Puasa
kok manja!
Emang
kalau lihat postingan makanan puasamu batal?
Lho
yang puasa itu hormati yang tidak puasa dong!
Lha
kalau ada ramai-ramai di Bali, Nyepinya batal. Kalau kamu lihat warung makan
buka dan ramai, apa puasamu batal?
Halah,
jadi suami kok enggak tahu kewajibannya!
Jadi
istri kok durhaka, kewajiban enggak dijalankan!
Lho
kamu itu lho, hutang seratus ribu aja kok dipermasalahkan. Mbok diikhlasin. Aku
kan teman dekatmu.
Pernah
mendengar kalimat-kalimat tersebut? Atau minimal senada dengan hal itu?
Menjelang atau saat bulan puasa seperti ini kalimat itu sering terdengar. Umat
islam yang protes dengan fenomena warung buka sepanjang hari, bukan mendapat
simpati, namun dapat sindiran dari mana-mana, bahkan dari umat muslim sendiri.
Itu
tentang puasa. Suatu ketika saya pernah protes tentang kebijakan sebuah lembaga
tempat saya berkarya. Disana kami diwajibkan untuk memberi bimbingan belajar kepada
anak-anak. Dalam satu pekan harus masuk 3 kali. Artinya kalau waktu dalam
sepekan itu benar pas 4 pekan, kami akan mengajar sebanyak 12 kali. Namun
kalender masehi di Indonesia tidak selalu begitu, akhirnya tidak jarang dalam
satu bulan kami harus mengajar lebih dari 12 kali. Sering 14 atau 15 kali.
Tidak
ada masalah sebenarnya. Namun menjadi lucu kalau kemudian disampaikan kebijakan
searah tentang honor kelebihan mengajar ini, “Ya diikhlaskan saja”. Hmm…ada
yang minta disumbang begitu? Wait, ada
yang salah nih kayaknya. Bagaimana kalau ada yang berkarya disana memang diniatkan untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Bukankah uang sepuluh ribu atau dua puluh ribu begitu berarti baginya? Pun kalau akhirnya mengikhlaskan dan menyumbang, itu
bukankah dia sebagai relawan yang harusnya menyampaikan? Mengapa dibalik
begini sudut pandangnya?
Saya
menyadari tentang memilih sudut pandang dengan bijak ini ketika saya membaca
sebuah buku tentang pernikahan. Salah satu yang saya ingat adalah, seringnya
para istri itu mengingat kewajiban suaminya, dan terus menghitung haknya.
Sedangkan suami juga melakukan hal sama, mengingat-ingat kewajiban istrinya dan
terus menagih haknya. Mengapa tidak mengingat kewajiban sendiri dan hak orang
lain?
Ah iya
ya, mengapa bukan kita mengingat kewajiban yang harus kita lakukan saja dan menulis
hak orang lain yang belum kita sampaikan.
Kalau semua begitu, bukankah akhirnya hak orang lain tersampaikan, dan
kewajiban kita terselesaikan. Kalau dalam hal berkeluarga, suami menjalankan
kewajibannya hingga akhirnya membuat hak istri tersampaikan. Sedang si istri
menjalankan kewajibannya, yang bisa dikatakan kewajibannya adalah hak sang
suami. Bukankah itu menyenangkan. Tanpa harus saling mengungkit kewajiban orang
lain.
Itu
dalam hal berkeluarga, lalu bagaimana kalau dikaitkan dengan konteks beragama?
Sama. Kewajiban kita bukankah menghormati agama lain yang sedang beribadah.
Jadi masing-masing pemeluk agama berpikir untuk bagaimana menghormati pemeluk
agama lain. Sudut pandangnya ditempatkan dengan baik. Misalnya ada gereja di
suatu daerah yang berdampingan dengan rumah warga muslim yang sedang punya
hajatan. Padahal waktu itu di gereja sedang ada misa natal atau kegiatan yang
lainnya. Dari sudut pandang seorang
muslim, seharusnya adalah bagaimana caranya hajatan dilakukan tanpa
mengganggu prosesi ibadah yang sedang berlangsung. Misalnya dengan melakukan
keramaian usai acara misa selesai digelar. Bisa juga dengan tidak menggunakan
pengeras suara, sehingga tidak mengganggu prosesi ibadah yang sedang
berlangsung.
Begitu
juga ketika sedang berpuasa. Sudut
pandang seorang muslim adalah memahami bahwa selain umat islam yang sedang
berpuasa, ada umat lain yang butuh makan minum, artinya selama wajar, tidak
masalah ada yang makan atau minum. Lalu bagaimana dengan sudut pandang pemeluk
agama lain yang tidak berpuasa, atau bagi perempuan yang sedang berhalangan? Ya
menempatkan diri sesuai kondisi. Makan ditempat yang memang tidak banyak umat
islam berlalu lalang misalnya.
Bukankah
itu menyenangkan? Kita saling mengingat kewajiban. Bukan hak –meski sesekali
boleh juga. Bagi yang muslim dan sedang berpuasa tidak ngotot untuk dihargai,
sedang yang tidak berpuasa atau yang non muslim juga tahu kondisi. Ini berlaku
juga ketika agama lain sedang melakukan ibadah, misalnya Natal atau Nyepi. Kira-kira,
kapan ya Indonesia bisa begini (lagi)? Sama seperti dunia fotografi, untuk mendapatkan hasil yang cantik, bukahkah kita harus bisa memilah sudut dengan baik?
Tidak ada komentar:
Write Comment