Senin, Juli 16, 2012

Musim cinta (lagi)



Doa bulan ini adalah Barakallahu laka wa Baraka`alayka wa jama`a baynakuma fii khair. Hem, musim cinta lagi. Bukan hanya satu orang dua orang. Lebih dari lima orang yang memberikan undangan. Dimulai dari tanggal 1 hingga menjelang ramadhan. Seneng pake banget, saat ada yang sudah berani mengambil langkah besar menyudahi masa lajang. Apalagi mereka masih terhitung muda, seumuran bahkan lebih muda. Salut, seneng, dan minder karena belum bisa seberani itu. 

Alasan dan Alasan
Akan selalu ada banyak alasan kalau dicarai. Manusia memang gudangnya alasan. Begitu pula dalam menikah, pasti akan selalu saja ada alasan untuk tidak -belum- menikah. Tidak siap, belum lulus, belum kerja, hingga belum ketemu jodohnya. Macam-macam dan beragam alasannya.

Semua orang berhak mengajukan alsan masing-masing, apapun itu. Semua alasan tentu ada konsekwensinya. Bagi yang memilih untuk tidak -belum-menikah sekarang, tentu saja mau tidak mau harus menanggung konsekwensi. Konsekwensi minimal adalah menjadi buah bibir masyarakat, apalagi masyarakat desa.

Bagi yang memilih untuk segera menikah tentu saja punya konsekwensi yang lebih besar. Tanggungjawab bertambah, target bertambah hingga akhirnya target-target awal harus ditata ulang. Apalagi bagi perempuan. siap menikah berarti siap menjadi ibu. Bulan ini menikah berarti harus sudah siap jadi ibu bulan selanjutnya. Selalu begitu.

Saya menemukan banyak orang yang menikah karena faktor usia. Terutama perempuan, merasa sudah berumur kepala dua, kekhawatiran mulai muncul. Apalagi kalau selama ini belum pernah ada laki-laki yang mendekat, semakin bingunglah dia. Ini nyata terjadi, miris memang. Mereka bukan menikah karena pada dasarnya mereka sudah siapa atau sudah mempersiapkan, namun karena ‘terpaksa’. Beberapa waktu lalu ada seorang teman bercerita. Kisah saudara dekatnya yang sedang bingung karena tak kunjung menikah, padahal umur sudah 25 tahun. Belum punya pacar dan tidak punya teman laki-laki yang cukup dekat. Konsep ta`aruf tak dikenalnya. Hingga akhirnya dia mengatakan sebuah perkataan putus asa, “Aku nikah sama siapa aja deh, ntar kalau ibuku punya temen yang punya anak laki-laki, aku nggak masalah dijodohin”. #Jleb. Sebagai perempuan saya ikut prihatin. Bukan konsep perjodohannya, namun konsep menikahnya. Hanya karena tidak ada yang lain.

Sisi lain ada juga yang tak kunjung menikah karena merasa belum siap. Padahal menurut beberapa orang yang sudah menikah, pada dasarnya tidak ada orang yang benar-benar siap untuk menikah saat dia menikah. Kesiapan itu akan datang bersama dengan bertambahnya tanggungjawab.

Ini bukan hal yang serta merta mudah diputuskan. Apalagi dalam kondisi yang kurang ‘fit’ ruhiyahnya. Nasehat dari seorang guru, putuskanlah keputusan untuk menikah disaat kondisi ruhiyah benar-benar baik. Bukan karena tidak ada yang lain lalu dengan mudah mengiyakan siapapun yang datang. Dan tentu saja bukan karena belum banyak yang datang lalu dengan mudahnya mengatakan tidak, karena merasa laku.

Menanam Pohon Harapan
Beberapa waktu yang lalu, seorang adek bercerita tentang teman-temannya yang tiba-tiba ‘’ datang’’. Bukan hanya satu orang dua orang. “Mereka mengajak ta`aruf mbak,” begitu katanya. “Lalu?” Tanya saya. Aku merasa belum siap, kau masih belum lulus. Masak iya aku mau nikah. Aku bilang saja, tunggu saya lulus dan silahkan datang ke orang tua.

Ada yang salah dengan dialog diatas? Tentu saja tidak salah kalau itu hanya dikatakan untuk satu orang. Salahnya adalah, dia mengatakan itu kepada setiap orang yang datang kepadanya. Mungkin saat ini masalah selesai, tapi bagaimana dengan tahun depan? Saat dia benar-benar lulus. Bagaimana kalau ada sekian laki-laki yang datang ke rumahnya?

Hal yang sama dulu pernah dilakukan kakak tingkat saya di kampus. Beliau cantik, anggun, kalem, nggak neko-neko, pokoknya akhwat banget. Bisa ditebak, tidak hanya satu dua orang yang menaruh hati padanya. Kepada semua laki-laki itu dia mengatakan, “Silahkan cari kerja dulu, kalau sudah mapan, silahkan datang ke rumah. Orang tua saya pasti setuju.” Beruntung orang-orang yang pernah menaruh hati itu belum mapan saat ada orang yang serius dengan beliau. Jadilah orang-orang itu kumpulan laki-laki ‘patah hati’.  Ini nyata terjadi. Sebuah fenomena yang harus di evaluasi oleh para perempuan. jangan dengan mudah memberikan harapan. 

Lalu, Menikah dengan Siapa?
Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Terutama untuk perempuan. Menikah dengan siapa?  Siapa orang yang pas, agama oke, keturunan oke, kerja oke, fisik oke (fisiknya yang terakhir koq). :-D. Bagi mereka yang belum menikah, ini mejadi sebuah hal yang harus dipersiapkan. Bagi yang sudah menikah tentu saja tidak perlu mengulang lagi pernikahannya.
Keluarga seperti apa yang ingin dibangun? Ini menjadi pertanyaan pertama sebelum pertanyaan diatas. Merencanakan keluarga, dimulai dengan merencanakan menikah dengan siapa. Mau yang asal menikah? Asal laki-laki? Lalu keluarganya menjadi keluarga yang asal juga.

Beberapa orang yang saya temui mengatakan dia tidak masalah ketika harus menikah dengan laki-laki seperti apapun itu, asalkan agamanya bagus. Urusan dia berasal dari gerakan lain, itu bukan masalah. Saya sepakat dengan pendapat itu. Bagaimanapun pernikahan yang dilarang adalah pernikahan lintas agama, bukan lintas gerakan. Namun, saat saya tanyakan pertanyaan selanjutnya, “Keluarga seperti apa yang direncanakan? Menikah dengan yang berbeda gerakan akan membawa konsekwensi.” Sebagian dari mereka terdiam, sebagian lain menjawab, “Saya tidak tahu”. Nah loh? Bagaimana ceritanya ini, menikah untuk mencari suami atau membentuk keluarga?
Pada poin ini, kita belajar bahwa final itu ada di awal.

Bagaimana dengan Mahar?
Saya punya banyak pengalaman tentang mahar. Tentu saja bukan saya yang mengajukan mahar. Kebetulan orang tua saya -bapak- adalah perangkat desa. Beliau mengurus administrasi orang-orang yang akan menikah. Jadi, saya selalu bisa menebak, kalau ada orang datang kerumah pasti urusannya adalah menikahkan anaknya.

Sejak kecil saya terbiasa mendengar pertanyaan, “Arep njaluk mahar piro nduk? –mau minta mahar berapa nduk?-” Bapak selalu menanyakan itu kepada calon mempelai perempuan. Jawabannya beragam. Mulai dari serbu rupiah, lima ribu rupiah, hingga sepuluh ribu rupiah. Hingga saat ini saya belum pernah mendengan para “pasien” bapak meminta mahar lebih dari sepuluh ribu. Tahun 2011 kemarin malah masih ada yang meminta mahar seribu rupiah.

Reaksi saya pertama kalia adalah. Murah banget! Ini nggak salah? Seribu rupiah dapat apa? Gorengan dua? Masih mending kalau uang yang diberikan adalah uang cetakan baru dari bank. Tidak jarang uangnya kucel bin kumel. Ini fakta!!

Semua itu bukan karena Rosul pernah mengatakan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah yang paling murah maharnya. Mungkin ketulusan, atau apapun itu yang saya sendiri kurang mengerti. Toh, ada juga yang bercerai. Apakah itu karena ketulusan? I don`t think so.

Lalu, apakah harus yang mahal. Seorang ustadz pernah menyampaikan hal ini. Seorang perempuan boleh mengajukan mahar dengan jumlah yang besar. Ini sah-sah saja. Meskipun dulu Umar RA pernah membuat batasan jumlah mahar, Umar RA sudah mengakui kesalahannya. Boleh-boleh saja seorang perempuan mengajukan mahar misalnya sepuluh ekor sapi, atau mau mencontoh rosul? 700 unta untuk meminang bunda Khadijah.

“Biar mereka berpikir ulang kalau ingin bercerai,” begitu kata teman saya.
“Istri mahal, kalau cerai ruginya banyak donk!” mungkin jawaban ini yang ingin didapatkan.

Apakah itu menjamin? Lalu, bagaimana dengan para laki-laki yang akhirnya beranggapan bahwa menikah itu mahal? Mending kalau udah kebelet, ke pijat plus-plus seratus ribu bisa. Bahkan kalau suka sama suka, bisa gratis. Nah loh? Masalah juga kan?

Pernah melihat film ketika cinta bertasbih yang diambil dari bukunya kang Abik? Atau membaca buku yang berjudul ‘Pudarnya Kecantikan Cleopatra’ –saya kurang yakin dengan judulnya, sepertinya saya salah tulis-? Kalau mencermati, kita bisa tahu berapa mahar minimal seorang laki-laki di Alexandria ketika ingin meminang perempuan disana.  Perempuan disana bisa menetapkan mahar 80.000 pounsterling. Nilai yang sangat fantastis apabila di rupiahkan. Perempuan Alexandria memang terkenal cantik.

Lalu? Apa Hubungannya?
Mari kita hubungkan. Tanpa kita lihat apakah mahar yang mahal itu akan menghalangi sepasang suami istri untuk bercerai. Tanpa menelisik lebih murah lebih baik. Mahar 80.000 pounsterling untuk mendapatkan perempuan cantik, lalu berapa mahar yang layak untuk mendapatkan perempuan sholihah, terjaga agama lisan, pandangan dan hatinya? Berapa mahar yang harus dibayarkan seorang pemuda untuk meminang muslimah pengemban dakwah, yang sebagian besar waktunya digunakan untuk berdakwah? Sangat mahal tentu saja. Bukan hanya sekedar 80.000 pounsterling, bukan sekedar materi.  Penjagaan, ilmu, kasih sayang, menjadi qowwam yang baik dan tentu saja siap menyelesaikan ujian bersama.

Yogyakarta, 15 Juli 2012
~Je~

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment