Minggu, Januari 05, 2014

Jadilah penunggu yang baik

Beberapa bulan ini saya mencoba melupakan bahasan ini. Mencoba menganggap ini bukan urusan saya. Bahwa kalian (kita) sudah cukup dewasa untuk memilih mana yang baik dan mana yang benar. Tapi jujur, sekuat saya mencoba untuk tidak mau tahu dan ingin melupakan sekuat itu pula kegelisahan saya. Dan akhirnya pagi ini (tulisan ini saya buat pagi hari) kegelisahan saya sudah tidak bisa dibendung. Satu-satunya cara adalah menuliskannya.

Boleh para pembaca menganggap saya terlalu lebay melihat fenomena ini. Tapi inillah yang memang terjadi. Kalau untuk urusan hati saja masih belum beres, bagaimana mau mengurus umat? (Kalimat terakhir selalu menjadi motivasi saya untuk terus bergerak menjadi manusia yang layak disebut manusia tahu diri).

Menikah, menjadi sebuah peristiwa yang begitu ditunggu umat manusia. Semua orang pasti menginginkannya. Bersama dengan seseorang. Bahagia selamanya. Tapi, bahasan kali ini bukan tentang nikahnya. Karena peristiwa satu itu selalu baik. Yang menjadikannya kadang kurang manis adalah mereka yang menjalaninya.

Satu yang tidak bisa dilepaskan dari kata menikah adalah menunggu. Menunggu jodoh, menunggu restu, menunggu proses, menunggu dan terus menunggu. Adakah orang di dunia ini yang suka menunggu? Saya kira hanya beberapa orang saja. Selebihnya lebih suka untuk tidak menunggu. Sayangnya masa menunggu ini banyak diisi dengan hal yang tidak seharusnya. Apalagi kalau “kepastian” yang sebenarnya belum pasti itu sudah ditangan. Restu sudah ditangan, semua berjalan lancar layaknya jalan tol. Hanya tinggal mempersiapkan hari-H.

Justru disinilah ujiannya. Rasa “memiliki ” yang tidak seharusnya. Oh GOD! Dia bukan milikmi bro, sis. Seolah tidak sabar menunjukkan pada dunia.

“Ini lho, saya sedang berproses dengan si ini”

“Ini lho kami sudah lamaran”

“Ini lho kami sekian bulan lagi mau nikah”

Ini hanya hal yang terlihat, yang tidak terlihat dan terdengar masih lebih banyak lagi. komunikasi yang pelan-pelan berubah menjadi lebih intens, lebih cair dan lebih lama. Pertemuan yang tidak ada gunanya. Hingga kata-kata manis yang belum waktunya.

Justru disini letak ujiannya. Apakah kita bisa menjadi penunggu yang baik? Yang masih sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa dia bukan siapa-siapa. takdir Allah masih begitu panjang. Tetap tahu diri dan terus memperbaiki diri.

Catatan dari penulis:


Tulisan ini muncul karena melihat begitu banyak fenomena umat islam (terutama pada aktivis dakwah) yang tiba-tiba hilang kesabarannya kalau sudah berhadapan dengan hal satu ini. Kalau dalam bahasa ust. Salim, mereka yang sudah tidak sabar untuk mencicipi mawaddah sebelum waktunya. 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment