Credit: Pinterest |
Sebagai perempuan yang masih berstatus single happy, saya
beberapa kali ‘survey’ kepada teman-teman perempuan saya, tentang menggenap. Pertanyaan random
gitu. Mulai dari bagaimana perempuan (istri) yang ideal, hingga kriteria suami
seperti apa yang mereka idamkan. Kadang kalau oke, saya contoh juga. Lumayan
kan jadi referensi. Haha! Enggak ding! Bercanda.
Sebenarnya saya ingin bertanya juga versi kebalikannya. Dari
sisi laki-laki bagaimana sih. Tapi semakin ke sini saya justru semakin tidak
berani. Khawatir dikira lempar kode. Siapalah saya, mana berani lempar kode
segala.
Nah bicara tentang kriteria. Ehem. Dilarang baper dan mikir
tidak-tidak ya gaes. Sungguh saya sedang baik-baik saja. Kalau pun agak error,
saya sebenarnya hanya sedang pusing mikir ide tulisan apalagi buat memenuhi
kuota 60 tulisan setiap bulan. Biar gajianya bisa buat jalan-jalan. Kembali ke
kriteria, kadang saya kalau usilnya kambuh (hem sering kambuhnya sih), ketika
ada orang bertanya, “Kapan nikah?”, tanpa ragu saya akan bilang, “Sini bawain
calon. Kalau oke, besok juga boleh.” Jiakaka. Tapi mereka juga enggak kalah
usil sih. “Hem.. nyariin buat kamu tuh susah,”. Dih, minta dilempar sanggul
mereka tuh, nanya kriteria aja nggak pernah, tapi bilang susah.
Bicara tentang kriteria, saya menemukan banyak (atau boleh
disebut beberapa) perempuan yang justru bingung ketika ditanya. Paling mentok
jawabannya adalah sholih dan tidak merokok. Padahal kata ‘sholih’ sendiri kan
bisa dijabarkan dalam berbagai definisi. Saya mungkin justru takut dengan
mereka yang lurus banget, mengharamkan musik, anti bioskop, ngomongnya pakai
ana-antum. Tapi bagi sebagian lain, justru yang begitu itu yang gebetable. Atau bisa jadi ada yang takut
dengan mereka yang tampilannya macam enggak mandi tiga hari, ngomong seenaknya
(masih dalam koridor sopan santun), juara usil tingkat kabupaten, rada urakan
tapi kalau tahajud nangisan, suka nonkrong di warung kopi, tapi masih cinta
sama ibu dan NKRI. Sedangkan, bagi manusia semacam saya, bentuk-bentuk begini
ini lucu sekali.
Nah kan, bisa berbagai macam arti kan. Maka disinilah
perlunya menuliskan detail sholih itu seperti apa. Hal ini berlaku pula untuk
sebaliknya (sholihah itu seperti apa). Bahkan ketika sudah sangat detail sekali
pun, banyak juga ‘mak comblang’ yang salah paham. Tentang ini kapan-kapan deh
saya tulis terpisah.
Lalu? Ada tips apa Je?
Begini, ketika ingin pergi ke sebuah tempat, dan di terminal
ada dua bus, satu ekonomi dan satu eksekutif AC, mau pilih yang mana?
Kondisinya sedang punya uang berlebih nih. Bisa beli tiket keduanya? Pilih yang
eksekutif AC karena nyaman? Atau pilih yang ekonomi karena enggak tahan dengan
dinginnya AC?
Kalau saya, pilih yang tujuannya sesuai dengan tempat yang
akan saya kunjungi. Kalau memang diantara dua bus tadi tujuannya berbeda dengan
saya, ya saya tidak ikut naik. Tunggu bus selanjutnya. Get the poin? Jadi disinilah
pentingnya mengenali diri. Mau ngapain aja sih selama hidup ini. Sekedar ikuti
air mengalir? Ngikut arus weh enggak
perlu mikir pusing? Padahal hanya ikan mati lho yang ikut aliran air.
Saya beberapa kali menemukan teman-teman hebat saya tidak menjadi
apa-apa setelah menikah. Entah mengapa, tapi bisa jadi karena dia salah memilih
bus tadi. Namun bisa jadi karena sebab lain. Sayangnya, menikah tidak sesimple
naik bus yang ketika kita sadar bahwa kita salah tujuan, maka kita bisa turun
di tengah jalan. Lebih rumit. Apabila ingin mengembalikan ke tujuan yang kita
inginkan, kita harus bisa menjadi supir bus. Mengendalikan arah laju, yang
tentunya butuh kemampuan khusus. Jauh lebih penting lagi adalah, mampu
mengarahkan penumpang yang ada di belakang kita untuk mau mengamini dan
mengikuti tujuan kita. Lalu sebagai perempuan yang hidup di Negara yang kental
akan patriarkinya, menjadi supir bus tentu bukan pilihan mudah untuk diambil.
Ada yang harus ditaati bukan?
Jadi harus bagaimana Je?
Sudah kenalan dengan dirimu sendiri? Mau kemana? Mau dikenal
sebagai orang seperti apa? Mau bermanfaat seluas apa? Lalu dengan segala yang
sudah tertulis itu, kira-kira orang seperti apa yang bisa membantumu? Minimal
ketika dia tidak bisa mendukung banyak, dia tidak melarang. Ini penting untuk
perempuan. Sebab setelah terikat, maka ada kepatuhan kepada manusia yang hanya
boleh dilanggar ketika dia sudah tidak takut dengan Tuhannya.
Sije
Arumdalu, 16 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Write Comment