Doa
bulan ini adalah Barakallahu laka wa Baraka`alayka wa jama`a baynakuma fii
khair. Hem, musim cinta lagi. Bukan hanya satu orang dua orang. Lebih dari lima
orang yang memberikan undangan. Dimulai dari tanggal 1 hingga menjelang ramadhan.
Seneng pake banget, saat ada yang sudah berani mengambil langkah besar
menyudahi masa lajang. Apalagi mereka masih terhitung muda, seumuran bahkan
lebih muda. Salut, seneng, dan minder karena belum bisa seberani itu.
Akan
selalu ada banyak alasan kalau dicarai. Manusia memang gudangnya alasan. Begitu
pula dalam menikah, pasti akan selalu saja ada alasan untuk tidak -belum-
menikah. Tidak siap, belum lulus, belum kerja, hingga belum ketemu jodohnya.
Macam-macam dan beragam alasannya.
Semua
orang berhak mengajukan alsan masing-masing, apapun itu. Semua alasan tentu ada
konsekwensinya. Bagi yang memilih untuk tidak -belum-menikah sekarang, tentu
saja mau tidak mau harus menanggung konsekwensi. Konsekwensi minimal adalah
menjadi buah bibir masyarakat, apalagi masyarakat desa.
Bagi
yang memilih untuk segera menikah tentu saja punya konsekwensi yang lebih
besar. Tanggungjawab bertambah, target bertambah hingga akhirnya target-target
awal harus ditata ulang. Apalagi bagi perempuan. siap menikah berarti siap
menjadi ibu. Bulan ini menikah berarti harus sudah siap jadi ibu bulan
selanjutnya. Selalu begitu.
Saya
menemukan banyak orang yang menikah karena faktor usia. Terutama perempuan,
merasa sudah berumur kepala dua, kekhawatiran mulai muncul. Apalagi kalau
selama ini belum pernah ada laki-laki yang mendekat, semakin bingunglah dia.
Ini nyata terjadi, miris memang. Mereka bukan menikah karena pada dasarnya
mereka sudah siapa atau sudah mempersiapkan, namun karena ‘terpaksa’. Beberapa
waktu lalu ada seorang teman bercerita. Kisah saudara dekatnya yang sedang
bingung karena tak kunjung menikah, padahal umur sudah 25 tahun. Belum punya
pacar dan tidak punya teman laki-laki yang cukup dekat. Konsep ta`aruf tak
dikenalnya. Hingga akhirnya dia mengatakan sebuah perkataan putus asa, “Aku
nikah sama siapa aja deh, ntar kalau ibuku punya temen yang punya anak
laki-laki, aku nggak masalah dijodohin”. #Jleb. Sebagai perempuan saya ikut
prihatin. Bukan konsep perjodohannya, namun konsep menikahnya. Hanya karena
tidak ada yang lain.
Sisi
lain ada juga yang tak kunjung menikah karena merasa belum siap. Padahal
menurut beberapa orang yang sudah menikah, pada dasarnya tidak ada orang yang
benar-benar siap untuk menikah saat dia menikah. Kesiapan itu akan datang
bersama dengan bertambahnya tanggungjawab.
Ini
bukan hal yang serta merta mudah diputuskan. Apalagi dalam kondisi yang kurang
‘fit’ ruhiyahnya. Nasehat dari seorang guru, putuskanlah keputusan untuk
menikah disaat kondisi ruhiyah benar-benar baik. Bukan karena tidak ada yang
lain lalu dengan mudah mengiyakan siapapun yang datang. Dan tentu saja bukan
karena belum banyak yang datang lalu dengan mudahnya mengatakan tidak, karena
merasa laku.
Menanam
Pohon Harapan
Beberapa
waktu yang lalu, seorang adek bercerita tentang teman-temannya yang tiba-tiba
‘’ datang’’. Bukan hanya satu orang dua orang. “Mereka mengajak ta`aruf mbak,”
begitu katanya. “Lalu?” Tanya saya. Aku merasa belum siap, kau masih belum
lulus. Masak iya aku mau nikah. Aku bilang saja, tunggu saya lulus dan silahkan
datang ke orang tua.
Ada
yang salah dengan dialog diatas? Tentu saja tidak salah kalau itu hanya
dikatakan untuk satu orang. Salahnya adalah, dia mengatakan itu kepada setiap
orang yang datang kepadanya. Mungkin saat ini masalah selesai, tapi bagaimana
dengan tahun depan? Saat dia benar-benar lulus. Bagaimana kalau ada sekian
laki-laki yang datang ke rumahnya?
Hal
yang sama dulu pernah dilakukan kakak tingkat saya di kampus. Beliau cantik,
anggun, kalem, nggak neko-neko, pokoknya akhwat banget. Bisa ditebak, tidak
hanya satu dua orang yang menaruh hati padanya. Kepada semua laki-laki itu dia
mengatakan, “Silahkan cari kerja dulu, kalau sudah mapan, silahkan datang ke
rumah. Orang tua saya pasti setuju.” Beruntung orang-orang yang pernah menaruh
hati itu belum mapan saat ada orang yang serius dengan beliau. Jadilah
orang-orang itu kumpulan laki-laki ‘patah hati’. Ini nyata terjadi. Sebuah fenomena yang harus
di evaluasi oleh para perempuan. jangan dengan mudah memberikan harapan.
Lalu,
Menikah dengan Siapa?
Menjawab
pertanyaan ini tidaklah mudah. Terutama untuk perempuan. Menikah dengan
siapa? Siapa orang yang pas, agama oke,
keturunan oke, kerja oke, fisik oke (fisiknya yang terakhir koq). :-D. Bagi
mereka yang belum menikah, ini mejadi sebuah hal yang harus dipersiapkan. Bagi
yang sudah menikah tentu saja tidak perlu mengulang lagi pernikahannya.
Keluarga seperti
apa yang ingin dibangun? Ini menjadi pertanyaan pertama sebelum pertanyaan
diatas. Merencanakan keluarga, dimulai dengan merencanakan menikah dengan
siapa. Mau yang asal menikah? Asal laki-laki? Lalu keluarganya menjadi keluarga
yang asal juga.
Beberapa orang
yang saya temui mengatakan dia tidak masalah ketika harus menikah dengan
laki-laki seperti apapun itu, asalkan agamanya bagus. Urusan dia berasal dari
gerakan lain, itu bukan masalah. Saya sepakat dengan pendapat itu. Bagaimanapun
pernikahan yang dilarang adalah pernikahan lintas agama, bukan lintas gerakan.
Namun, saat saya tanyakan pertanyaan selanjutnya, “Keluarga seperti apa yang
direncanakan? Menikah dengan yang berbeda gerakan akan membawa konsekwensi.”
Sebagian dari mereka terdiam, sebagian lain menjawab, “Saya tidak tahu”. Nah
loh? Bagaimana ceritanya ini, menikah untuk mencari suami atau membentuk keluarga?
Pada poin ini,
kita belajar bahwa final itu ada di awal.
Bagaimana
dengan Mahar?
Saya
punya banyak pengalaman tentang mahar. Tentu saja bukan saya yang mengajukan
mahar. Kebetulan orang tua saya -bapak- adalah perangkat desa. Beliau mengurus
administrasi orang-orang yang akan menikah. Jadi, saya selalu bisa menebak,
kalau ada orang datang kerumah pasti urusannya adalah menikahkan anaknya.
Sejak
kecil saya terbiasa mendengar pertanyaan, “Arep njaluk mahar piro nduk? –mau
minta mahar berapa nduk?-” Bapak selalu menanyakan itu kepada calon mempelai
perempuan. Jawabannya beragam. Mulai dari serbu rupiah, lima ribu rupiah,
hingga sepuluh ribu rupiah. Hingga saat ini saya belum pernah mendengan para
“pasien” bapak meminta mahar lebih dari sepuluh ribu. Tahun 2011 kemarin malah
masih ada yang meminta mahar seribu rupiah.
Reaksi
saya pertama kalia adalah. Murah banget! Ini nggak salah? Seribu rupiah dapat
apa? Gorengan dua? Masih mending kalau uang yang diberikan adalah uang cetakan
baru dari bank. Tidak jarang uangnya kucel bin kumel. Ini fakta!!
Semua
itu bukan karena Rosul pernah mengatakan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah
yang paling murah maharnya. Mungkin ketulusan, atau apapun itu yang saya
sendiri kurang mengerti. Toh, ada juga yang bercerai. Apakah itu karena
ketulusan? I don`t think so.
Lalu,
apakah harus yang mahal. Seorang ustadz pernah menyampaikan hal ini. Seorang
perempuan boleh mengajukan mahar dengan jumlah yang besar. Ini sah-sah saja.
Meskipun dulu Umar RA pernah membuat batasan jumlah mahar, Umar RA sudah
mengakui kesalahannya. Boleh-boleh saja seorang perempuan mengajukan mahar
misalnya sepuluh ekor sapi, atau mau mencontoh rosul? 700 unta untuk meminang
bunda Khadijah.
“Biar
mereka berpikir ulang kalau ingin bercerai,” begitu kata teman saya.
“Istri
mahal, kalau cerai ruginya banyak donk!” mungkin jawaban ini yang ingin
didapatkan.
Apakah
itu menjamin? Lalu, bagaimana dengan para laki-laki yang akhirnya beranggapan
bahwa menikah itu mahal? Mending kalau udah kebelet, ke pijat plus-plus seratus
ribu bisa. Bahkan kalau suka sama suka, bisa gratis. Nah loh? Masalah juga kan?
Pernah
melihat film ketika cinta bertasbih yang diambil dari bukunya kang Abik? Atau membaca
buku yang berjudul ‘Pudarnya Kecantikan Cleopatra’ –saya kurang yakin dengan
judulnya, sepertinya saya salah tulis-? Kalau mencermati, kita bisa tahu berapa
mahar minimal seorang laki-laki di Alexandria ketika ingin meminang perempuan
disana. Perempuan disana bisa menetapkan
mahar 80.000
pounsterling. Nilai yang sangat fantastis apabila di rupiahkan.
Perempuan Alexandria memang terkenal cantik.
Lalu? Apa Hubungannya?
Mari kita hubungkan. Tanpa kita lihat apakah mahar
yang mahal itu akan menghalangi sepasang suami istri untuk bercerai. Tanpa
menelisik lebih murah lebih baik. Mahar 80.000 pounsterling untuk mendapatkan perempuan cantik, lalu berapa mahar yang layak untuk
mendapatkan perempuan sholihah, terjaga agama lisan, pandangan dan hatinya?
Berapa mahar yang harus dibayarkan seorang pemuda untuk meminang muslimah
pengemban dakwah, yang sebagian besar waktunya digunakan untuk berdakwah?
Sangat mahal tentu saja. Bukan hanya sekedar 80.000 pounsterling, bukan sekedar materi. Penjagaan,
ilmu, kasih sayang, menjadi qowwam yang baik dan tentu saja siap menyelesaikan ujian
bersama.
Yogyakarta, 15 Juli 2012
~Je~
Tidak ada komentar:
Write Comment