Sabtu, Mei 11, 2013

Cerita-Cerita Pengantin


Gambar Menyusul :D
Sastra. Apa itu sastra? Sapai saat ini aku masih bingung kalau ditanya. Kamu ikut organisasi kepenulisan kan? Kamu bisa nulis kan? Bisa nggak mengartikan puisi ini? Diam. hanya itu yang bisa aku lakukan. Sampai sekarang aku masih sering menghindari buku “sastra berat”. Pernah dulu saat aku ulang tahun ke-20, ada seorang teman yang menghadiahkan sebuah buku sastra kepadaku. Judulnya aku sudah lupa, buku itu kini sudah masuk ke dalam kardus. bukan aku tak ingin memahami buku itu, hampir satu bulan aku coba menyelesaikan buku itu, tapi sampai sekarang aku rasa-rasanya tak ingin lagi membaca buku itu. kecuali kalau aku ingat ada seseorang disana yang memberikan buku itu untukku. Tapi sekeras apapun aku mencoba memahaminya, aku hanya seperti orang linglung.

Sejak bertahun-tahun lalu. Mulai dari pertama kali aku mengenal perpustakaan dan “buku”, aku sudah mulai membaca banyak buku atau kumpulan cerpen. Tapi meskipun seperti itu aku “menyisihkan” buku-buku “sastra berat” . bukan aku tak mau membacanya, tapi lebih karena aku tak mampu memahaminya. Kenapa sastra harus begitu rumit? Pertanyaan itu yang sampai sekarang belum bisa kutemukan jawabannya.

Beberapa waktu yang lalu aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke sebuah pameran buku. Besar-besaran di Jogja. Banyak buku dijual dnegan harga yang sangat murah. Kadang, sebagai pecinta buku aku prihatin. Buku sebagus itu hanya dihargai 10.000, bahkan ada yang dihargai 5000 rupiah. Tidakkah para penerbit itu berpikir tentang proses kreatif yang harus dilalui para penulis untuk melahirkan sebuah buku. Bukan serta merta semalam jadi. Bulanan, bahkan mungkin tahunan. Itu pun masih harus direvisi berkali-kali. Di pameran itu aku menemukan sebuah buku yang ditulis keroyokan oleh penulis-penulis kenamaan di Indonesia. Mulai dari Ahmad Tohari, Ayu Utami, Prie GS, A. Mustofa Bisri, Abidah el-Khalieqy dan lain sebagainya. Aku tertarik dengan buku itu. secara fisik buku itu sudah jelek. Mungkin dyulu covernya putih, tapi sekarang sudah kekuningan dan noda dimana-mana. Judulnya, cerita-cerita pengantin. Aku putuskan untuk membelinya. Sekali lagi aku harus meringis, aku membeli buku itu seharga 10.000. Semurah itukah ide di hargai di negeri ini?

Setelah aku membayar buku itu, aku berjalan ke toko buku selanjutnya. Disana aku lebih ingin menangis. Aku bukan menangis karena sedih, tapi marah. Dengan sangat gamblang, mereka menjual bajakan buku dalam bentuk softfile. Entah apa kutukan yang diterima negeri ini. ide tak ubahnya sepeti barang buangan yang tidak dihargai.

Buku yang sudah kekening-kuningan itu kubawa pulang. Berharap aku bisa sedikit membuka celah sastra dari buku itu. Sebuah pengantar manis diberikan oleh seorang Triyanto Triwikromo. Penulis yang menulis buku Rezim Seks, Ragaula, Sayap Anjing dan lain sebagainya. Blow Kiss untuk Kekasih, begilau judul pengantarnya. Sebuah kalimat pertama yang dia pilih bisa menggambarkan apa yang akan dia tulis selanjutnya. “Jangan pernah menganggap perkawinan sebagai porselin atau keramik yang tak pernah retak”. Hampir semua cerpen di tertulis dibuku ini menceritakan perkawinan dari sudut yang berbeda. bukan sekedar cara meneguk minuman manis, atau membuat gula-gula dari senyuman pengantin baru. Mulai dari pengantin yang menikah dengan tumbal kakeknya, hingga bujang lapuk yang “takut” perempuan.

Bagus, tapi sampai hari ini, buku itu pun tak kunjung kuselesaikan. Sekali lagi, karena bagiku sastra masih satu hal yang terlalu manis untuk sekedar direguk.
Endorfin

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment