Senin, November 12, 2012

My Teacher Forever



Saya memanggilnya Bu Yun. My teacher forever. Apa yang saya jalani sekarang, ada andil beliau didalamnya. Saya bisa kuliah S1 dan sebentar lagi melanjutkan ke jenjang S2, juga karena beliau. Apakah beliau membiayayi sekolah saya?  Tentu saja tidak, bukan hitungan biaya, tidak sekedar materi. Lebih dari itu semua.
__
Desa itu bernama desa Ngampon. Sebuah desa terpencil di sudut kota sate, Blora. Desa yang jauh dari hiruk pikuk dan gegap gempita kota. Sepanjang mata memandang, yang ada hanyalah hamparan sawah, tempat para penduduk sekitar desa menjemput rejeki. Sebagian besar penduduk desa itu adalah petani, selebihnya bekerja serabutan sebagai buruh di kota. sebagai buruh appaun dikerjakan, mencuci, mengepel, memasak, menyetrika dan lain sebagainya. Jangan tanya penghasilan, satu bulan digaji Rp 300.000,00 sudah dianggap lebih dari cukup oleh masyarakat desa ini.

Pendidikan ini bisa dibilang masih kurang. Lulus SMP sudah dianggap jempolan. Hampir sebagian besar penduduknya lulusan SR (Sekolah Rakyat). Wajar saja kesadaran untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi masih kurang. Kebanyakan anak laki-laki didesa ini lebih memilih untuk menjadi buruh serabutan untuk segera mendapatkan uang dari pada terus bersekolah. Tidak peduli jadi buruh tani, atau buruh bangunan  di kota lain, asalkan mendapatkan uang. Inilah desa kelahiran saya, tempat dimana saya pertama kali menghirup napas dunia.

Saya terlahir dari keluarga yang tidak jauh beda dari keluarga yang lainnya di desa ini. Bedanya, dari awal keluarga kami termasuk keluarga besar yang cukup dipandang di desa ini. Masalah tingkat pendidikan, orang tua saya tidak jauh berbeda dengan orang tua lain di desa kami. Alhamdulillah kedua orang tua saya pernah merantau ke luar Jawa. paling tidak secara pemikiran ada pembeda antara keluarga kami dan keluarga kebanyakan di desa ini.Tapi, apakah itu saja cukup? Apakah hanya karena sedikit perbedaan itu lantas mebuat orang tua saya mempunyai tekad yang sangat kuat untuk menyekolahkan saya melebihi tingkat pendidikan kebanyakan orang tua di desa saya? Tidak semudah itu!

Hanya ada satu sekolah dasar di desa ini. semua penduduk di desa ini meyekolahkan anaknya di sekolah itu. Meskipun begitu, tak jarang satu kelas hanya diisi 10 peserta didik. Bahkan saat saya kelas 6 SD, kelas saya hanya diisi 8 murid. Jadi semuanya pasti dapat rangking dikelas. Semuanya pasti masuk sepuluh besar, lebih tepatnya delapan besar.  Jumlah pengajar disini juga tak banyak. Enam guru wali kelas ditmabah dengan beberapa guru pelajaran khusus seperti olahraga dan agama islam. Ada satu guru yang menginspirasi saya sejak kelas satu SD. Saya memanggilnya Bu Yun. Tentu saja beliau tidak seperti Mario Teguh yang pandai memainkan kata untuk memberikan motivasi. Namun, apa yang beliau lakukan lebih dari cukup untuk dipanggil sebagai guru SD. Beliau adalah my teacher forever, guru saya selamanya.

Beliau mengajar saya saat saya duduk dibangku kelas 1 SD. Cara mengajarnya asyik, buktinya saya bisa jadi juara 1 di kelas JJ. Tapi, bukan ini yang membuat saya jadi agak dewasa sebelum waktunya. Waktu saya kelas satu SD, Bu Yun sedang hamil besar. Maka ditengah catur wulan Bu Yun cuti melahirkan. Wah, sedihnya saya. apalagi yang menggantikan ibunya galak, ooopsss. Sudah galak, pilih kasih pula. Kebetulan anak dari ibu guru pengganti adalah teman sekelas saya. kita saingan gitu ceritanya, pas catur wulan satu saya juara satu dan dia juara dua. Nah, kayaknya si ibu pengen lihat anaknya juara kelas. Bukan negative thingking, tapi emang kenyataannya gitu. Pas kita sedang ngerjain ujian catur wulan, tiba-tiba si ibu ngasih jawaban dikertas ke anaknya. Saya yang waktu itu masih kecil, dengan polosnya diam saja. Hasilnya, saya turun peringkat. Hiks, sedih rasanya.

Rupanya Bu Yun, agak curiga dengan turunnya peringkat saya di kelas. Besoknya Bu Yun menemui orang tua saya. Menanyakan bagaimana belajar saya dirumah dan lain sebagainya. Sejak saat itu Bu Yun memantau perkembangan saya, dan taraaa…cartur wulan selanjutnya saya nangkring lagi di peringkat pertama. Sejak saat itu Bu Yun memantau perkembangan saya hingga lulus SD.

Apakah hanya cukup sampai disana? Ternyata tidak, tanpa sepengetahuan saya, ternyata Bu Yun mengemati perkembangan sekolah saya lewat orang tua saya. lulus dari SD Ngampon saya  melanjutkan di SMP favorit di kota Blora, SMP 1 Blora. Tiga tahun berllau dengan cepat. Lulus SMP N 1 Blora, lanjut ke SMA 1 Blora. Ini juga SMA Favorit di kota kami, dan selama ini Bu Yun memantau perkembangan saya. Hingga akhirnya sudah waktunya saya melanjutkan ke perguruan tinggi.

Beliau masih seperti yang dulu,
“Nur, mau melanjutkan kemana?” Nur adalah panggilan kecil saya.
Saya hanya menjawab dengan senyuman.
“Pokoknya harus lanjut kuliah ya.” Begitu pesannya. Besoknya, giliran ibu saya yang dapat “wejangan” dari beliau.
“Bu, Nur itu pinter. Sayang kalau sekolahnya tidak lanjut.”
Besok, besok, dan besoknya lagi, Bu Yun rutin mengunjungi orang tua saya. intinya hanya satu. Saya harus kuliah!
Hari ini, semuanya sudah hampir selesai. Gelar S.Si tinggal selangkah lagi. Sekian tahun berselang, dan selama itu saya tidak pernah bertemu dengan beliau lagi. Tapi, apakah beliau lupa dengan saya? Apakah beliau berubah?
“Bu, Nur langsung S2 saja. Masalah biaya gampang. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Ibarat kata, kencangkan ikat pinggang sejenak.”

Beliau masih seperti yang dulu. Bu Yun, my teacher forever.



Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba: Indonesia Berkibar "Guruku Pahlawanku"


    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment