Selasa, Januari 17, 2012

etika sebuah pena


gambar pinjam dari google

Beberapa waktu yang lalu saya sempatkan untuk mencari cerpen sebanyak-banyaknya di dunia on line. Entah kenapa tiba-tiba ingin membaca cerpen sebanyak-banyaknya. Mungkin karena selama beberapa hari ini, saya tak produktif menulis. Mungkin juga karena perbendaharaan kata saya masih kurang. Sehingga saya tiba-tiba merasa perlu untuk membaca banyak cerpen karya orang lain.

Iseng membuka situs pencarian yang paling sering digunakan masyarakat. Kata kunci yang saya pakai waktu itu “kumpulan cerpen”.  Ada beberapa situs yang muncul. Blog para penulis, dari penulis pemula sekelas saya hingga penulis ternama seperti seno gumira ajidarma. Berbicara masalah seno gumira, beberapa bulan yang lalu saya sempat mengumpulkan cerpen-cerpen seno yang di posting di blognya. Sayang folder kumpulan cerpen seno hilang. Meskipun saya sudah sempatkan membaca semua karya seno, jangan berfikir bahwa saya mengerti semua karya seno. Banyak dari mahakarya itu yang saya tak mengerti maksud ceritanya hingga cerpen itu habis saya lahap. Bahasanya tinggi, kata orang sastra, nyastrani banget, tapi mungkin bagi orang awam itu bukan hal yang berarti. Bukan karena apapun. Namun karena sulit dimengerti. Tapi bagaimanapun, good, 4 jempol deh buat cerpenis terbaik kompas tahun 2011 ini.

Kembali ke kumpulan cerpen. Ada salah satu blog yang saya buka. Blog itu tak berisi apapun kecuali cerpen. Satu blog itu isinya cerpen semua. Waw…saya seolah menemukan harta karun. Sebuah panganan lezat lebih lezat dari pada makan es krim. Memang manyelami sastra itu lebih enak dan lebih nikmat dari pada hanya sekedar menikmati semangkuk besar ek krim. Apalagi kalau keduanya digabungkan, melahap bacaan ditemani semangkuk besar es krim vanilla di lengkapi dengan taburan buah segar diatasnya. Hem..pasti tambah nyumi. Ups…salah rel, kenapa jadi ngomongin es krim.

Saya klik satu demi satu judul cerpen yang ada disana.  Semua saya download, urusan membacanya kapan, itu urusan belakangan, yang penting  semua file sudah tersimpan. Ada lebih dari 100 cerpen yang terarsip di blog itu. Benar-benar harta karun.

Dalam sela-sela men-download saya sempatkan untuk mebaca beberapa cerpen yang ada disana. Sebagai catatan, cerpen yang ada di blog ini semuanya cerpen-cerpen sosial. Cerpen yang memuat kritikan-kritikan sosial dari berbagai sudut pandang.  Ada beberapa cerita yang pantas diacungi jempol. Namun sayang ada beberapa cerpen yang kurang pantas untuk mendapat acungan jempol. Cerpen-cerpen sosial yang berbau esek-esek. Bukan hanya tersirat, namun juga tersurat dengan sejelas-jelasnya.

Saya terkadang heran dengan berbagai macam karya sastra Indonesia. terkadang juga saya bingung. Melalui jalur apa sebuah cerpen dinilai baik dan layak untuk dibaca. Tak jarang cerpen-cerpen itu hanya berisikan hal-hal tanpa bobot yang layak. Hanya berisi cerita-cerita “sampah”. Bukan dalam rangka tidak menghargai karya orang lain. Namun lebih ke suara hati seorang penulis. Lebih ke beban mental dan beban moral yang ditanggung penulis itu sendiri. Beban dunia akhirat.

Di Indonesia penulis menempati sebuah posisi yang cukup dihargai. Penulis  menempati posisi yang boleh di bilang elit. Dan biasanya fans para penulis ini jauh lebih tahan lama dari pada fans-nya para artis. Mereka juga lebih fanatis. Sehingga apa yang tertulis dari goresan tangan seorang penulis terkadang bisa menjadi titah agung, menjadi sebuah landasan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Padahal banyak dari penulis-penulis itu yang seringnya menulis dengan tanpa moral, seperti yang saya gambarkan tadi, isinya berbau esek-esek “sampah”. Dalam sebuah talkshow, seorang penulis ternama di kota Yogyakarta mengatakan, “jadi penulis itu, jangan menulis sampah”.

Ujung pena penulis adalah harapan sebuah bangsa. Ujung pena seorang penulis yang menentukan kemana tulisan itu akan dibawa. Ujung pena penulis itu yang menentukan jadi apa para pembaca tulisannya. Apakah jadi lebih baik atau lebih buruk. Apakah itu juga berlaku bagi para penulis di Indonesia? Apakah itu berlaku juga untuk para penulis cerita-cerita yang “ra mutu”

Sering sekali saya heran dengan sastra yang ada di Indonesia. sastra yang berbau pornografi sering menjadi sebuah komoditi yang laris manis tanjung kimpul. Bahkan yang lebih membuat saya lebih terheran-heran lagi adalah, beberapa tulisan itu bisa menyabet juara suatu lomba, mendapatkan sebuah penghargaan. Dari mana tulisan itu dinilai. Apakah hanya sekedar dari kebagusan tatabahasanya saja? Atau itu tergantung dari latar belakang para juri yang menilai? Ah…saya tak tahu pastinya. saya bukan ahli dalam sastra.Saya kira saya juga tak layak untuk menghakimi para penulis itu. Hukum di Indonesia pun juga masih tidak jelas.  Apakah kalau sudah begini, kita hanya bisa berkata, biar Allah dan seluruh pasukkannya yang memberikan nilai untuk semua itu?

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment