Gambar pinjam gugel |
Kalimat dengan tanda petik itu saya temukan di sebuah
artikel karya Afifah Afra. Artikel itu
membahas tentang ummahat melempem. Akhwat-akhwat yang dulu punya kiprah yang
luar biasa, tiba-tiba menjadi melempem begitu menjadi istri, apalagi setelah
punya anak.
Yup, ini tentang ikhwan dan akhwat. Sedikit menyenggol
wilayah “gender” tapi tidak terlalu
banyak. Suatu hal yang sering menjadi masalah di kalangan aktifis kita adalah
tentang pembagian ranah “kerja” ikhwan dan akhwat, atau cara pandang ikhwan
akhwat terhadap lawan jenis jenisnya. Kita ambil contoh ikhwan, hampir sebagian
ikhwan berpikir bahwa yang namanya akhwat itu adalah mahkluk yang halus, kalem,
lembut, rapi, anteng, jauh dari kesan gradak gruduk. Begitu juga akhwat, yang
namanya akhwat sebagian besar berpikir bahwa yang namanya ikhwan itu ya yang
macho, bertanggung jawab, nggak gampang mengeluh, nggak lembek, pokokke TOP
BGT.
Masuk ke gerbang pernikahan, pembagian ranah itu kian
nyata. Sebagain besar kehidupan rumah
tangga akhirnya menempatkan seorang akhwat pada wilayah domestik dan si ikhwan
di wilayah publik. Si akhwat bertugas bangun pagi, masak, bersih-bersih,
menyiapkan anak untuk pergi kesekolah, setelah semua pergi, cucian setinggi
gunung menunggu, belum lagi setrikaan yang setinggi bukit. Sedangkan si ikhwan,
saat akhwatnya bersih-bersih dan memasak, dia duduk di teras rumah sambil
membaca Koran dan meminum secangkir teh manis ditemani sepiring pisang goreng
atau biskuit. Hah…benar-benar sebuah ilustrasi yang Indonesia banget.
Ilustrasi yangIndonesia banget diatas akhirnya membuat
“pemberontakan-pemberontakan” kecil dari anak
cucu hawa. Bagaimanapun hal itu bukan sebuah aturan baku, yang wajib
ditepati (pembagian ranah). Bukan hanya satu orang dua orang yang kemudian
memberikan “perlawanan” dengan ketentuan seperti itu. Terutama bagi
akhwat-akhwat yang sebelum menikah adalah akhwat yang jam kerjanya super
tinggi. Syuro, aksi, baksos, menulis, mengisi acara seminar, menjadi relawan
dan berbagai macam kegiatan lainnya yang kesemuanya adalah wilayah-wilayah
publik. Sesaat setelah menikah tiba-tiba “mak brek” dia dituntut dengan seabrek pekerjaan rumah tangga yang aduhai
mantapnya yang mengharuskan dia untuk stay
at home. Ditambah lagi, tipe suaminya adalah tipe ikhwan yang “sedikit”
mewajibkan istrinya untuk tetap dirumah.
Apalagi kebetulan si ikhwan termasuk jenis “langka” yang
melihat bahwa akhwat istri itu musti begini dan begini. Ini beres itu beres dan
lain sebagainya. Misalnya ada yang tidak beres, tatapannya seolah berkata, “koq akhwat seperti itu?”
Je kira, pada titik ini ada sebuah pola yang perlu
dibenahi, si akhwat musti bersabar. Bagaimanapun dia harus menyadari kalau dia
menikah dengan ikhwan Indonesia (kita sedang membahas pernikahan dalam negeri JJ ). Ikhwan yang terbentuk dengan Indonesianya. Apalagi
kalau ikhwannya adalah ikhwan yang “njawani” maka akan berbeda penyikapannya dengan ikhwan yang
bukan orang Indonesia atau bukan orang yang “Njawani”. (Je, nggak memukul rata, bahwa semua orang jawa seperti itu). Bagaimanapun
ikhwan kita adalah ikhwan Indonesia yang baru mengenal Islam secara intens
belum lama. Dimana celupan kultur itu
masih sangat kuat. Hingga akhirnya
seolah terbentuk sebuah kesepakatan
bahwa yang namanya “dakwah domestik” itu sebagian besar adalah tanggung
jawab istri.
Tetapi, meskipun begitu, sebaiknya memang hal-hal
seperti ini memang harus di komunikasikan. Perubahan ritme kegiatan (bagi
akhwat)yang tiba-tiba, akan berimbas banyak kepada produktivitas si akhwat
tersebut. So, ini musti ditanggulangi. Bagaimana cara menanggulaginya, ehm, Je
belum bisa menuliskan, karena ilmunya belum cukup untuk menuliskan hal ini
:-D. akan lebih baik kalau ilmunya dicari
di fiqh pernikahan, atau fiqh ibadah, atau fiqh prioritas. :-D
Sekali lagi, “Mereka
Tetap Ikhwan Indonesia”.
To be continued,
InsyaAllah
_JeannaMilagros_
Tidak ada komentar:
Write Comment