendapat dan saling member masukkan.

Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Si laki-laki kepala keluarga ini menganggap ketika istrinya memberikan masukkan, istrinya sedang mengguruinya. Bahwa perempuan itu tidak lebih baik dari laki-laki, perempuan dibawah laki-laki. Bahwa istri harus patuh tanpa membantah apapun kata suami. Begitu yang ada dipikirannya.

Termasuk untuk urusan yang kecil. Semua harus seperti apa yang dia inginkan. Tanpa proses musyawarah. Kalau dia nggak suka, ya nggak boleh dilakukan. Anak-anaknya pun tumbuh dalam lingkungan yang timpang sebelah seperti itu. Hingga akhirnya keluarga itu kini tumbuh dalam suasana yang begitu tidak sehat. Anak tidak dekat dengan ayahnya. Jangankan untuk member masukkan, untuk bicara saja mereka berfikir ulang. Sangat hati-hati. Lebih baik diam dari pada bicara, biar nggak kena marah.

Istrinya memilih untuk banyak berbohong. Sudah tidak ada cara lagi (menurut perempuan itu). Jangankan untuk hal yang cukup besar misalnya membeli tanah atau rumah atau sejenisnya. Bahkan untuk membeli peralatan dapur pun masih harus berbohong bahwa itu pemberian orang. Kadang juga berbohong kalau harganya nggak semahal yang dia kira. Bagi laki-laki itu, barang-barang itu tidak penting.

Keluarga itu tumbuh kaku. Sepi. Rumah tidak pernah hidup dengan tawa bersama. Kepatuhan tumbuh karena takut, bukan karena cinta. Bahkan anak-anak mereka lebih suka tinggal diluar kota dari pada harus pulang ke rumah. Pulang ke rumah hanya kalau ingat ibunya.

Nah, kurang lebih seperti itulah gambaran ketika keluarga dibentuk dengan sebuah ketakutan. Kaku, dan bisa dipastikan tidak SAMARA. Hanya bisa bertahan asal salah satunya mengalah  dan menerima sebuah keputusan sepihak. Bukan karena hasil musyawarah. Ah, semoga itu menjadi amal pemberat sang istri. Aamiin.

Akan sangat berbeda kalau kepatuhan anggota keluarga terhadap kepala keluarganya didasari cinta yang dimulai saling memahami, bukan saling mengalahkan. Bahwa keluarga ini dibangun oleh dua orang yang punya niat baik  yang sama. Tidak ada ceritanya salah satu terpaksa mengalah. Ketika ada yang berbeda maka harus ada waktu untuk saling bicara.

Laki-laki memang diciptakan untuk memimpin perempuan. Tapi bukan berarti memimpin dalam arti sangat sempit yaitu mengekang. Pokoknya kamu istri dan kamu harus patuh. Tinggalkan semua kehidupanmu, sekarang kamu masuk hidupku, aturanku, dan kamu nggak boleh membantah. Saya kira dia bukan laki-laki. Hanya seonggok daging yang bisa berjalan dengan kesombongan.

Bisa diibaratkan, kepala rumah tangga yang dipatuhi karena kecintaan oleh anggota keluarganya adalah rosul, sedangkan yang dipatuhi karena rasa takut adalah Firaun. Sekarang para laki-laki tinggal memilih, mau mengikuti model kepemimpinan siapa. Rosul atau firaun. Dan tentu semua sudah tahu ending dari hidup kedua pemimpin tersebut. Salah satunya selalu dicintai dan dikenang karena kebaikannya, satu lagi dihina dan direndahkan karena kediktatorannya.
Jadi, kamu pilih yang mana? ;)

Sssttt, asal kamu tahu ya, apa yang terjadi dengan keluargamu (mu untuk laki-laki), adalah tanggung jawabmu. Maka kalau istrimu sampai takut kepadamu dan melakukan dosa karena itu, itu hanya akan menjadi pemberat timbangan amal burukmu. Dan percayalah, bahwa apapun yang terjadi pada keluargamu, termasuk pendidikan anak-anakmu, sesungguhnya itu tanggungjawabmu, bukan istrimu. Nggak percaya? Silahkan cek landasannya. Kewajiban untuk menjaga keluarga dari api neraka itu ada di tangan laki-laki, bukan perempuan. Maka, berbuat baiklah dengan mereka. ;)


_J_

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment