Sabtu, Januari 11, 2014

Perempuan

Saya lama untuk menemukan judul yang pas untuk tulisan saya kali ini. Pengen yang menggingit, tapi apa ya. Hingga akhirnya tertulis sampai selesai, saya masih belum bisa menemukan satu judul yang pas (bagi saya). Tulisan ini saya persembahkan untuk para perempuan dan laki-laki yang masih terkungkung dengan pikirannya. Mereka yang menganggap aturan masyarakat menjadi sebuah keharusan. Bahwa perempuan harus mengalah dan laki-laki harus diatas perempuan. Padahal Islam sudah mengaturnya menjadi begitu indah bagi perempuan. Semoga para pembaca semua sudah cukup proporsianal menilai diri sendiri. Baik itu sebagai perempuan terhadap laki-laki. Maupun laki-laki terhadap perempuan.

Bagi saya, menjadi perempuan adalah sebuah hal terindah. Meskipun saya akui, sampai lulus kulian saya masih ‘protes’, kenapa saya dilahirkan sebagai perempuan? Makluk yang begitu banyak aturannya. Tidak boleh pergi tanpa mahramnya. Harus menutup aurat, yang bagi saya (dulu) sangat merepotkan. Harus pakai kaos kaki. Tidak boleh menyanyi di depan umum. Oh man, itu siksaan (menurut saya waktu itu). Meskipun bagi saya itu ‘siksaan’, entah kenapa saya tetap melakukannya. Begitu kuatnya Allah mengikat saya. Alhamdulillah.

Tapi saya mensyukurinya kini. Ada begitu banyak kemudahan yang diterima perempuan yang tidak didapatkan oleh laki-laki. Ah, laki-laki, betapa inginnya saya dilahirkan sebagai laki-laki (dulu). Untung saja saya tidak berfikir gila untuk operasi ganti kelamin menjadi laki-laki. Sekali lagi saya harus bersyukur. Pikiran gila itu hanya melintas begitu saja. Jadi jangan heran kalau sampai sekarang pun saya masih belajar untuk menjadi ‘perempuan’.

Saya bukan aktivis gender, apalagi feminis. Namun kali ini saya mencoba untuk menghadirkan sebuah tulisan yang semoga bisa menunjukkan kita semua, betapa beruntungnya dilahirkan sebagai perempuan. Bayangkan saja kalau kita terlahir sebagai laki-laki. Sejak kecil, pendidikan ‘keras’ lah yang harus kita terima. Kenapa? Karena seorang laki-laki suatu saat nanti akan menjadi imam keluarganya. Imam disini bukan sekedar pemimpin yang egois memutuskan banyak hal secara sepihak. Saya kira laki-laki muslim yang baik tidak akan memutuskan sepihak. Tapi juga menanggung dosa. Nah, satu poin saja. Bukankah kita sudah sangat beruntung. Dari lahir sampai sebelum menikah kita jadi tanggungan wali kita. Termasuk dengan dosa-dosa kita. Begitu menikah, setelah ijab qobul diucapkan maka penanggungan itu langsung berpindah ke laki-laki suami kita. Jadi saya kira tidak ada alasan seorang istri untuk tidak menghormati suaminya. Bagaimana kita masih ‘tidak mau berdamai’? Bahkan, dosa kita ditanggung sepenuhnya olehnya. Semoga Allah mengkaruniai kesabaran yang luar biasa untuk para laki-laki muslim yang sudah berkeluarga.

Poin kedua, perempuanlah yang paling dilindungi. Sebagai contoh dalam keadaan perang. Islam memuliakan perempuan dengan tidak dibolehkannya dibunuh dan tidak boleh diperangi. Sedang para laki-laki, hukumnya wajib untuk ikut berperang. Taruhannya tentu saja nyawa (dengan janji surga tentunya).

Poin ketiga, setelah menikah seorang perempuan benar-benar dimuliakan. Dia tidak diberikan kewajiban apapun kecuali satu hal yang saya tuliskan diakhir tulisan ini. Kewajibannya tetap sama, mematuhi perintah Allah. Hanya itu. bahkan untuk patuh kepada suami pun tidak. Maka jangan heran kalau seorang perempuan boleh tidak patuh kepada suaminya kalau suaminya tidak patuh kepada Allah.

Dan tahukah apa kewajiban laki-laki? Menafkahi perempuan, lahir maupun batin. Apa yang melekat ditubuh kita, apa yang melindungi kita, semuanya tanggungjawabnya. Lalu bagaimana dengan aturan dimasyarakat yang katanya seorang perempuan yang sudah bersuami itu wajib menjalankan urusan domestik. Urusan domestik ini sejenis mencuci, menyetrika, memasak, menata rumah, menunggu rumah, pokoknya semua pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun ayat Allah yang mewajibkan itu semua!!. Semua itu dijadikan pilihan untuk perempuan. Ingat, bukan kewajiban, tapi pilihan. Bahkan suaminya pun tidak boleh memaksanya kalau istrinya tidak mau mengerjakan urusan pekerjaan rumah tangga tersebut. Semua itu pilihan bagi seorang perempuan.

Setiap pilihan tentu saja mengandung konsekwensi. Misalnya kalau semua itu dilakukan, rumah lebih tertata dengan baik, keuangan keluarga lebih teratur, kasih sayang dalam keluarga lebih terjaga. Berita baiknya adalah ada pahala di setiap pekerjaan rumah tangga itu. Selalu ada penggalan surga yang disiapkan untuk para perempuan yang mengerjakannya. Sekali lagi itu hanya pilihan. Kalau seorang perempuan tidak mau melakukannya, bisa jadi akan banyak hal yang tidak diinginkan terjadi. Saya kira, muslimah yang baik akan lebih memilih penggalan surga dari pada diam tanpa mengerjakan apapun. Tapi sekali lagi itu pilihan. Mau mulai mencicil surga atau tidak?
Bukan hanya tentang urusan rumah tangga, mengurus anak pun bukan kewajiban perempuan. Sangat jelas ayat yang menjelaskan tentang ini. Bahwa yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarga adalah laki-laki. Perintah untuk menjaga keluarga dari api neraka juga ditujukan untuk laki-laki. Itu artinya mengurus anakpun pada titik awalnya adalah kewajiban laki-laki.

Urusan publik? Perempuan boleh berkiprah disana. Sahabiyyah nabi sudah mencontohkannya. Bunda Khadijah misalnya, seorang entrepreneur yang begitu sukses. Juga Aisyah RA yang sampai sekarang menjadi perawi ribuan hadits nabi. Mereka perempuan dan mereka dikenal serta dikenang.

Sampai sekarang, satu hal yang diwajibkan Allah terhadap perempuan yang sudah bersuami adalah dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Dan itu juga bukan hanya kebutuhan laki-laki saja.

Jadi, masih ada yang protes karena dilahirkan sebagai perempuan? Masuklah islam dan pelajarilah islam. Maka hanya akan ada perempuan-perempuan yang dimuliakan. Atau masih ada laki-laki yang merasa begitu gagah berada diatas perempuan? Ketahuilah, kewajibanmu begitu banyak. Seharusnya kau tidak punya waktu untuk bersombong diri merasa diatas perempuan. Bukankah nilai kita di hadapan Allah sama?

_Je_
21.32 110114



    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment