Sabtu, Juni 02, 2018

Menyoal Sudut Pandang



Puasa kok manja!
Emang kalau lihat postingan makanan puasamu batal?
Lho yang puasa itu hormati yang tidak puasa dong!
Lha kalau ada ramai-ramai di Bali, Nyepinya batal. Kalau kamu lihat warung makan buka dan ramai, apa puasamu batal?
Halah, jadi suami kok enggak tahu kewajibannya!
Jadi istri kok durhaka, kewajiban enggak dijalankan!
Lho kamu itu lho, hutang seratus ribu aja kok dipermasalahkan. Mbok diikhlasin. Aku kan teman dekatmu.

Pernah mendengar kalimat-kalimat tersebut? Atau minimal senada dengan hal itu? Menjelang atau saat bulan puasa seperti ini kalimat itu sering terdengar. Umat islam yang protes dengan fenomena warung buka sepanjang hari, bukan mendapat simpati, namun dapat sindiran dari mana-mana, bahkan dari umat muslim sendiri.

Itu tentang puasa. Suatu ketika saya pernah protes tentang kebijakan sebuah lembaga tempat saya berkarya. Disana kami diwajibkan untuk memberi bimbingan belajar kepada anak-anak. Dalam satu pekan harus masuk 3 kali. Artinya kalau waktu dalam sepekan itu benar pas 4 pekan, kami akan mengajar sebanyak 12 kali. Namun kalender masehi di Indonesia tidak selalu begitu, akhirnya tidak jarang dalam satu bulan kami harus mengajar lebih dari 12 kali. Sering 14 atau 15 kali.

Tidak ada masalah sebenarnya. Namun menjadi lucu kalau kemudian disampaikan kebijakan searah tentang honor kelebihan mengajar ini, “Ya diikhlaskan saja”. Hmm…ada yang minta disumbang begitu? Wait, ada yang salah nih kayaknya. Bagaimana kalau ada yang berkarya disana memang diniatkan untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Bukankah uang sepuluh ribu atau dua puluh ribu begitu berarti baginya? Pun kalau akhirnya mengikhlaskan dan menyumbang, itu bukankah dia sebagai relawan yang harusnya menyampaikan? Mengapa dibalik begini sudut pandangnya?

Saya menyadari tentang memilih sudut pandang dengan bijak ini ketika saya membaca sebuah buku tentang pernikahan. Salah satu yang saya ingat adalah, seringnya para istri itu mengingat kewajiban suaminya, dan terus menghitung haknya. Sedangkan suami juga melakukan hal sama, mengingat-ingat kewajiban istrinya dan terus menagih haknya. Mengapa tidak mengingat kewajiban sendiri dan hak orang lain?

Ah iya ya, mengapa bukan kita mengingat kewajiban yang harus kita lakukan saja dan menulis hak orang lain yang belum kita sampaikan.  Kalau semua begitu, bukankah akhirnya hak orang lain tersampaikan, dan kewajiban kita terselesaikan. Kalau dalam hal berkeluarga, suami menjalankan kewajibannya hingga akhirnya membuat hak istri tersampaikan. Sedang si istri menjalankan kewajibannya, yang bisa dikatakan kewajibannya adalah hak sang suami. Bukankah itu menyenangkan. Tanpa harus saling mengungkit kewajiban orang lain.

Itu dalam hal berkeluarga, lalu bagaimana kalau dikaitkan dengan konteks beragama? Sama. Kewajiban kita bukankah menghormati agama lain yang sedang beribadah. Jadi masing-masing pemeluk agama berpikir untuk bagaimana menghormati pemeluk agama lain. Sudut pandangnya ditempatkan dengan baik. Misalnya ada gereja di suatu daerah yang berdampingan dengan rumah warga muslim yang sedang punya hajatan. Padahal waktu itu di gereja sedang ada misa natal atau kegiatan yang lainnya. Dari sudut pandang seorang muslim, seharusnya adalah bagaimana caranya hajatan dilakukan tanpa mengganggu prosesi ibadah yang sedang berlangsung. Misalnya dengan melakukan keramaian usai acara misa selesai digelar. Bisa juga dengan tidak menggunakan pengeras suara, sehingga tidak mengganggu prosesi ibadah yang sedang berlangsung. 

Begitu juga ketika sedang berpuasa. Sudut pandang seorang muslim adalah memahami bahwa selain umat islam yang sedang berpuasa, ada umat lain yang butuh makan minum, artinya selama wajar, tidak masalah ada yang makan atau minum. Lalu bagaimana dengan sudut pandang pemeluk agama lain yang tidak berpuasa, atau bagi perempuan yang sedang berhalangan? Ya menempatkan diri sesuai kondisi. Makan ditempat yang memang tidak banyak umat islam berlalu lalang misalnya.

Bukankah itu menyenangkan? Kita saling mengingat kewajiban. Bukan hak –meski sesekali boleh juga. Bagi yang muslim dan sedang berpuasa tidak ngotot untuk dihargai, sedang yang tidak berpuasa atau yang non muslim juga tahu kondisi. Ini berlaku juga ketika agama lain sedang melakukan ibadah, misalnya Natal atau Nyepi. Kira-kira, kapan ya Indonesia bisa begini (lagi)? Sama seperti dunia fotografi, untuk mendapatkan hasil yang cantik, bukahkah kita harus bisa memilah sudut dengan baik?

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment