“Nomor satu!”
Saya langsung lari tunggang langang masuk kelas.
Huaaa..mencongak
lagi?
Begitulah
kira-kira ekspresi saya waktu itu. Saat saya masih kelas 4 SD. Hampir setiap
pagi musti mngerutkan kening, pura-pura mikir, padahal sebenarnya bingung mau
nulis apa. Lupa apa jawabannya.
Kami memanggilnya Pak Parjan. Nama lengkap beliau Soeparjan,
dengan ejaan lama. Huruf ‘u’ masih ditulis dengan ‘oe’. Beliau adalah kepala
sekolah si SD tempat saya belajar. Oranng tidak terlalu tinggi, bahkan boleh
dibilang agak pendek. Perwakan gemuk dengan perut buncit, dan satu lagi botak.
Bagi yang pertama kali melihat, kesan pertama yang terlintas adalah GALAK.
Tapi, menurut saya yang sudah lama mengenal beliau, beliau emang galak. Sekali galak
tetap galak, hehehehe Selain galak, beliau juga ngeyelan. Kebetulan beliau
sering main kerumah. Biasalah ngobrol ngalor ngidul sama babe. Kadang beliau
berdua (babe dan Pak Parjan), kayak dua orang yang sedang berantem.
“Lha
kalau aku sholatnya caranya gini gimana mbah?” Pak Parjan memanggil bapak saya
dengan sebutan mbah.
“Ya,
nggak boleh!
“Kenapa
nggak boleh?” Begitulah, setiap beliau berdua ketemu, pasti ada saja yang
diributkan. Eits, out of topic! Oke,
let`s back to the topic.
Setiap pagi hari sebelum bel berbunyi saya ketir-ketir
(khawatir), karena apa? Kepala sekolah kami punya kebiasaan untuk mencongak
matematika pagi-pagi. Tanpa pemberitahuan pula. Nyebelin kan? Saat kita lagi
asyik-asyiknya maen petak umpet, tiba-tiba si bapak dengan PDnya, jalan cepat
dengan kekuatan penuh masuk ke ruangan kelas empat. Bisa ditebak kalimat
pertama yang beliau ucapakan.
“Nomor
satu”
Sontak
kita yang masih berkeliaran maen langsung berlari rebutan masuk kelas. Belum sempurna
kami meletakkan pantat di kursi, muncul kalimat selanjutnya,
“4X8”
Wuaaa…mencongak
matematika lagi! Belum selesai mengeluarkan alat tulis dari tas, sudah muncul
pertanyaan kedua,
“8X9”
Hiks, kali ini sumpah saya pengen mewek, nangis. Gimana nggak
nagis coba, mana ada anak kelas empat hafal perkalian dari 1X1 hingga 10X10.
Parahnya hal ini harus saya hadapi minimal 4 kali dalam seminggu. Coba
bayangkan, betapa menderitanya saya waktu itu? #lebay.
Selain kita seringnya lupa jawabannya, lebih tepatnya belum
tahu jawabannya. Ketinggalan menjawab menambah sempurna lubang-lubang dijawaban
kami. Tak heran kalau kami sering dapat nilai 4, karena yang berhasil dijawab
cuma 8 nomor dan setengah dari jawabannya salah. Sebenarnya nggak masalah sih,
berapapun nilai yang nantinya kita dapatkan. Tidak ada pengaruhnya ini sama
nilai ulangan harian. Nilainya memang tidak masuk ke penilaian raport, tapi si
bapak kepala sekolah yang super kreatif ini punya cara tersendiri yang unik dan
ajaib untuk memakasa kita belajar perkalian dan pembagian matematika, yaitu
kalau sampai nilainya dibawah lima, besoknya kami diwajibkan membawa pasir
sungai satu ember.
Cara ini manjur dan mujarab saudara, kita yang dasarnya nggak
pinter-pinter amat, jadi rajin ngapalin perkalian dan pembagian matematika.
Sebabnya satu, kita tidak mau jadi kuli bangunan setiap hari. Bisa dibayangkan
kalau dari hari senin sampai kamis, dapat nilai dibawah lima, bisa-bisa saat
naik kelas lima, kami semua sudah kekar berotot. Bisa-bisa sekolah kami jadi
sekolah pertama penghasil atlet angkat ember pasir se-Indonesia. Tak bisa
dibayangkan, tiba-tiba ada cabang olahraga baru, lomba angkat ember berisi
pasir. OMG! Oh No! Big no no!
Semenjak saat itu hampir setiap hari pada pegang catatan kecil
sambil mengucapkan matra ajaib macam-macam.
“Lima
kali dua sama dengan sepuluh”
“Delapan
kali sembilan sama dengan tujuh puluh dua”
“Sembilan
kali sembilan sama dengan delapan puluh satu”
Begitulah, si bapak membelajarkan kami. Meskipun setiap hari
kami harus senam jantung, belum lagi ancaman seember pasir, tapi akhirnya kami
terbiasa. Mencongak matematika menjadi kegiatan rutin yang tidak lagi
menakutkan, karena lama-lama kami hafal (walau ada yang masih dengan
terpaksa). Satu lagi cara unik untuk
membelajarkan Indonesia. Pembiasaan!
Spesial untuk Almarhum bapak Soeparjan
Terimakasih untuk semua pembelajarannya
1 komentar:
Write Commentpenuh inspirasi untuk tulisan ini. sukses terus
BalasHapus