Rabu, Februari 03, 2021

Ironi di Serpihan Surga Bumi Gora

Awalnya saya mau cerita, proses perjalanan saya  bisa sampai ke Lombok dengan gratis lengkap dengan bonus belajar pengalaman baru nan seru. Namun saya belum dapat emosinya. Sudah menulis sekian paragraf, tapi rasanya lempeng sekali. Jadi, untuk memancingnya, saya akan awali dengan tulisan ini.

Tahun 2018 sepertinya tahun hoki bagi saya. Dapat tawaran job tanpa mencari. Menang lomba berkali-kali, hingga akhirnya Allah beri kesempatan untuk masuk ke dunia literasi yang baru. Naik level. Saya nggak akan cerita bagaimana proses di dalamnya. Nanti saja di artikel satunya. Di sini saya ingin cerita sisi yang lainnya.

Pertama kali ke Lombok kalau tidak salah bulan Oktober 2018. Dalam rangka riset bahasa untuk pembuatan buku bacaan anak. Ini adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Bumi Gora –yang Alhamdulillah kemudian nanti diikuti injakan berikutnya. Jujur, rasanya aneh. Manusia Jogja yang terbiasa lalu lalang kendaraan, bahkan bandaranya saja di tengah kota (YIA belum jadi waktu itu), kaget saat landing di LIA, Lombok Tengah.

Saya di Air Terjun Benang Stokel


Sepanjang garis memanjang hanya terlihat pantai. Pun begitu sudah sampai di bandara, sepi sekali. Begitu keluar dari pintu keluar, yang terlihat hanyalah hamparan sawah. Satu yang unik –yang saya sadari saat penerbangan kembali ke Jogja, di ‘halaman’ bandara, terdapat banyak ruang terbuka hijau yang boleh dikunjungi siapa saja –setidaknya sampai akhir 2019 masih begitu. Ini kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk piknik. Banyak yang duduk-duduk menggelar tikar sambil makan bersama. Awalnya saya kira mereka adalah keluarga yang menjemput keluarganya. Tapi kok banyak sekali, ternyata mereka piknik. Setidaknya itu yang saya dengar dari supir yang antar jemput saya waktu itu.

Jarak dari bandara ke pusat kota kurang lebih 1 jam menggunakan mobil. Jauh ya? Iya. Bagi yang pertama kali ke Lombok dan sendirian, saya sarankan cari penerbangan yang landingnya pagi atau siang. Kalau dari Jogja, hanya ada 1 pilihan, ambil penerbangan transit Jakarta. Memang kenapa? Tidak aman? Tidak juga. Jadi sepanjang perjalanan dari bandara ke pusat Kota Mataram akan lebih banyak melewati persawahan, kecuali kalau sudah masuk kota. Ini pun jangan dibayangkan seramai pusat kota Jogja atau Jakarta. Tapi nggak apa. Semua kan terbayarkan ketika sudah menginjkkan kaki di pantai, air terjun, juga desat adat. Sungguh!

Saya tidak akan cerita soal hotel yang saya singgahi selama di sana. Ya hotel mah gitu-gitu aja kan. Saya justru ingin cerita rasa emosional yang saya rasakan ketika ‘keliling’ wilayah Lombok Tengah. Mengapa hanya Lombok Tengah? Sebab project saya hanya untuk Lombok Tengah saja.

Namun konon Lombok Tengah ini bisa dianggap mewakili kondisi Lombok yang mulai merangkak maju karena ada Bandara LIA (Lombok International Airport). Pada kunjungan pertama, selama 3 hari di Lombok tengah, tugas saya –kami lebih tepatnya, adalah ‘jalan-jalan’. Now you know why I love this job. Yuhuy!

Kami semua, setidaknya harus mengunjungi 19 sekolah (dibagi 2 tim). Sebagai manusia yang selama ini ‘makan’ dari jalan-jalan semacam ini, bagi saya ini sangat menyenangkan. Saya ingat betul, sekolah pertama yang saya kunjungi berada di pinggir jalan besar. Tidak jauh dari warung nasi balap puyung Inaq Esun. Kalau ke Lombok, wajib banget mampir ke warung ini. Part ini akan saya ulas panjang di artikel lain.

