Credit here |
Tema kali ini tentang virus narsis.
Virus yang saat ini melanda hampir sebagian besar ummat islam. Bukan cuma
mereka yang masih awam namun juga yang sudah dapat julukan akhwat dan ikhwan.
Hanya saja, tingkat dan cara narsisnya berbeda dengan yang lain.
Narsis sebenarnya bukan sekedar pamer
foto-foto selfie. Namun pada saat kita ‘publikasi’ kegiatan sehari-hari, itu
sudah cukup membuat kita disebut narsis. Mirisnya banyak ummat islam yang tidak
peka bahwa narsis bersaudara dekat dengan riya’. Sedangkan riya’ erat
hubungannya dengan sum’ah (senang memperdengarjan amal perbuatan baik kepada
orang lain dengan mengharap pujian).
Fenomena narsis yang menjangkiti ummat
ini harus segera diselesaikan. Sebab bila tidak, maka akan banyak amalan-amalan
ummat yang menguap hanya karena ketidakpekaan. Mengherankan memang, ketika ada
akhwat-akhwat yang gemar pasang status kegiatan sehari-hari seperti, ‘sedang
mendengarkan murotal syeikh A’ atau ‘hari ini lelah sekali. Tidak apa, yang
penting urusan ummat beres’. Contoh lain, sengaja update status di facebook pas
jam-jam tahajud, biar orang lain tahu kalau sudah bangun, dan lain sebagainya. Hanya satu pertanyaan
untuk mereka, penting ya?
Islam sudah sedari dulu mengatur
fenomena ini. Dalam sebuah ayat disebutkan
Allah Swt. berfirman
(yang artinya), “Dan (juga)
orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia,
dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian.
Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu
adalah teman yang seburuk-buruknya.” (QS
an-Nisaa’ [4]: 38)
Hati-hati, Allah sudah memberi
rambu-rambu yang jelas tentang riya’. Menurut Imam Al-Ghazali riya’ ada lima
bagian. Pertama,
riya’ dalam hal agama dengan penampilan jasmani, misalnya memperlihatakan tubuh
yang kurus dan badan yang pucat agar orang lain mengira itu akibat terlalu
sering puasa dan berjaga untuk ibadah. Padahal aslinya karena terlalu sering
begadang nonton bola.
Riya’ yang kedua riya’ dengan penampilan
sosok tubuh dan pakaian, seperti membiarkan bekas-bekas sujud di dahi, supaya
dikatakan rajin shalat dan ahli sujud, atau dengan memakai pakaian yang biasa
dipakai oleh orang-orang shalih agar ia dikatakan termasuk shalih.
Ketiga, Imam al-Ghazaly membagi bentuk
riya’ dalam hal perkataan. Misalnya, selalu berbicara masalah keagamaan supaya
dikatakan orang bahwa ia ahli agama atau pecinta agama. Kalau jaman sekarang
bisa disamakan dengan update status yang diniatkan untuk pemer kepahaman.
Keempat, Imam al-Ghazaly memasukkan
bentuk riya’ dalam hal perbuatan. Misalnya nih, sengaja memperbanyak shalat
sunat di hadapan orang lain supaya dikatakan shalih. Padahal apabila sedang
sendiri malas-malasan ibadah sunnah.
Riya’ yang terakhir menurut Imam Al-ghazali
terakhir dalam pembagian riya’ menurut Imam al-Ghazaly, yakni riya’ dalam hal
persahabatan. Misalnya sengaja berteman dengan orang alim tapi diniatkan agar
orang menganggap dirinya alim.
Masihkah juga ingin narsis? Masih ingat kisah tentang seseorang? Beliau
tidak punya satupun media sosial. Namun beliau sangat eksis. Semua orang segan,
bila ada yang menghina banyak yang siap membela. Apa yang dilakukannya
menyejarah, apa yang dikatakannya jadi sunnah. Ya, dialah Rasulullah. Tanpa narsis, beliau
tetap eksis sampai kapanpun.
Jadi masih ingin eksis dengan narsis?
Sije
Masih belajar untuk tidak narsis tapi tetap eksis
Tidak ada komentar:
Write Comment