Rabu, Mei 06, 2015

Takudar Muhammad Khan

“Aku tak punya apa-apa, Bi. Yang ada disisiku sekarang hanyalah kekayaan Negara. Aku bahkan tak punya tabungan untuk mas kawin. Dewan Kurultai tak menetapkan gaji untukku” Takudar Muhammad Khan, Pewaris sah tahta Mongolia. Seorang kaisar muslim pertama Mongolia.

Diam-diam saya mengaguminya. Seorang Takudar. Sedari kecil hingga remaja menjadi pelarian. Lalu berperang dengan saudara kandungnya yang juga pewaris tahta Mongolia, hingga mengorbankan Pangeran Buzun, sang bungsu. Lalu menjadi kaisar yang dikelilingi beragam kemewahan. Emas bertumpuk, upeti dari negeri taklukan nenek moyang tak pernah lupa dibayarkan. Dan dengan tenang dia masih bisa berkata, aku tak punya apa-apa.  

Apa masih ada laki-laki yang seperti itu. Merasa diri tak punya, meskipun dia bisa membeli segalanya. Justru yang sekarang banyak beredar, laki-laki yang membanggakan semua usaha yang dimilikinya. Padahal dia tahu itu semua punya Tuhannya. Ada pun yang tidak membanggakan, itu karena mereka benar-benar tak punya. Tak ada yang dibanggakan.  Kalau kata ust. Syatori, ya wajar kalau dia sabar, karena memang dia tak punya. Selebihnya laki-laki yang merasa punya namun ternyata nyali pun tak ada.

Wait! Saya sedang baik-baik saja. Bukan feminis. Hanya sedang kagum dengan kepribadian seorang Takudar. Bukan hanya Takudar, namun juga Almamuchi. Seorang dayang yang mendampingi Takudar dalam masa pelarian. Seorang gadis suci yang akhirnya harus melahirkan benih beraroma kabencian dari Arghun (adik kandung Takudar) karena perkosaan. Saya pun kagum dengan Urghana, meskipun akhirnya dia mati sebab menegak racun, namun dia kuat sebagai seorang perempuan. Meskipun Arghun –yang saat itu masih seorang kaisar- mencintainya mati-matian, namun dia teguh dengan pendiriannya. Bahwa hati tidak pernah bisa dibeli dengan harta dan takhta. Sebab itu, Arghun terus-terusan mencintainya tanpa bisa mengurangi sedikitpun rasa, bahkan terus menguat.

Bukankah harusnya setiap perempuan memiliki pendar kuat seperti Urghana? Tidak mementingkan harta. Saat Arghun mati-matian mencintainya, justru dia kukuh mempertahankan rasanya kepada pangeran Buzun. Pangeran rendah hati yang akhirnya mati ditangan kakaknya sendiri.

Saya membayangkan bila para perempuan punya prinsip seperti itu, bisa jadi itu adalah salah satu cara untuk membangkitkan gegap gempita para pemuda muslim. Mereka tidak lagi membanggakan seberapa besar harta yang telah dikumpulkannya, namun lebih sibuk menghitung seberapa banyak hafalannya. Para pemuda itu tidak lagi berlomba untuk memamerkan kekayaan, namun sibuk menekuri ilmu agamanya. Sebab untuk mendapatkan perempuan yang baik, mereka harus menebusnya dengan tingkat kesholihan, bukan hanya kemapanan. Sekali lagi, bukan hanya. Sebab mereka yang sholih, pasti tahu bahwa kemauan dan kemampuan untuk menggenggam dunia ditangan (bukan dihati) itu juga penting.

Tidak menjadikan anjuran bahwa muslim harus kaya alibi untuk mengutamakan dunia dari pada ilmu agama.

Kembali kepada Takudar. Tetiba saya mengingat pemimpin-pemimpin kita. Meskipun sama-sama muslim, namun sangat berbeda. Saya rasa tak perlu menyebut siapa. Takudar, setelah jadi Kaisar, masih terus memanggil guru-guru dari penjuru dunia untuk terus mengajarinya banyak hal. Tidak jarang para guru tersebut membawa buku berpeti-peti untuk diajarkan kepada Sang Kaisar. Ah, Takudar, bisakah kau menjelma. Menjadi Kaisar Mongolia kembali. Kaisar muslim pertama yang lembut hati.

Arumdalu, 050515

Hei, tak perlu cemburu. Takudar hanya tokoh sejarah yang melegenda. 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment