“Aku
tak punya apa-apa, Bi. Yang ada disisiku sekarang hanyalah kekayaan Negara. Aku
bahkan tak punya tabungan untuk mas kawin. Dewan Kurultai tak menetapkan gaji
untukku” Takudar Muhammad Khan, Pewaris sah tahta Mongolia. Seorang kaisar
muslim pertama Mongolia.
Diam-diam
saya mengaguminya. Seorang Takudar. Sedari kecil hingga remaja menjadi
pelarian. Lalu berperang dengan saudara kandungnya yang juga pewaris tahta
Mongolia, hingga mengorbankan Pangeran Buzun, sang bungsu. Lalu menjadi kaisar
yang dikelilingi beragam kemewahan. Emas bertumpuk, upeti dari negeri taklukan
nenek moyang tak pernah lupa dibayarkan. Dan dengan tenang dia masih bisa
berkata, aku tak punya apa-apa.
Apa
masih ada laki-laki yang seperti itu. Merasa diri tak punya, meskipun dia bisa
membeli segalanya. Justru yang sekarang banyak beredar, laki-laki yang
membanggakan semua usaha yang dimilikinya. Padahal dia tahu itu semua punya
Tuhannya. Ada pun yang tidak membanggakan, itu karena mereka benar-benar tak
punya. Tak ada yang dibanggakan. Kalau
kata ust. Syatori, ya wajar kalau dia sabar, karena memang dia tak punya.
Selebihnya laki-laki yang merasa punya namun ternyata nyali pun tak ada.
Wait!
Saya sedang baik-baik saja. Bukan feminis. Hanya sedang kagum dengan
kepribadian seorang Takudar. Bukan hanya Takudar, namun juga Almamuchi. Seorang
dayang yang mendampingi Takudar dalam masa pelarian. Seorang gadis suci yang
akhirnya harus melahirkan benih beraroma kabencian dari Arghun (adik kandung
Takudar) karena perkosaan. Saya pun kagum dengan Urghana, meskipun akhirnya dia
mati sebab menegak racun, namun dia kuat sebagai seorang perempuan. Meskipun
Arghun –yang saat itu masih seorang kaisar- mencintainya mati-matian, namun dia
teguh dengan pendiriannya. Bahwa hati tidak pernah bisa dibeli dengan harta dan
takhta. Sebab itu, Arghun terus-terusan mencintainya tanpa bisa mengurangi
sedikitpun rasa, bahkan terus menguat.
Bukankah
harusnya setiap perempuan memiliki pendar kuat seperti Urghana? Tidak
mementingkan harta. Saat Arghun mati-matian mencintainya, justru dia kukuh
mempertahankan rasanya kepada pangeran Buzun. Pangeran rendah hati yang
akhirnya mati ditangan kakaknya sendiri.
Saya
membayangkan bila para perempuan punya prinsip seperti itu, bisa jadi itu
adalah salah satu cara untuk membangkitkan gegap gempita para pemuda muslim.
Mereka tidak lagi membanggakan seberapa besar harta yang telah dikumpulkannya,
namun lebih sibuk menghitung seberapa banyak hafalannya. Para pemuda itu tidak
lagi berlomba untuk memamerkan kekayaan, namun sibuk menekuri ilmu agamanya.
Sebab untuk mendapatkan perempuan yang baik, mereka harus menebusnya dengan
tingkat kesholihan, bukan hanya kemapanan. Sekali lagi, bukan hanya. Sebab
mereka yang sholih, pasti tahu bahwa kemauan dan kemampuan untuk menggenggam
dunia ditangan (bukan dihati) itu juga penting.
Tidak
menjadikan anjuran bahwa muslim harus kaya alibi untuk mengutamakan dunia dari
pada ilmu agama.
Kembali
kepada Takudar. Tetiba saya mengingat pemimpin-pemimpin kita. Meskipun
sama-sama muslim, namun sangat berbeda. Saya rasa tak perlu menyebut siapa.
Takudar, setelah jadi Kaisar, masih terus memanggil guru-guru dari penjuru
dunia untuk terus mengajarinya banyak hal. Tidak jarang para guru tersebut
membawa buku berpeti-peti untuk diajarkan kepada Sang Kaisar. Ah, Takudar,
bisakah kau menjelma. Menjadi Kaisar Mongolia kembali. Kaisar muslim pertama
yang lembut hati.
Arumdalu,
050515
Hei,
tak perlu cemburu. Takudar hanya tokoh sejarah yang melegenda.
Tidak ada komentar:
Write Comment