Selasa, Januari 24, 2012

Saat Kau Harus menikah





Spesial untuk yang selalu terjaga dan berusaha untuk menjaga
Hem..agak sulit menulis tema ini. Menarik sih, hanya saja banyak sisi yang harus diperhatikan, karena ini bukan masalah sepele. Bagi seorang perempuan,  bisa diibaratkan, dia sedang mencari imam menuju surga atau neraka. Bagi seorang laki-laki, dia sedang mencari madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sulit memang. Bagaimanapun tak ada manusia yang sempurna.
Mencoba mengkolaborasikan dengan tulisan sebelumnya, merah kuning hijau kehidupan, dimana disana dituliskan bahwa kita boleh berteman dengan siapapun. Tanpa memandang apapun. Berbeda dengan hal yang sekarang ini, menikah. Kita tidak bisa menuliskan kita boleh menikah dengan siapapun tanpa memandang apapun. Oh…no. jadi apa dunia ini kalau orang-orang berpendapat seperti itu? Gawat bin gaswat.  Gampangnya, kita bisa berteman, kalau nikah?entar dulu deh. Banyak syaratnya.
Di jalan dakwah aku menikah
Meminjam istilah dari pak cah (panggilan ustadz cahyadi takariawan), dijalan dakwah aku menikah. Menikah dengan orang yang sudah faham apa itu islam, bukan sekedar tahu islam itu apa. Seorang akhwat ya menikahnya dengan seorang ikhwan. Menikah denga orang yang sama-sama faham tentang jalur-jalur dakwah. Menikah menjadi start awal untuk melanjutkan dakwah. Dakwah berjalan ke depan, bukan lagi berulang kebelakang.
Bertemu dalam dunia dakwah. Berkenalan dalam bingkai dakwah juga, akhirnya keluarga dakwah juga yang dihasilkan.  Di jalan dakwah aku menikah, jalan ini yang sellau dinanti. Bertemu dengan penjaga hati dalam bingkai indah nurani. Di jalan dakwan aku menikah, saat dua hati menyatu, untuk melanjutkan dakwah, mengumpulkan bekal masing-masing, mengikatnya menjadi satu dalam sebuah ikatan simpul keabadian, karena Allah tak pernah menyukai cerai berai.

Di jalan menikah aku berdakwah
Saat menikah menjadi sebuah pilihan. Justru kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa kita sedang merentas ulang dakwah. Membuka semak belukan baru. Dan semak belukar itu adalag pasangan kita masing-masing. Bukan perkara yang mudah, namun bernilah dakwah. Mungkin tidak setegar ummu salamah dengan ucapannya, “Islammu maharku”.  Namun apa yang harus dilakukan ketika saat itu tiba dan harus disegrakan, namun yang datang adalah semak belukar berduri dan butuh tangan terampil untuk memolesnya menjadi sebuah perdu yang anggun. Apakah harus ditolak? Bukankah ada dakwah disana? Atau haruskah diterima? Padahal kadar iman kita tak seberapa?
Teringat sebuah tulisan dari penulis ternama Salim A Fillah. Seorang perempuan kerika berumur 20 tahun dan ada seorang yang datang meminang, dia akan bertanya kepada dirinya sendiri, “Siapa aku? ”. disaat dia berumur 22  hingga 24 tahun datang orang untuk meminangnya, maka dia bertanya, “Siapa kamu?”. Dan disaat usia senja sudah membayangi, maka kata-kata ynag terucap adalah, “Siapa aja deh” (Dengan sedikit penyesuaian kata)
GUBRAAKK!!!
 Justru disaat ini lah ujiannya. Di zaman  ucapan manusia menjadi alat ukur.  Apakah kita alan berani mengambil sebuah lahan dakwah, atau kita kan lebih memilih mencari orang yang bisa diajak bersama membangun dakwah ke depan. 
Semua itu pilihan. Setiap orang punya cara pandang masing-masing untuk memilih dan menentukan. ada kebaikan dalam keduanya. Hanya kita yang bisa menentukan kebaikan mana yang akan kita ambil. Apakah kita akan sekuat ummu salamah?
Itu bukan alasan!!!
Tidak kita pungkiri, banyak sekali orang-orang yang kurang faham agamanya mendambakan pasangan yang faham agama. Tidak hanya satu atau dua, banyak sekali. Banyak yang menginginkan akhwat yang selama ini terjaga untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya kelak. Padahal dia tahu, dia tak sebanding. Banyak pula yang mengimpikan ikhwan yang tertata dengan rapi untuk menjadi suami dan imamnya kelak. Padahal selama ini dia tidak pernah berusaha untuk menjaga dirinya.
Di jalan menikah aku berdakwah bukan sebuah alasan untuk menerima begitu saja orang-orang yang datang di saat yang tepat. Bagaimanapun orang yang tepat di waktu yang tepat adalah lebih baik. Di jalan menikah aku berdakwah juga bukan menjadi pembenaran untuk orang-orang yang tidak bersiap diri, untuk meminang mereka yang telah bersiap dari awal. Allah sudah menggariskan bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan sebaliknya. Artinya Allah pun sudah memberikan garis batas. Allah telah menggariskan yang sedemikian.
Dan disaat kita harus menikah
Menjadi sebuah polemik  besar  bagi seorang perempuan, ketika berada dalam usia yang sudah seharusnya menikah, namun Allah tak kunjung mengijinkannya. Menjadi sebuah kegundahan di saat hati sudah tak karuan rasanya, namun sang penjaga hati tak kunjung datang. Membuka mata antara idealita dan realita. Allah sudah menggariskan, namun terkadang kita tak sanggup lagi menunggu. Mungkin saat itulah Allah minta sebuah bukti, apakah kita masih sanggup untuk  terus berprasangka baik kepada-NYA? Bukankah Allah sesuai denga prasangka hamba-NYA.
Teringat sebuah tulisan dari seorang sahabat (tulisan tentang ini bisa dilihat di fimadani.com), judulnya, Ya AKhi, haruskah aku yang meminangmu?  sudah tergambar bukan, apa isi tulisan itu.
Untukmu ukhti, tetaplah dalam  prinsip itu. Ketika Allah sudah menjadi barometer utama, Allah pasti akan memberikan jalan.
Untukmu akhi, sampai kapan kalian akan terus berfikir? Apakah kini kau yang  menunggu untuk dipinang? 

Belajar membumikan rasa dengan tulisan
Sije Preman Sholihah
Yogyakarta 23 Januari 2012
08.06 WIB

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment