gambar pinjam dari google
Beberapa waktu yang lalu saya
sempatkan untuk mencari cerpen sebanyak-banyaknya di dunia on line. Entah
kenapa tiba-tiba ingin membaca cerpen sebanyak-banyaknya. Mungkin karena selama
beberapa hari ini, saya tak produktif menulis. Mungkin juga karena
perbendaharaan kata saya masih kurang. Sehingga saya tiba-tiba merasa perlu
untuk membaca banyak cerpen karya orang lain.
Iseng membuka situs pencarian yang
paling sering digunakan masyarakat. Kata kunci yang saya pakai waktu itu “kumpulan
cerpen”. Ada beberapa situs yang muncul.
Blog para penulis, dari penulis pemula sekelas saya hingga penulis ternama
seperti seno gumira ajidarma. Berbicara masalah seno gumira, beberapa bulan
yang lalu saya sempat mengumpulkan cerpen-cerpen seno yang di posting di
blognya. Sayang folder kumpulan cerpen seno hilang. Meskipun saya sudah
sempatkan membaca semua karya seno, jangan berfikir bahwa saya mengerti semua
karya seno. Banyak dari mahakarya itu yang saya tak mengerti maksud ceritanya
hingga cerpen itu habis saya lahap. Bahasanya tinggi, kata orang sastra,
nyastrani banget, tapi mungkin bagi orang awam itu bukan hal yang berarti.
Bukan karena apapun. Namun karena sulit dimengerti. Tapi bagaimanapun, good, 4
jempol deh buat cerpenis terbaik kompas tahun 2011 ini.
Kembali ke kumpulan cerpen. Ada
salah satu blog yang saya buka. Blog itu tak berisi apapun kecuali cerpen. Satu
blog itu isinya cerpen semua. Waw…saya seolah menemukan harta karun. Sebuah
panganan lezat lebih lezat dari pada makan es krim. Memang manyelami sastra itu
lebih enak dan lebih nikmat dari pada hanya sekedar menikmati semangkuk besar
ek krim. Apalagi kalau keduanya digabungkan, melahap bacaan ditemani semangkuk
besar es krim vanilla di lengkapi dengan taburan buah segar diatasnya. Hem..pasti
tambah nyumi. Ups…salah rel, kenapa jadi ngomongin es krim.
Saya klik satu demi satu judul
cerpen yang ada disana. Semua saya
download, urusan membacanya kapan, itu urusan belakangan, yang penting semua file sudah tersimpan. Ada lebih dari
100 cerpen yang terarsip di blog itu. Benar-benar harta karun.
Dalam sela-sela men-download saya
sempatkan untuk mebaca beberapa cerpen yang ada disana. Sebagai catatan, cerpen
yang ada di blog ini semuanya cerpen-cerpen sosial. Cerpen yang memuat
kritikan-kritikan sosial dari berbagai sudut pandang. Ada beberapa cerita yang pantas diacungi
jempol. Namun sayang ada beberapa cerpen yang kurang pantas untuk mendapat
acungan jempol. Cerpen-cerpen sosial yang berbau esek-esek. Bukan hanya
tersirat, namun juga tersurat dengan sejelas-jelasnya.
Saya terkadang heran dengan
berbagai macam karya sastra Indonesia. terkadang juga saya bingung. Melalui
jalur apa sebuah cerpen dinilai baik dan layak untuk dibaca. Tak jarang
cerpen-cerpen itu hanya berisikan hal-hal tanpa bobot yang layak. Hanya berisi
cerita-cerita “sampah”. Bukan dalam rangka tidak menghargai karya orang lain.
Namun lebih ke suara hati seorang penulis. Lebih ke beban mental dan beban
moral yang ditanggung penulis itu sendiri. Beban dunia akhirat.
Di Indonesia penulis menempati
sebuah posisi yang cukup dihargai. Penulis
menempati posisi yang boleh di bilang elit. Dan biasanya fans para
penulis ini jauh lebih tahan lama dari pada fans-nya para artis. Mereka juga
lebih fanatis. Sehingga apa yang tertulis dari goresan tangan seorang penulis
terkadang bisa menjadi titah agung, menjadi sebuah landasan ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan. Padahal banyak dari penulis-penulis itu yang seringnya
menulis dengan tanpa moral, seperti yang saya gambarkan tadi, isinya berbau
esek-esek “sampah”. Dalam sebuah talkshow, seorang penulis ternama di kota
Yogyakarta mengatakan, “jadi penulis itu, jangan menulis sampah”.
Ujung pena penulis adalah harapan
sebuah bangsa. Ujung pena seorang penulis yang menentukan kemana tulisan itu
akan dibawa. Ujung pena penulis itu yang menentukan jadi apa para pembaca
tulisannya. Apakah jadi lebih baik atau lebih buruk. Apakah itu juga berlaku
bagi para penulis di Indonesia? Apakah itu berlaku juga untuk para penulis
cerita-cerita yang “ra mutu”
Sering sekali saya heran dengan
sastra yang ada di Indonesia. sastra yang berbau pornografi sering menjadi
sebuah komoditi yang laris manis tanjung kimpul. Bahkan yang lebih membuat saya
lebih terheran-heran lagi adalah, beberapa tulisan itu bisa menyabet juara
suatu lomba, mendapatkan sebuah penghargaan. Dari mana tulisan itu dinilai.
Apakah hanya sekedar dari kebagusan tatabahasanya saja? Atau itu tergantung
dari latar belakang para juri yang menilai? Ah…saya tak tahu pastinya. saya bukan ahli dalam sastra.Saya kira saya juga tak layak untuk menghakimi
para penulis itu. Hukum di Indonesia pun juga masih tidak jelas. Apakah kalau sudah begini, kita hanya bisa
berkata, biar Allah dan seluruh pasukkannya yang memberikan nilai untuk semua
itu?
Tidak ada komentar:
Write Comment