Credit: Pinterest |
Lahir dan besar di suatu daerah yang
cukup jauh dari kota membuat saya lebih banyak akrab dengan ‘alam’. Saya
menghabiskan masa kecil di sawah bersama lumpur, naik pohon –dari pohon jambu
hingga lamtoro yang tumbuh doyong ke sungai, ciblon dari pagi sampai sore,
berburu ikan, menyuluh burung puyuh malam-malam, sampai tidur di atas punggung
sapi hingga sekian jam. Lebih ekstrim dari itu, saya pernah manjat pohon buah
(lupa nama buahnya apa) di kuburan. Ah iya, pernah juga manjat tower sutet
(dulu pernah bercita-cita bisa sampai atas haha). Dan semua menjadi aneh ketika
masuk kuliah, saya menemui kenyataan bahwa sebagian besar perempuan itu,
dandan! Hell! Wuopo iki!?
Bukan berarti saya tidak bisa dandan.
Saya pernah pakai lipstik kok. Ya paling enggak 4 kali selama hidup. Pertama
saat SD (atau TK ya?) karena diminta baca Pancasila di panggung perayaan
kemerdekaan. Kedua waktu SMP saat nyanyi
di perpisahan. Ketiga dan keempat saat wisuda sarjana dan master. Pernah juga
luluran dan maskeran. Ya meski setiap beli masker di tukang jamu Pasar
Bringharjo, paling hanya dipakai sekali atau dua kali, lalu kadaluarsa karena
tersimpan di lemari. Haha! Hmm lotion? Pelembab? Bedak? Punya. Masih cukup
perempuan kan? *maksa.
Tapi apa iya menjadi perempuan itu
begitu? Apa iya perempuan itu di definisikan sebagai makhluk yang lemah lembut,
pintar dandan, jago masak, tidak kepleset kalau pakai heels, manutan, nrimonan,
enggak kebanyakan protes, dan segudang karakter lain. Apakah sefana itu?
Belum lagi stereotype gender yang terus membingkai perempuan dalam
kodrat-kodrat yang bisa jadi itu hanya adat. Perempuan itu nriman, konco wingking, tidak elok kalau keluar rumah. Alih-alih
menuntut ilmu tinggi hingga luar negeri, mengisi training dihadapan lawan jenis
saja banyak sekali yang mengecam.
Lalu apa kabar saya yang sejak kelas XI
SMA sudah memimpin pasukan pramuka? Yang kalau menyiapkan pasukkan harus teriak
sampai manusia satu lapangan dengar semua. Eh sejak SD malah. Juga berkali-kali
mengisi acara dimana pesertanya campur antara perempuan dan laki-laki. Jadi
saya tidak cukup perempuan nih? Sudah pakai rok kemana-mana lho ini. Jilbab
juga segede taplak gini. Pakai kaos kaki, dan insyaAllah menutupi aurat sesuai dengan aturan yang sudah
disepakati.
Padahal, kalau lihat sirah shahabiyah,
ambil deh Khadijah. Beliau itu juragan, bawahannya banyak yang laki-laki. Siapa
yang berani bilang kalau Khadijah kurang perempuan? Atau Aisyah, yang pernah
juga berbagi kisah hidup Rosulullah kepada para sahabat Nabi, usai Nabi
Muhammad SAW wafat. Oke, memang tidak semua shabiyah seperti Khadijah RA atau Aisyah RA, tapi bukan berarti perempuan juga semuanya harus seperti Fatimah RA, atau Maryam kan?
Artinya, tidak bisakah kita mengembalikan
batas definisi antara laki-laki dan perempuan itu kepada paugeran aslinya. Bahwa perempuan itu bukan lagi tentang dapur,
sumur, dan kasur. Tentang dapur sendiri, banyak sekali riwayat yang menjelaskan
bahwa sebenarnya tugas menyiapkan segala rupa makanan itu adalah tugas
laki-laki. No, ini bukan tentang laki-laki melayani perempuan, tapi lebih
kepada laki-lakilah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa-apa
yang masuk ke mulut keluarganya.
Tidak bisakah juga kita melihat perempuan
sebagai pribadi yang utuh. Sebagai manusia, yang tidak dinilai dari fisiknya,
tapi dari apa yang ada di otaknya. Sama seperti laki-laki yang juga tersinggung
kalau dinilai dari tebalnya dompet, perempuan juga risih kalau dinilai dari
mulusnya wajah. Minimal, nilai dia dari berapa banyak hafalan, atau berapa
banyak sertifikat penghargaan.
Agar apa? Agar tidak ada lagi yang
membuat batasan bahwa perempuan sejati adalah yang begitu dan begini. Agar kita
sebagai manusia bisa dinilai sebagai manusia seutuhnya. Bukan tentang polesan
dunia yang nilainya tak seberapa. Tapi sebanyak apa manfaat untuk sesama dan
bekal untuk kehidupan yang kedua.
Sije
Bulaksumur,18 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Write Comment