Tidak ada yang special dari sekolah ini sebenarnya. Sama halnya dengan sekolah lain yang berada di pinggiran kota lainnya. Cukup maju. Bangunan baru. Setidaknya itu yang saya lihat ketika dibandingkan dengan bangunan sekolah lain yang saya temui. Satu yang khas adalah, bentuk gerbangnya. Tapi sayangnya saya nggak ambil gambar. Hyahh sayang sekali. Selain itu, yang khas lainnya adalah bahasa yang digunakan. Di sana saya berhasil menjadi pendiam. Tentu karena tidak paham bahasa.

Berlanjut ke sekolah lain, hal yang saya temui semakin unik. Saya menemukan sekolah negeri yang sebelum memulai pelajaran, selalu diawali dengan doa bersama. Secara islam. Wait, sebelum ada yang protes, saya perlu menjelaskan bahwa di sekolah ini semua muridnya islam. Tentu kita ingat bahwa Lombok memiliki julukan Pulau Seribu Masjid. Wahh nggak adil dong. Ini kan sekolah negeri. Bagi saya ini justru malah unik. Lokal banget. Tentu saja kebijakan ini harus diganti kalau suatu saat kondisi berganti. Sama halnya ketika di beberapa liputan televisi, saya menemukan sekolah yang dimulai dengan doa versi nasrani. Padahal sekolah negeri. Ya itu bukan masalah. Toh semua muridnya nasrani.

Part yang saya sukai dalam ekspedisi keliling Lombok Tengah adalah saat kami harus mengunjungi satu wilayah pesisir pantai. Kalau pernah dengan Pantai Kuta, nah sekitar kawasan itu. Sebelum akhirnya kami sampai di wilayah pantai, kami terlebih dahulu melewati kawasan desa adat Sade. Tahu kan? Iya yang terkenal itu, yang ada pohon cintanya. Bisa kebayang dong ekspresi heboh saya. Padahal itu baru lewat. Kami pun harus kejar-kejaran waktu sebelum anak-anak sekolah bubar.

Usai lewat kawasan desa adat –yang akhirnya kami mampir saat pulangnya, kami memasuki kawasan wisata pantai. Bisa dibilang ini mini bali. Saya melihat wajah Lombok yang berbeda di sini. Banyak café dengan gaya-gaya Bali di sini. Pengunjungnya juga kebanyakan turis asing yang datang lengkap dengan peralatan surfingnya.

Saya kira takjub saya akan berhenti sampai di sini. Ternyata tidak. Semakin ke atas (dalam arti sebenarnya), saya menemukan hal lain yang membuat saya diam. Waktu itu kami masih harus mengunjungi 2 sekolah.  Sebelum sampai di dua sekolah ini, kami harus melwati bukit yang berkelok. Kalau tahu bukit Bintang Jogja, atau tanjakan Nagreg, Garut, nah seperti itu. Bedanya kalau di Bukit Bintang dan Tanjakan Nagreg kita akan melihat pemandangan lampu atau rumah-rumah penduduk dari atas ketinggian, di sini (bukit tak bernama), yang kita lihat adalah hamparan laut yang luas lengkap dengan kapal-kapal yang sedang berlayar. Duh, jatuh cinta saya.

Tapi tunggu, bukan ini yang membuat saya diam. Saya diam ketika melihat kanan kiri. For sale! Bukan satu atau dua, namun berjajar di sepanjang jalan. Konon sudah banyak yang dikuasai oleh bukan orang lokal. Sedihnya, ketika saya ngobrol dengan driver yang mengantar kami, ia justru mendukung hal tersebut. “Ya kan nantinya orang lokal bisa jadi mendapat pekerjaan. Dibanding sekarang, hanya jadi petani”.

Pulang dari sana, saya punya cita-cita baru. Ingin jadi tuan tanah. Bukan untuk kaya. Tapi untuk menjaga, agar tanah-tanah di sini tetap milik rakyat Indonesia.  Lalu nanti kalau sudah punya tanah yang luas, ditanami pohon banyak-banyaknya. Biar kembali jadi hutan selamanya.

Sije

Arumdalu, 20 Januari 2021

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment