Rabu, Mei 09, 2012

Untuk Para Akhwat: “Bagaimanapun Mereka Tetap Ikhwan Indonesia!”


Gambar pinjam gugel



Kalimat dengan tanda petik itu saya temukan di sebuah artikel  karya Afifah Afra. Artikel itu membahas tentang ummahat melempem. Akhwat-akhwat yang dulu punya kiprah yang luar biasa, tiba-tiba menjadi melempem begitu menjadi istri, apalagi setelah punya anak.

Yup, ini tentang ikhwan dan akhwat. Sedikit menyenggol wilayah “gender”  tapi tidak terlalu banyak. Suatu hal yang sering menjadi masalah di kalangan aktifis kita adalah tentang pembagian ranah “kerja” ikhwan dan akhwat, atau cara pandang ikhwan akhwat terhadap lawan jenis jenisnya. Kita ambil contoh ikhwan, hampir sebagian ikhwan berpikir bahwa yang namanya akhwat itu adalah mahkluk yang halus, kalem, lembut, rapi, anteng, jauh dari kesan gradak gruduk. Begitu juga akhwat, yang namanya akhwat sebagian besar berpikir bahwa yang namanya ikhwan itu ya yang macho, bertanggung jawab, nggak gampang mengeluh, nggak lembek, pokokke TOP BGT.

Masuk ke gerbang pernikahan, pembagian ranah itu kian nyata.  Sebagain besar kehidupan rumah tangga akhirnya menempatkan seorang akhwat pada wilayah domestik dan si ikhwan di wilayah publik. Si akhwat bertugas bangun pagi, masak, bersih-bersih, menyiapkan anak untuk pergi kesekolah, setelah semua pergi, cucian setinggi gunung menunggu, belum lagi setrikaan yang setinggi bukit. Sedangkan si ikhwan, saat akhwatnya bersih-bersih dan memasak, dia duduk di teras rumah sambil membaca Koran dan meminum secangkir teh manis ditemani sepiring pisang goreng atau biskuit. Hah…benar-benar sebuah ilustrasi yang Indonesia banget.

Ilustrasi yangIndonesia banget diatas akhirnya membuat “pemberontakan-pemberontakan” kecil dari anak  cucu hawa. Bagaimanapun hal itu bukan sebuah aturan baku, yang wajib ditepati (pembagian ranah). Bukan hanya satu orang dua orang yang kemudian memberikan “perlawanan” dengan ketentuan seperti itu. Terutama bagi akhwat-akhwat yang sebelum menikah adalah akhwat yang jam kerjanya super tinggi. Syuro, aksi, baksos, menulis, mengisi acara seminar, menjadi relawan dan berbagai macam kegiatan lainnya yang kesemuanya adalah wilayah-wilayah publik. Sesaat setelah menikah tiba-tiba “mak brek” dia dituntut dengan seabrek pekerjaan rumah tangga yang aduhai mantapnya yang mengharuskan dia untuk stay at home. Ditambah lagi, tipe suaminya adalah tipe ikhwan yang “sedikit” mewajibkan istrinya untuk tetap dirumah.

Apalagi kebetulan si ikhwan termasuk jenis “langka” yang melihat bahwa akhwat istri itu musti begini dan begini. Ini beres itu beres dan lain sebagainya. Misalnya ada yang tidak beres, tatapannya seolah berkata, “koq akhwat seperti itu?”

Je kira, pada titik ini ada sebuah pola yang perlu dibenahi, si akhwat musti bersabar. Bagaimanapun dia harus menyadari kalau dia menikah dengan ikhwan Indonesia (kita sedang membahas pernikahan dalam negeri JJ ). Ikhwan yang terbentuk dengan Indonesianya. Apalagi kalau ikhwannya adalah ikhwan yang “njawani” maka  akan berbeda penyikapannya dengan ikhwan yang bukan orang Indonesia atau bukan orang yang “Njawani”. (Je, nggak memukul rata, bahwa semua orang jawa seperti itu). Bagaimanapun ikhwan kita adalah ikhwan Indonesia yang baru mengenal Islam secara intens belum lama.  Dimana celupan kultur itu masih sangat kuat.  Hingga akhirnya seolah terbentuk sebuah kesepakatan  bahwa yang namanya “dakwah domestik” itu sebagian besar adalah tanggung jawab istri.

Tetapi, meskipun begitu, sebaiknya memang hal-hal seperti ini memang harus di komunikasikan. Perubahan ritme kegiatan (bagi akhwat)yang tiba-tiba, akan berimbas banyak kepada produktivitas si akhwat tersebut. So, ini musti ditanggulangi. Bagaimana cara menanggulaginya, ehm, Je belum bisa menuliskan, karena ilmunya belum cukup untuk menuliskan hal ini :-D.  akan lebih baik kalau ilmunya dicari di fiqh pernikahan, atau fiqh ibadah, atau fiqh prioritas. :-D

Sekali lagi, “Mereka Tetap Ikhwan Indonesia”.
To be continued, InsyaAllah
_JeannaMilagros_

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment