Rabu, Februari 10, 2021

Membaca Perjalanan Lima Tahun Sate Ratu


 

Honestly, saya bukan orang yang tertarik dunia bisnis. Entreprenur, usaha, dan semacamnya bukan hal yang menarik bagi saya. Dulu saya pernah sih punya usaha, namun karena  rame-rame, akhirnya goncang dan ambruk di tengah jalan. Sejak itu saya memilih dunia yang pasti-pasti saja. Sebab ‘traumatis’ ini, akhirnya membuat saya selalu menyingkirkan buku-buku bisnis dari list bacaan. Males aja gitu baca buku bisnis yang kadang isinya nggak lebih dari motivasi-motivasi yang rada-rada omong kosong. Subyektif banget ya paragraph pembukanya.


Hingga akhirnya, beberapa waktu lalu seorang kawan memberikan sebuah buku. Judulnya ‘Kok Bisa Gitu?’. Dari judulnya tidak terbayang isinya apa ya? Duh naluri editor muncul nih. Namun setelah saya baca, saya menemukan banyak ilmu (teori maupun teknis) tentang bisnis, yang dituliskan dengan gaya cerita.


Pernah membaca buku Sokola Rimba-nya Butet Manurung? Atau Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie? Nah buku ini mirip-mirip seperti itu meskipun tidak sedetil dua buku di atas. Apabila Butet dan Gie menuliskan hingga detil tanggalnya, Budi –Fabian Budi Seputro, menuliskan kisah perjalanan sesuai tahun.


Budi –begitu ia biasa disebut, adalah owner Sate Ratu. Saya pernah mereview produknya beberapa waktu lalu. Bagi pecinta sate yang berdomisili di Jogja, saya yakin sudah pernah mendengar atau bahkan mencicipi produk dari brand ini. Berbeda dengan sate kebanyakan, menu yang disuguhkan Sate Ratu memiliki cita rasa yang unik dank has. Tapi, kali ini saya tidak akan membahas hal ini lagi. Saya justru ingin sedikit berceita –menceritakan kembali, perjalanan Sate Ratu dari titik awal, hingga saat ini. Saya tentu tidak akan menceritakan semuanya. Biar pada penasaran, lalu baca bukunya, terus icip satenya. Hehe.


Bagi yang sedang belajar bisnis atau lebih tepatnya manajemen bisnis, buku ini oke banget kalaumau dijadikan referensi. Pada bagian awal, Budi menceritakan kisahnya membangun brand Sate Ratu. Dari awalnya merupakan bisnis bersama lalu satu persatu partner-nya memilih mundur. Lalu tinggal ia dan istrinya yang berjuang membesarkan ‘anak’. 

 

Saya memiliki beberapa momen ‘aha’ saat membaca buku ini. Pada part awal, momen aha saya adalah saat Budi menceritakan betapa menggemaskannya proses memilih staff. Bukan sekedar memilih orang saja, namun sepaket dengan isi kepalanya, attitudenya, hingga keluarganya. Lho kok keluarga? Yes, sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat yang selalu ikut riweh kalau saudaranya bahkan tetangganya punya gawe, ternyata ini berpengaruh sekali dalam hal performa kerja. Di sisi lain, ketika memilih orang yang sudah beres semuanya, jarang individu yang seperti ini mau bekerja di tempat ‘rendah’.


Momen aha lain saat Budi menceritakan pelanggan-pelanggan yang pernah mampir ke Sate Ratu. Beberapa loyal, kalau beli bisa sampai berkotak-kotak. Namun ada juga yang ajaib. Dari yang minta refil nasi putih berkali-kali dengan porsi sedikit (biar tidak terkena tagihan tambahan), hingga yang minta refil gratisan. Waks!


Namun di luar kisah-kisah yang pabalidut itu, Budi juga menceritakan perjuangannya membesarkan brand Sate Ratu. Memilih strategi bisnis yang sesuai visi. Memilih lokasi yang tepat. Memilah pelatihan UKM yang worth it. Hingga memilih lomba kuliner mana yang sesuai dengan brand Sate Ratu. Hal-hal yang kadang diabaikan oleh usaha yang baru berdiri. Saking semangatnya bertumbuh, semua kesempatan dicoba. Padahal beberapa diantaranya tidak sesuai dengan target jangka panjang bisnis yang sedang dirintis.


So, buat pembaca yang sedang belajar merintis bisnis, atau sedang di puncak bisnis, buku ini worth it untuk dibaca Agar tidak goyah dalam semangat. Juga tidak gampang berpuas karena smeua ucapan selamat.

 

Sije

Arumdalu, 10 Februari 2021

 

Rabu, Februari 03, 2021

Surat Wasiat

 

Percaya nggak kalau lima tahun lalu saya pernah membuat surat wasiat? Isinya tentu saja ala-ala. Waktu itu masih mahasiswa. Jangankan takhta, harta saja tak puinya. Isi surat wasiat tersebut adalah password semua media sosial dan pin ATM. Serta hutang dan pinjaman buku yang belum saya kembalikan waktu itu. Karena waktu itu belum berpasangan, maka surat wasiat itu saya berikan kepada kawan baik saya.


credit: detik travel

Waktu itu pikiran saya simple, kekayaan saya ya tulisan saya. Tulisan-tulisan yang tersebar di media sosial, blog pribadi, dan website-website tempat saya dulu pernah bekerja. Beberapa mungkin akan memberatkan timbangan amal, namun ada beberapa yang sombong nan songong. Kadang saya memang tidak bisa membedakan mana tengil, mana sombong. Itulah kenapa saya butuh orang-orang yang berani nabok kalau saya keterlaluan.


Inisiatif menulis surat wasiat ini sebenarnya berawal dari kekepoan saya. Beberapa kali ketika mendengar atau membaca kabar meninggalnya seseorang, hal pertama yang saya lakukan adalah membuka laman media sosial mereka. Saya penasaran saja, bagaimana si mayit melalui hidupnya. Tidak ada niat buruk sebenarnya. Hanya ingin tahu. Cukup. Namun kadang saya keponya kejauhan. Hal ini kemudian membuat saya berpikir, kalau saya meninggal kelak, jangan-jangan orang-orang juga ngepoin media sosial saya. Terus mereka komentar, “Oh Sije, yang tengil itu”. Ah malunya. Bukan sholihahnya yang diingat (ya emang belum sholihah sih). Atau malah mungkin, “Oh Sije, yang galak itu kan?”. Ew..ingat saya dalam hal yang baik-baik saja ya, fans. #eh.


Hari ini, saat saya menuliskan senandika ini, dunia sedang tidak baik-baik saja. Kabar duka hampir setiap hari terdengar. Saya benci sekali. Gini-gini, meski galak saya itu memblenan. Nangisan kalau ada kabar buruk. Belum lama ini saya membaca berita seorang laki-laki meninggal di taksi setelah ditolak lebih dari 10 rumah sakit rujukan covid. Juga ulama-ulama, habib-habib, yang Allah minta untuk pulang dalam waktu yang berdekatan. Ditambah dengan berita kecelakaan pesawat di perairan Kepulauan Seribu. Ah bencinya saya dengan kabar-kabar seperti ini. Tapi, bukankah takdir Allah selalu yang paling baik dari takdir-takdir baik?


Usai semua kabar ini, rasa-rasanya tidak berlebihan kalau saya kembali menulis surat wasiat. Menulis ulang. Memperbarui. Sebelum panggilan pulang itu datang.

Sije

Arumdalu, 19 Januari 2021

 

Merdeka dari Kemelekatan Benda


Saya tidak menemukan kata lain yang dapat mendefinisikan apa yang ada di kepala saya selain ‘kemelekatan’. Ini semacam keinginan untuk memiliki, namun bukan. Tapi rasa ingin terikat dengan benda-benda yang sudah dimiliki, serta terus ingin menambah koleksi. Nah, kurang lebih seperti ini.


Saya tipe manusia yang mudah meletakkan emosi pada sebuah benda. Apa saja. Misalnya ketika mengikuti sebuah kegiatan, saya bisa dengan senang hati menyimpan co-card peserta selama bertahun-tahun ketika saya tersentuh dengan kegiatan itu. Pernah suatu ketika saya menemukan sebuah ‘harta’ ketika saya membongkar barang-barang lama. Dari cocard saat saya jadi bantara ketika SMA, hingga pin jaman saya masih jadi pengurus Rohis SMA. Sebagai catatan, saya menemukannya setelah saya lulus pasca sarjana. Lebih tepatnya satu tahun setelahnya. Waks! Kebayang buluknya seperti apa benda-benda tersebut?


Selain barang-barang yang mengandung bawang –kenangan, saya (dulu) juga senang sekali mengkoleksi buku-buku. Saya hampir tidak pernah absen ketika ada pameran buku di Jogja. Sebagai gambaran, Jogja itu surganya pameran buku. Setiap tiga bulan sekali bisa dipastikan ada pameran buku islami. Belum lagi gramedia, toga mas, dan penerbit kompas yang juga kerap menyelenggarakan pameran buku. Satu lagi, ada yang namanya Pasar Kangen di Jogja. Di sana, kita bisa menemukan berbagai macam benda-benda unik dan berumur, dari mainan, aksesoris, dan tentu saja buku. Terbayang, kira-kira sebanyak apa buku saya? Sebelum kejadian menyortir yang sudah saya sedikit ceritakan di atas, saya menyimpan setidaknya lima box dan 4 kardus buku. Ini buku semua, belum lagi barang-barang lainnya. Terbayang sesesak apa kamar dan pikiran saya.


Hingga akhirnya saya menemukan beberapa artikel yang menyentil saya, salah satunya berjudul, ‘goodbye things’. Usai membaca itu, saya kemudian terpikir, ‘nah iya ya, untuk apa saya menyimpan benda-benda ini?’. Berubah memang tidak bisa dengan sekali hentakan ya. Saya kemudian mulai menyortir barang-barang koleksi peninggalan sejarah saya selama hidup. Ronde pertama saya behasil membuang setengah dari koleksi tersebut. Apa saja isinya?


Selain benda-benda penuh kenangan –yang ternyata banyak sekali, saya juga menyingkirkan buku-buku kuliah S1. Ya meski sampai sekarang saya masih menyimpan sebagian besar darinya, namun hampir 2/3 simpanan saya akhirnya saya lepaskan. Hasil sortir ini kemudian membuat harta karun saya hilang setengahnya.


Rasanya? Lega! Selain tempat tinggal jadi lebih lega, ada rasa dalam jiwa yang sedikit plong. Pernah patah hati lalu potong rambut pendek nggak? Nah, persis! Enteng! Jadi ada tempat buat hal-hal baru lainnya. Saya kemudian berhenti sejenak. Cinta dunia utamanya buku masih menjadi raja. Sampai akhirnya awal tahun ini, saya kembali menguji kadar kemelekatan saya terhadap benda-benda.


Dulu, saya pernah ingin membuat perpustakaan. Maka, semua buku yang bagus –dan nampaknya bagus serta murah, saya borong semuanya. Padahal kantong mahasiswa. Cita-cita saya simple waktu itu, punya rumah di pinggiran kota dengan halaman yang cukup untuk membuka perpustakaan dan bimbingan belajar gratis untuk anak-anak di sekitar. Namun ternyata Allah berkata lain, hingga tahun 2021, hal ini tak kunjung terwujud –atau mungkin saya yang kurang keras berusaha. Akhirnya buku-buku tersebut menumpuk. Terawat dengan baik tentu saja. Namun tidak (belum) menjadi manfaat.


Honestly, saya jadi merasa memiliki beban. Buku-buku yang bisa jadi menjadi manfaat untuk orang lain, justru tertahan di kolong ranjang. Berdebu pula. Hish!


Mengalahkan rasa malas, dan ikatan emosional dengan buku, saya membongkar ulang simpanan harta karun saya. Setidaknya ada lima box ukuran 45 liter yang terisi penuh buku dan satu lemari belajar yang penuh dengan buku-buku bacaan.


Selama proses sortir, perasaan seperti,

‘ih bagus ini’

‘wah ini kan yang menulis si ini’

‘hmm dulu mau beli buku ini pakai nabung dulu’

Dan seterusnya, terus terbayang. Hih! Emang ya. Godaan saat ingin melangkah kepada kebaikan itu adaaa ajaa. Saya akhirnya menemukan cara baru untuk sortir. Saya hanya akan menyimpan buku pemberian orang (dan bagus) serta buku yang rekomended untuk anak-anak saya kelak. Saya yang biasanya penuh perasaan saat sedang mengurus buku, mendadak menjadi tega sekali. Prinsip saya satu, ‘apa yang bisa disumbangkan, sumbangkan. Apa yang bisa dibuang, buang!’


Tara! Dari lima box buku bacaan, tinggal 1 box saja. Empat box lainnya saya hibahkan. Bisa ya melepas ‘anak’ dengan semudah itu? Jujur saja tidak. Sampai saya menuliskan tulisan ini, saya masih kerap kali ingat anak-anak saya itu. Tapi saya senang, setidaknya mereka bermafaat untuk orang lain, dan saya bisa mengurai kemelekatan saya terhadap benda-benda. Itung-itung mengasah diri agar tidak terlalu cinta dunia, ye kan.


Dulu, setiap melihat tumpukan buku, saya selalu takut (dan senang). Takut kalau suatu saat, belum mampu menjadikan buku-buku ini manfaat untuk orang lain, sudah diminta untuk ’pulang’. Terus sampai ‘rumah’, ditanya, apa manfaat dari waktu serta benda-benda yang saya beli selama hidup.

Sije

Arumdalu, 20 Januari 2021

Ironi di Serpihan Surga Bumi Gora

Awalnya saya mau cerita, proses perjalanan saya  bisa sampai ke Lombok dengan gratis lengkap dengan bonus belajar pengalaman baru nan seru. Namun saya belum dapat emosinya. Sudah menulis sekian paragraf, tapi rasanya lempeng sekali. Jadi, untuk memancingnya, saya akan awali dengan tulisan ini.

Tahun 2018 sepertinya tahun hoki bagi saya. Dapat tawaran job tanpa mencari. Menang lomba berkali-kali, hingga akhirnya Allah beri kesempatan untuk masuk ke dunia literasi yang baru. Naik level. Saya nggak akan cerita bagaimana proses di dalamnya. Nanti saja di artikel satunya. Di sini saya ingin cerita sisi yang lainnya.

Pertama kali ke Lombok kalau tidak salah bulan Oktober 2018. Dalam rangka riset bahasa untuk pembuatan buku bacaan anak. Ini adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Bumi Gora –yang Alhamdulillah kemudian nanti diikuti injakan berikutnya. Jujur, rasanya aneh. Manusia Jogja yang terbiasa lalu lalang kendaraan, bahkan bandaranya saja di tengah kota (YIA belum jadi waktu itu), kaget saat landing di LIA, Lombok Tengah.

Saya di Air Terjun Benang Stokel


Sepanjang garis memanjang hanya terlihat pantai. Pun begitu sudah sampai di bandara, sepi sekali. Begitu keluar dari pintu keluar, yang terlihat hanyalah hamparan sawah. Satu yang unik –yang saya sadari saat penerbangan kembali ke Jogja, di ‘halaman’ bandara, terdapat banyak ruang terbuka hijau yang boleh dikunjungi siapa saja –setidaknya sampai akhir 2019 masih begitu. Ini kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk piknik. Banyak yang duduk-duduk menggelar tikar sambil makan bersama. Awalnya saya kira mereka adalah keluarga yang menjemput keluarganya. Tapi kok banyak sekali, ternyata mereka piknik. Setidaknya itu yang saya dengar dari supir yang antar jemput saya waktu itu.

Jarak dari bandara ke pusat kota kurang lebih 1 jam menggunakan mobil. Jauh ya? Iya. Bagi yang pertama kali ke Lombok dan sendirian, saya sarankan cari penerbangan yang landingnya pagi atau siang. Kalau dari Jogja, hanya ada 1 pilihan, ambil penerbangan transit Jakarta. Memang kenapa? Tidak aman? Tidak juga. Jadi sepanjang perjalanan dari bandara ke pusat Kota Mataram akan lebih banyak melewati persawahan, kecuali kalau sudah masuk kota. Ini pun jangan dibayangkan seramai pusat kota Jogja atau Jakarta. Tapi nggak apa. Semua kan terbayarkan ketika sudah menginjkkan kaki di pantai, air terjun, juga desat adat. Sungguh!

Saya tidak akan cerita soal hotel yang saya singgahi selama di sana. Ya hotel mah gitu-gitu aja kan. Saya justru ingin cerita rasa emosional yang saya rasakan ketika ‘keliling’ wilayah Lombok Tengah. Mengapa hanya Lombok Tengah? Sebab project saya hanya untuk Lombok Tengah saja.

Namun konon Lombok Tengah ini bisa dianggap mewakili kondisi Lombok yang mulai merangkak maju karena ada Bandara LIA (Lombok International Airport). Pada kunjungan pertama, selama 3 hari di Lombok tengah, tugas saya –kami lebih tepatnya, adalah ‘jalan-jalan’. Now you know why I love this job. Yuhuy!

Kami semua, setidaknya harus mengunjungi 19 sekolah (dibagi 2 tim). Sebagai manusia yang selama ini ‘makan’ dari jalan-jalan semacam ini, bagi saya ini sangat menyenangkan. Saya ingat betul, sekolah pertama yang saya kunjungi berada di pinggir jalan besar. Tidak jauh dari warung nasi balap puyung Inaq Esun. Kalau ke Lombok, wajib banget mampir ke warung ini. Part ini akan saya ulas panjang di artikel lain.

Tidak ada yang special dari sekolah ini sebenarnya. Sama halnya dengan sekolah lain yang berada di pinggiran kota lainnya. Cukup maju. Bangunan baru. Setidaknya itu yang saya lihat ketika dibandingkan dengan bangunan sekolah lain yang saya temui. Satu yang khas adalah, bentuk gerbangnya. Tapi sayangnya saya nggak ambil gambar. Hyahh sayang sekali. Selain itu, yang khas lainnya adalah bahasa yang digunakan. Di sana saya berhasil menjadi pendiam. Tentu karena tidak paham bahasa.

Berlanjut ke sekolah lain, hal yang saya temui semakin unik. Saya menemukan sekolah negeri yang sebelum memulai pelajaran, selalu diawali dengan doa bersama. Secara islam. Wait, sebelum ada yang protes, saya perlu menjelaskan bahwa di sekolah ini semua muridnya islam. Tentu kita ingat bahwa Lombok memiliki julukan Pulau Seribu Masjid. Wahh nggak adil dong. Ini kan sekolah negeri. Bagi saya ini justru malah unik. Lokal banget. Tentu saja kebijakan ini harus diganti kalau suatu saat kondisi berganti. Sama halnya ketika di beberapa liputan televisi, saya menemukan sekolah yang dimulai dengan doa versi nasrani. Padahal sekolah negeri. Ya itu bukan masalah. Toh semua muridnya nasrani.

Part yang saya sukai dalam ekspedisi keliling Lombok Tengah adalah saat kami harus mengunjungi satu wilayah pesisir pantai. Kalau pernah dengan Pantai Kuta, nah sekitar kawasan itu. Sebelum akhirnya kami sampai di wilayah pantai, kami terlebih dahulu melewati kawasan desa adat Sade. Tahu kan? Iya yang terkenal itu, yang ada pohon cintanya. Bisa kebayang dong ekspresi heboh saya. Padahal itu baru lewat. Kami pun harus kejar-kejaran waktu sebelum anak-anak sekolah bubar.

Usai lewat kawasan desa adat –yang akhirnya kami mampir saat pulangnya, kami memasuki kawasan wisata pantai. Bisa dibilang ini mini bali. Saya melihat wajah Lombok yang berbeda di sini. Banyak cafĂ© dengan gaya-gaya Bali di sini. Pengunjungnya juga kebanyakan turis asing yang datang lengkap dengan peralatan surfingnya.

Saya kira takjub saya akan berhenti sampai di sini. Ternyata tidak. Semakin ke atas (dalam arti sebenarnya), saya menemukan hal lain yang membuat saya diam. Waktu itu kami masih harus mengunjungi 2 sekolah.  Sebelum sampai di dua sekolah ini, kami harus melwati bukit yang berkelok. Kalau tahu bukit Bintang Jogja, atau tanjakan Nagreg, Garut, nah seperti itu. Bedanya kalau di Bukit Bintang dan Tanjakan Nagreg kita akan melihat pemandangan lampu atau rumah-rumah penduduk dari atas ketinggian, di sini (bukit tak bernama), yang kita lihat adalah hamparan laut yang luas lengkap dengan kapal-kapal yang sedang berlayar. Duh, jatuh cinta saya.

Tapi tunggu, bukan ini yang membuat saya diam. Saya diam ketika melihat kanan kiri. For sale! Bukan satu atau dua, namun berjajar di sepanjang jalan. Konon sudah banyak yang dikuasai oleh bukan orang lokal. Sedihnya, ketika saya ngobrol dengan driver yang mengantar kami, ia justru mendukung hal tersebut. “Ya kan nantinya orang lokal bisa jadi mendapat pekerjaan. Dibanding sekarang, hanya jadi petani”.

Pulang dari sana, saya punya cita-cita baru. Ingin jadi tuan tanah. Bukan untuk kaya. Tapi untuk menjaga, agar tanah-tanah di sini tetap milik rakyat Indonesia.  Lalu nanti kalau sudah punya tanah yang luas, ditanami pohon banyak-banyaknya. Biar kembali jadi hutan selamanya.

Sije

Arumdalu, 20 Januari 2021