Beberapa bulan ini saya mencoba melupakan bahasan ini. Mencoba
menganggap ini bukan urusan saya. Bahwa kalian (kita) sudah cukup dewasa untuk
memilih mana yang baik dan mana yang benar. Tapi jujur, sekuat saya mencoba
untuk tidak mau tahu dan ingin melupakan sekuat itu pula kegelisahan saya. Dan
akhirnya pagi ini (tulisan ini saya buat pagi hari) kegelisahan saya sudah
tidak bisa dibendung. Satu-satunya cara adalah menuliskannya.
Boleh para pembaca menganggap saya terlalu lebay melihat
fenomena ini. Tapi inillah yang memang terjadi. Kalau untuk urusan hati saja
masih belum beres, bagaimana mau mengurus umat? (Kalimat terakhir selalu
menjadi motivasi saya untuk terus bergerak menjadi manusia yang layak disebut
manusia tahu diri).
Menikah, menjadi sebuah peristiwa yang begitu ditunggu umat
manusia. Semua orang pasti menginginkannya. Bersama dengan seseorang. Bahagia
selamanya. Tapi, bahasan kali ini bukan tentang nikahnya. Karena peristiwa satu
itu selalu baik. Yang menjadikannya kadang kurang manis adalah mereka yang
menjalaninya.
Satu yang tidak bisa dilepaskan dari kata menikah adalah
menunggu. Menunggu jodoh, menunggu restu, menunggu proses, menunggu dan terus
menunggu. Adakah orang di dunia ini yang suka menunggu? Saya kira hanya
beberapa orang saja. Selebihnya lebih suka untuk tidak menunggu. Sayangnya masa
menunggu ini banyak diisi dengan hal yang tidak seharusnya. Apalagi kalau “kepastian”
yang sebenarnya belum pasti itu sudah ditangan. Restu sudah ditangan, semua
berjalan lancar layaknya jalan tol. Hanya tinggal mempersiapkan hari-H.
Justru disinilah ujiannya. Rasa “memiliki ” yang tidak
seharusnya. Oh GOD! Dia bukan milikmi bro, sis. Seolah tidak sabar menunjukkan
pada dunia.
“Ini lho, saya sedang berproses dengan si ini”
“Ini lho kami sudah lamaran”
“Ini lho kami sekian bulan lagi mau nikah”
Ini hanya hal yang terlihat, yang tidak terlihat dan terdengar
masih lebih banyak lagi. komunikasi yang pelan-pelan berubah menjadi lebih
intens, lebih cair dan lebih lama. Pertemuan yang tidak ada gunanya. Hingga kata-kata
manis yang belum waktunya.
Justru disini letak ujiannya. Apakah kita bisa menjadi
penunggu yang baik? Yang masih sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa dia bukan
siapa-siapa. takdir Allah masih begitu panjang. Tetap tahu diri dan terus
memperbaiki diri.
Catatan dari penulis:
Tulisan ini muncul karena melihat begitu banyak fenomena umat
islam (terutama pada aktivis dakwah) yang tiba-tiba hilang kesabarannya kalau
sudah berhadapan dengan hal satu ini. Kalau dalam bahasa ust. Salim, mereka
yang sudah tidak sabar untuk mencicipi mawaddah sebelum waktunya.
Tidak ada komentar:
Write Comment