Sering banget ada
orang yang nanya kayak gini ke aku. Mungkin mereka khawatir kali ya, aku nggak
bisa kagum sama cowok. Hihihi. Sampai-sampai seorang teman pernah nanya, “Je,
kamu pernah suka sama cowok nggak sih?”. Hahaha. Aku langsung tertawa lepas
begitu saja. Dikira aku nggak normal kali ya. Ya pernah lah.
Nah kali ini
tentang seseorang pernah aku kagumi. Nggak ada hubungannya dengan hati kok.
Hanya sebatas kagus karena dia berhasil melakukan sesuatu. Itu saja. Nggak lebih.
Dia datang kepadaku malam itu. lewat sebuah sms. Intinya ngajak makan-makan
syukuran wisuda. Aku juga sempet heran, lha ngapain aku diundang. Seumur-umur
baru sekali ini aku aku diundang makan malam, sama cowok pula. :D. Temen kok.
Kami kenal sudah
cukup lama. Sejak semester 2 kalau nggak salah ingat. Kebetulan kita bareng di
sebuah acara pelatihan yang cukup lama. Hampir ber bulan-bulan dan ada acara
camping segala. Makanya kenal cukup dekat dengannya. Back to topic.
Aku masih sangat
ingat, malam itu dia mengatakan kalau dia mulai berubah. Mulai ingin belajar
Islam. Nggak main-main lagi sama cewek. nah ini dia poin terakhir yang aku
garis bawahi. What happen bro? kurang lebih begitulah yang tersirat dari kerutan
alisku.
Mulailah dia
bercerita. Dia ingin menikah. Huikk..kenapa musti cerita ke aku sih. Aku kan
jadi GR. Hahaha ngarang banget. Syok aja, dia yang selama ini sangat slengekan,
apalagi sama cewek, tiba-tiba menyatakan sebuah niat serius.
Awalnya aku sih
nggak percaya. Aku memancingnya dengan beberapa pertanyaan. Intinya biar aku
yakin, apa bener nih makluk udah berubah. Kemarin aja dia masih colek sana
colek sini. “Aku ingin menikah”. Mantap sekali dia berbicara seperti itu.
“Menikah itu
hukumnya bisa macam-macam lho, bisa wajib, sunnah, haram juga bisa…”
“Aku sudah masuk
dalam kategori wajib.” Bahkan aku belum selesai berbicara, dia sudah memotong
pembicaraanku. Waktu itu aku nggak bisa berbicara panang lebar. Soalnya kita
ketemunya udah malam, sekitar jam 8 malem. Aku pun pulang hampir jam 9 lewat. Pakai
acara kucing-kucingan dari para takmir masjid pula. Kalau sampai dianterin
pulang sama takmir kan tengsin.
Sekian bulan kemudian
MasyaAllah,
mungkin memang aku terlalu egois dengan diriku sendiri. setelah dia
menyampaikan niat itu, aku tak pernah lagi bertanya, bagaimana kabarmu kawan? Bagaimana
persiapanmu menjemput bidadarimu?
Hingga
suatu ketika, dia datang kembali. Lewat sebuah pesan singkat.
Berapa
gaji seorang laki-laki yang kalian terima pinangannya?
Wew..
ada apa lagi nih. Aku kira sudah tersibukkan dengan yang lain. Ternyata eh
ternyata, dia masih dalam sikapnya. Aku tak menjawabnya dnegan detail. Aku biarkan
dia berpikir. Intinya, paling nggak cukup untuk hidup berdua memenuhi
kebutuhan. Hahaha, padahal kebutuhan itu kan berbeda-beda antar orang. Aku kan
sukanya memasukkan daftar keinginan sebagai kebutuhan. Hihihi.
Beberapa bulan selanjutnya
Fase
kebingungannya.
Dia
mengaku kepadaku kalau dia sudah mengkhitbah seorang akhwat. Akhwat boi! Bukan perempuan
sembarangan. Aku serasa orang dapat lotre, kemana-mana tersenyum. Temenku mau
nikah. Rasanya ikutan seneng banget. Apalagi aku tahu prosesnya. MasyaAllah,
semoga berkah ya kawand. Tapi…
Aku
harus menunggu tujuh bulan lagi untuk menikah.
Awalnya
dari seneng, aku langsung manyun. Hyaa…aku kira aku tinggal menerima undangan
buat kondangan.
Kenapa?
Lalu
mengalirlah ceritanya. Si akhwat yang dia khitbah masih belum yakin dengan dia.
padahal akhwat itu sudah menerima pinangannya. Bayangkan, seorang laki-laki
dibandingkan dengan laki-laki lain. Pasti itu berat sekali.
Aku
pun nggak bisa berbuat banyak. Saat itu aku menyarankan untuk terus mendesak
orang tuanya agar mensegerakan pernikahan itu. Pertama untuk menjaga keduanya. Selainnya
adalah untuk mempercepat kebaikan. Allahu Rabbi. Sebelum genap 7 bulan mereka
akhirnya menikah.
Aku
seperti orang gila begitu mendengar kabarnya. Kabar itu langsung dia sms kan
padaku. Huaa…senang sekali. Ada satu hal yang aku salutkan dari temanku satu
ini. dia begitu rapat menyimpan apa yang dia rasakan. Hanya untuk orang-orang
tertentu saja dia membukanya.
Hari
ini, diumurnya yang ke-23, dia sudah punya seorang bayi perempuan. (Saat yang
sama ketika aku masih merasakan ketidakasiapan untuk menjadi sepertinya).
Kawand, aku belajar sangat banyak sekali darimu. Semoga yang terbaik selalu
untuk keluargamu. Untuk putrimu, dia juga putriku. Istrimu juga saudaraku.
Terimakasih Allah telah mempersaudarakan kami.
_Sije_
Tidak ada komentar:
Write Comment