Spesial untuk yang selalu terjaga dan
berusaha untuk menjaga
Hem..agak sulit menulis tema ini. Menarik
sih, hanya saja banyak sisi yang harus diperhatikan, karena ini bukan masalah
sepele. Bagi seorang perempuan, bisa
diibaratkan, dia sedang mencari imam menuju surga atau neraka. Bagi seorang
laki-laki, dia sedang mencari madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sulit memang.
Bagaimanapun tak ada manusia yang sempurna.
Mencoba mengkolaborasikan dengan tulisan
sebelumnya, merah kuning hijau kehidupan, dimana disana dituliskan bahwa kita
boleh berteman dengan siapapun. Tanpa memandang apapun. Berbeda dengan hal yang
sekarang ini, menikah. Kita tidak bisa menuliskan kita boleh menikah dengan
siapapun tanpa memandang apapun. Oh…no. jadi apa dunia ini kalau orang-orang
berpendapat seperti itu? Gawat bin gaswat.
Gampangnya, kita bisa berteman, kalau nikah?entar dulu deh. Banyak
syaratnya.
Di
jalan dakwah aku menikah
Meminjam istilah dari pak cah (panggilan
ustadz cahyadi takariawan), dijalan dakwah aku menikah. Menikah dengan orang
yang sudah faham apa itu islam, bukan sekedar tahu islam itu apa. Seorang
akhwat ya menikahnya dengan seorang ikhwan. Menikah denga orang yang sama-sama
faham tentang jalur-jalur dakwah. Menikah menjadi start awal untuk melanjutkan dakwah. Dakwah berjalan ke depan,
bukan lagi berulang kebelakang.
Bertemu dalam dunia dakwah. Berkenalan
dalam bingkai dakwah juga, akhirnya keluarga dakwah juga yang dihasilkan. Di jalan dakwah aku menikah, jalan ini yang
sellau dinanti. Bertemu dengan penjaga hati dalam bingkai indah nurani. Di
jalan dakwan aku menikah, saat dua hati menyatu, untuk melanjutkan dakwah,
mengumpulkan bekal masing-masing, mengikatnya menjadi satu dalam sebuah ikatan
simpul keabadian, karena Allah tak pernah menyukai cerai berai.
Di jalan menikah aku berdakwah
Saat menikah menjadi sebuah pilihan. Justru
kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa kita sedang merentas ulang dakwah.
Membuka semak belukan baru. Dan semak belukar itu adalag pasangan kita masing-masing.
Bukan perkara yang mudah, namun bernilah dakwah. Mungkin tidak setegar ummu
salamah dengan ucapannya, “Islammu maharku”.
Namun apa yang harus dilakukan ketika saat itu tiba dan harus
disegrakan, namun yang datang adalah semak belukar berduri dan butuh tangan
terampil untuk memolesnya menjadi sebuah perdu yang anggun. Apakah harus
ditolak? Bukankah ada dakwah disana? Atau haruskah diterima? Padahal kadar iman
kita tak seberapa?
Teringat sebuah tulisan dari penulis
ternama Salim A Fillah. Seorang perempuan kerika berumur 20 tahun dan ada
seorang yang datang meminang, dia akan bertanya kepada dirinya sendiri, “Siapa
aku? ”. disaat dia berumur 22 hingga 24
tahun datang orang untuk meminangnya, maka dia bertanya, “Siapa kamu?”. Dan
disaat usia senja sudah membayangi, maka kata-kata ynag terucap adalah, “Siapa
aja deh” (Dengan sedikit penyesuaian kata)
GUBRAAKK!!!
Justru
disaat ini lah ujiannya. Di zaman ucapan
manusia menjadi alat ukur. Apakah kita
alan berani mengambil sebuah lahan dakwah, atau kita kan lebih memilih mencari
orang yang bisa diajak bersama membangun dakwah ke depan.
Semua itu pilihan. Setiap orang punya cara
pandang masing-masing untuk memilih dan menentukan. ada kebaikan dalam
keduanya. Hanya kita yang bisa menentukan kebaikan mana yang akan kita ambil.
Apakah kita akan sekuat ummu salamah?
Itu bukan alasan!!!
Tidak kita pungkiri, banyak sekali
orang-orang yang kurang faham agamanya mendambakan pasangan yang faham agama.
Tidak hanya satu atau dua, banyak sekali. Banyak yang menginginkan akhwat yang
selama ini terjaga untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya kelak. Padahal
dia tahu, dia tak sebanding. Banyak pula yang mengimpikan ikhwan yang tertata
dengan rapi untuk menjadi suami dan imamnya kelak. Padahal selama ini dia tidak
pernah berusaha untuk menjaga dirinya.
Di jalan menikah aku berdakwah bukan sebuah
alasan untuk menerima begitu saja orang-orang yang datang di saat yang tepat.
Bagaimanapun orang yang tepat di waktu yang tepat adalah lebih baik. Di jalan
menikah aku berdakwah juga bukan menjadi pembenaran untuk orang-orang yang
tidak bersiap diri, untuk meminang mereka yang telah bersiap dari awal. Allah
sudah menggariskan bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan
sebaliknya. Artinya Allah pun sudah memberikan garis batas. Allah telah
menggariskan yang sedemikian.
Dan
disaat kita harus menikah
Menjadi sebuah polemik besar
bagi seorang perempuan, ketika berada dalam usia yang sudah seharusnya
menikah, namun Allah tak kunjung mengijinkannya. Menjadi sebuah kegundahan di
saat hati sudah tak karuan rasanya, namun sang penjaga hati tak kunjung datang.
Membuka mata antara idealita dan realita. Allah sudah menggariskan, namun
terkadang kita tak sanggup lagi menunggu. Mungkin saat itulah Allah minta
sebuah bukti, apakah kita masih sanggup untuk
terus berprasangka baik kepada-NYA? Bukankah Allah sesuai denga
prasangka hamba-NYA.
Teringat sebuah tulisan dari seorang sahabat
(tulisan tentang ini bisa dilihat di fimadani.com), judulnya, Ya AKhi, haruskah
aku yang meminangmu? sudah tergambar
bukan, apa isi tulisan itu.
Untukmu ukhti, tetaplah dalam prinsip itu. Ketika Allah sudah menjadi
barometer utama, Allah pasti akan memberikan jalan.
Untukmu akhi, sampai kapan kalian akan
terus berfikir? Apakah kini kau yang menunggu
untuk dipinang?
Belajar membumikan rasa dengan
tulisan
Sije Preman Sholihah
Yogyakarta 23 Januari 2012
08.06 WIB
Tidak ada komentar:
Write Comment