Senin, Februari 18, 2019

Menjadi Orang Lain



Credit: Pinterest
Pernah terpikir untuk menjadi orang lain? Sebagai perempuan yang rasanya tidak cukup perempuan, saya sering kali terpikir hal tersebut. Merasa diri tidak cukup layak disebut perempuan. Tidak sholihah. Jauh dari lembut. Cantik? Hmm dikitlah ya. Hehe. Pinter masak? Ya paling enggak cukup aman dan enggak bikin orang keracunan. Masih alhamdulillah saya terlahir dengan warna kulit yang ya lumayan cerahlah. Masih agak menolong untuk menjadi cantik versi orang Indonesia.

Lahir dan besar di suatu daerah yang cukup jauh dari kota membuat saya lebih banyak akrab dengan ‘alam’. Saya menghabiskan masa kecil di sawah bersama lumpur, naik pohon –dari pohon jambu hingga lamtoro yang tumbuh doyong ke sungai, ciblon dari pagi sampai sore, berburu ikan, menyuluh burung puyuh malam-malam, sampai tidur di atas punggung sapi hingga sekian jam. Lebih ekstrim dari itu, saya pernah manjat pohon buah (lupa nama buahnya apa) di kuburan. Ah iya, pernah juga manjat tower sutet (dulu pernah bercita-cita bisa sampai atas haha). Dan semua menjadi aneh ketika masuk kuliah, saya menemui kenyataan bahwa sebagian besar perempuan itu, dandan! Hell! Wuopo iki!?

Bukan berarti saya tidak bisa dandan. Saya pernah pakai lipstik kok. Ya paling enggak 4 kali selama hidup. Pertama saat SD (atau TK ya?) karena diminta baca Pancasila di panggung perayaan kemerdekaan. Kedua waktu  SMP saat nyanyi di perpisahan. Ketiga dan keempat saat wisuda sarjana dan master. Pernah juga luluran dan maskeran. Ya meski setiap beli masker di tukang jamu Pasar Bringharjo, paling hanya dipakai sekali atau dua kali, lalu kadaluarsa karena tersimpan di lemari. Haha! Hmm lotion? Pelembab? Bedak? Punya. Masih cukup perempuan kan? *maksa.

Tapi apa iya menjadi perempuan itu begitu? Apa iya perempuan itu di definisikan sebagai makhluk yang lemah lembut, pintar dandan, jago masak, tidak kepleset kalau pakai heels, manutan, nrimonan, enggak kebanyakan protes, dan segudang karakter lain. Apakah sefana itu?

Belum lagi stereotype gender yang terus membingkai perempuan dalam kodrat-kodrat yang bisa jadi itu hanya adat. Perempuan itu nriman, konco wingking, tidak elok kalau keluar rumah. Alih-alih menuntut ilmu tinggi hingga luar negeri, mengisi training dihadapan lawan jenis saja banyak sekali yang mengecam.

Lalu apa kabar saya yang sejak kelas XI SMA sudah memimpin pasukan pramuka? Yang kalau menyiapkan pasukkan harus teriak sampai manusia satu lapangan dengar semua. Eh sejak SD malah. Juga berkali-kali mengisi acara dimana pesertanya campur antara perempuan dan laki-laki. Jadi saya tidak cukup perempuan nih? Sudah pakai rok kemana-mana lho ini. Jilbab juga segede taplak gini. Pakai kaos kaki, dan insyaAllah menutupi aurat sesuai dengan aturan yang sudah disepakati.

Padahal, kalau lihat sirah shahabiyah, ambil deh Khadijah. Beliau itu juragan, bawahannya banyak yang laki-laki. Siapa yang berani bilang kalau Khadijah kurang perempuan? Atau Aisyah, yang pernah juga berbagi kisah hidup Rosulullah kepada para sahabat Nabi, usai Nabi Muhammad SAW wafat. Oke, memang tidak semua shabiyah seperti Khadijah RA atau Aisyah RA, tapi bukan berarti perempuan juga semuanya harus seperti Fatimah RA, atau Maryam kan?

Artinya, tidak bisakah kita mengembalikan batas definisi antara laki-laki dan perempuan itu kepada paugeran aslinya. Bahwa perempuan itu bukan lagi tentang dapur, sumur, dan kasur. Tentang dapur sendiri, banyak sekali riwayat yang menjelaskan bahwa sebenarnya tugas menyiapkan segala rupa makanan itu adalah tugas laki-laki. No, ini bukan tentang laki-laki melayani perempuan, tapi lebih kepada laki-lakilah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa-apa yang masuk ke mulut keluarganya.

Tidak bisakah juga kita melihat perempuan sebagai pribadi yang utuh. Sebagai manusia, yang tidak dinilai dari fisiknya, tapi dari apa yang ada di otaknya. Sama seperti laki-laki yang juga tersinggung kalau dinilai dari tebalnya dompet, perempuan juga risih kalau dinilai dari mulusnya wajah. Minimal, nilai dia dari berapa banyak hafalan, atau berapa banyak sertifikat penghargaan.

Agar apa? Agar tidak ada lagi yang membuat batasan bahwa perempuan sejati adalah yang begitu dan begini. Agar kita sebagai manusia bisa dinilai sebagai manusia seutuhnya. Bukan tentang polesan dunia yang nilainya tak seberapa. Tapi sebanyak apa manfaat untuk sesama dan bekal untuk kehidupan yang kedua.

Sije

Bulaksumur,18 Februari 2019

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment