Credit here |
Kondisi
dalam negeri yang tidak menentu. Harga BBM yang naik tanpemberitahuan, cabai
pun enggak mau ketinggalan. Belum lagi beberapa isu yang menambah rame dunia
kontroversi di negeri ini. Mulai dari kapolri, hingga eksekusi pilkada DKI.
Saat
seperti ini memang paling enak dan mudah adalah mencari kambing hitam untuk
dikorbankan. Menyalahkan orang lain. Kamu yang salah, orang yang kamu pilih
yang berdosa, aku benar dan kami tidak ikut campur masalah ini. Begitu terus
sampai entah kapan berakhir.
Satu tidak
mau disalahkan, yang lain tidak mau mengkoreksi diri. Hanya berputar disana.
Jarang ada yang diam lalu mengevaluasi diri. Padahal tidak jarang, mereka yang
dengan mudah saling menyalahkan justru tidak paham betul dimana titik hitam
yang membuat bersengketa.
Sebuah
kebiasaan yang perlu kita teliti. Begitu mudahnya merasa benar dan
melihat orang lain salah. Sehingga apapun yang orang lain lakukan selalu hitam,
dan apapun yang mendukung pimikiran kita selalu putih. Padahal tidak selamanya
seperti, ada waktu disaat kita sebagai manusia salah menilai, begitu pula orang
lain. Bisa jadi salah menilai.
Seorang
teman pernah memberi nasehat.
“Benar
saudaramu yang salah?”
Nasehatnya
dimulai dengan sebuah pertanyaan. Membuat berpikir ulang, apa iya saudara kita
yang salah, atau kita salah menilai diri sendiri.
“Bagaimana
kalau ternyata kesalahan kita yang lebih besar dibadingkan kesalahannya?”
Pertanyaan
kedua membuat semakin berpikir.
“Bisa jadi
kesalahan kita sebesar gunung. Tapi
Allah perlihatkan jauh dari mata kita. Sedangkan kesalahan saudara kita
hanya selebar daun dan Allah letakkan di mata kita. Hingga menutupi pandangan.”
Bisa jadi
begitu, bisa jadi kesalahan orang lain hanya selembar daun yang menutup penglihatan
kita. Hingga yang terlihat hanya gelap sahaja. Sehingga kita tidak bisa melihat
gunung kesalahan kita. Allahu’alam.
Tidak ada komentar:
Write Comment