Credit here |
Suatu hal umum ketika melihat keburukan,
setiap orang dengan hati yang baik dan bersih pasti ingin menjadikan keburukan
tersebut sesuatu yang baik. Apakah itu dengan menghilangkan penyebab
keburukannya atau dengan memoles keburukan itu hingga akhirnya perlahan
keburukan itu terhapuskan. Pada akhirnya tetap sama, menghilangkan keburukan
untuk mendapatkan yang baik.
Sudah menjadi hakekat manusia untuk
saling menasehati dalam kebaikan. Menasehati menjadi suatu hal yang reflek
dilakukan pada saat orang disekitar kita melakukan kesalahan baik itu disengaja
atau pun tidak. Sayangnya, banyak orang yang kurang terampil dalam seni
menasehati, hingga akhirnya bukan kebaikan yang didapatkan melainkan justru
perselisihan yang berkepanjangan.
Menasehati bukan hanya sekedar antara
orang tua kepada anak kecil, atau antar seumuran, terkadang nasehat menasehati
juga mau tidak mau harus dilakukan dari orang yang lebih muda kepada orang yang
usianya lebih tua. Misalnya dari anak kepada orang tuanya. Hal ini sering
menimbulkan salah presepsi apabila cara yang digunakan untuk menasehati kurang
pas.
Pada dasarnya menasehati itu baik, tapi
hal yang tidak boleh kita lupakan adalah kita paham atas konsekuensi
menasehati. Menasehati tidak boleh menyertakan nafsu, tak boleh merasa diri
yang lebih baik, tulus tanpa syarat, dan yang terpenting adalah sebagai orang
yang menasehati, kita paham serta sudah menjalankan apa yang kita nasehatkan.
Ini penting sebab pada dasarnya menasehati adalah ingin mengubah, bukan sebaliknya
merubah, menjadi rubah yang justru bisa merusak.
Sebab setiap nasehat yang disampaikan
kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Semakin banyak yang dinasehatkan,
semakin banyak pula beban yang nantinya akan dipertanggungjawabkan. Seperti dalam
firmanNya.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(QS. As-Shaff: 2-3)
Dalam Ayat yang lain
disebutkan:
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al
kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”(QS. Al-Baqarah: 44)
Kurang pas menasehati juga dapat
membuat orang dinasehati bukan semakin baik namun justru semakin buruk, lebih
parah lagi malah tidak mau menerima nasehat lagi. Niat yang pada awalnya kita
ingin mengubah, justru karena kurang baiknya cara kita menyampaikan,malah kita
merubah. Menjadi rubah yang membawa keburukan.
Sebab itu, seringlah mencermati hati,
barangkali kita pernah termakan sendiri oleh nasehat yang kita berikan kepada
orang lain. Atau terkadang ada ketidaktulusan saat menyampaikan, masih butuh
syarat atas nasehat itu, lebih-lebih kalau ternyata kita merasa lebih baik dari
orang lain.
Menasehati itu sejatinya indah. Tapi
berhati-hatilah, agar tidak menjadi rubah.
Sije
Tidak ada komentar:
Write Comment