Minggu, Februari 19, 2012

Menulis Tanpa Perasaan


Menulis, menulis, dan menulis, terkadang seseorang perlu menulis. Terkadang? Mungkin memang harus sering menulis, minimal buku catatan sekolah atau kuliah. Tapi kali ini kita kan bicara menulis dalam versi yang lain, bukan menulis dalam sebuah buku catatan matematika, atau catatan kimia yang penuh reaksi macem-macem yang terkadang membuat banyak orang bertanya, emang kenapa kalau mereka bereaksi, so what gitu loh? (ups…kabuuurrr sebelum dijewer bunda dosen di kampus.), atau dalam buku sejarah yang isinya masalalu, kata seorang dosen saya dikampus, “ngapain sih sejarah itu harus diajarkan? Mending ngajarin masa depan yang akan kita buat, misalnya membuat sebuah penemuan-penemuan penting untuk dunia” (kali ini dilarang nimpuk saya ya, kan bukan saya yang bilang kalau sejarah itu isinya hanya masa lalu). Kali ini kita akan berbicara tentang “menulis”, menuangkan ide, menuangkan gagasan, menuangkan makna sebuah ungkapan, menuangkan sebuah ilmu, mengejawantahkan solusi atas sebuah persoalan, merangkai kata-kata dalam dalam bentuk bahasa tulisan, bukan hanya dalam rangka mencari uang, bukan hanya dalam rangka mencari urusan dunia-dunia.

Kita sering tertegun saat menyadari betapa cepatnya hidup ini berlalu, kemarin yang masih lucu-lucu saja, kalau dalam bahasa gaulnya, masih unyu-unyu, masih remaja, yang dipikir cuma, makan, maen, sekolah, beribadah, no more, kini tiba-tiba sudah dewasa, mulai memikirkan urusan hidup, menikah, mencari kerja, punya kehidupan di masyarakat dan mencoba untuk menyeimbangkan semua itu. So, waktu yang begitu singkat itu perlu untuk dicatat, perlu untuk didokumentasikan. Melalui tulisan itu kita bisa merefleksikan apa pernah kita lakukan, apa yang kita alami, juga apa yang dialami penulis-penulis yang lain. Buku memang jendela dunia, jendela tempat dimana kita bisa melihat keindahan dunia ini, keindahan semua hal yang mungkin tadak bisa kita alami dalam hidup kita, kita mencoba melihat semua itu melalui sebuah jendela bernama buku. Kita melihat sisi hidup orang lain yang mungkin kita tidak bisa alami, bagaimanapun kita tidak mungkin hidup dengan berbagai macam sisi.

Menulis tanpa perasaan

Jangan salah tangkap dulu dengan judul diatas, yang dimaksud menulis tanpa perasaan adalah, menulis tanpa melibatkan perasaan yang kita alami, tidak melibatkan perasaan kita sendiri, tidak melibatkan emosi yang kita rasakan secara pribadi, namun menjiwai apa yang kita tulis. Emosi tulisan yang kita tuangkan, bukan emosi kita sebagai penulis tulisan itu. Mengambil rasa dari berbagai macam perasaan, mengambil emosi dari berbagai macam orang, mengambil feel yang dirasakan sekitar, mengambil bahasa angin dan bahasa udara yang membersamai tulisan yang sedang kita tulis. Menjadi beberapa tokoh dalam satu waktu, menjadi beberapa manusia dalam waktu yang bersamaan, mengkolaborasikan dari A sampai Z. hingga khirnya yang muncul adalah sebuah racikan yang dibuat dari berbagai macam bahan yang saling mendukung. Kalau dalam bahasa iklan nano-nano manis asam asin, rame rasanya (bukan iklan koq, suer deh, Cuma nyomot kata doank). Menulis tanpa perasaan, lepas dari diri sendiri untuk sementara, lepas dari feel yang sedang kita rasakan.

Dan suatu saat, kita akan tahu bagaimana rasanya membiarkan rasa-rasa yang dulu kita campuradukkan, tokoh-tokoh yang kita ciptakan, menyelesaikan masalah mereka masing-masing, sekali lagi karena kita menulis tanpa perasaan.

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment