Saya lama untuk menemukan judul yang pas untuk tulisan saya
kali ini. Pengen yang menggingit, tapi apa ya. Hingga akhirnya tertulis sampai
selesai, saya masih belum bisa menemukan satu judul yang pas (bagi saya). Tulisan
ini saya persembahkan untuk para perempuan dan laki-laki yang masih terkungkung
dengan pikirannya. Mereka yang menganggap aturan masyarakat menjadi sebuah
keharusan. Bahwa perempuan harus mengalah dan laki-laki harus diatas perempuan.
Padahal Islam sudah mengaturnya menjadi begitu indah bagi perempuan. Semoga
para pembaca semua sudah cukup proporsianal menilai diri sendiri. Baik itu
sebagai perempuan terhadap laki-laki. Maupun laki-laki terhadap perempuan.
Bagi saya, menjadi perempuan adalah sebuah hal terindah. Meskipun
saya akui, sampai lulus kulian saya masih ‘protes’, kenapa saya dilahirkan
sebagai perempuan? Makluk yang begitu banyak aturannya. Tidak boleh pergi tanpa
mahramnya. Harus menutup aurat, yang bagi saya (dulu) sangat merepotkan. Harus
pakai kaos kaki. Tidak boleh menyanyi di depan umum. Oh man, itu siksaan (menurut
saya waktu itu). Meskipun bagi saya itu ‘siksaan’, entah kenapa saya tetap
melakukannya. Begitu kuatnya Allah mengikat saya. Alhamdulillah.
Tapi saya mensyukurinya kini. Ada begitu banyak kemudahan yang
diterima perempuan yang tidak didapatkan oleh laki-laki. Ah, laki-laki, betapa
inginnya saya dilahirkan sebagai laki-laki (dulu). Untung saja saya tidak berfikir
gila untuk operasi ganti kelamin menjadi laki-laki. Sekali lagi saya harus
bersyukur. Pikiran gila itu hanya melintas begitu saja. Jadi jangan heran kalau
sampai sekarang pun saya masih belajar untuk menjadi ‘perempuan’.
Saya bukan aktivis gender, apalagi feminis. Namun kali ini
saya mencoba untuk menghadirkan sebuah tulisan yang semoga bisa menunjukkan
kita semua, betapa beruntungnya dilahirkan sebagai perempuan. Bayangkan saja
kalau kita terlahir sebagai laki-laki. Sejak kecil, pendidikan ‘keras’ lah yang
harus kita terima. Kenapa? Karena seorang laki-laki suatu saat nanti akan
menjadi imam keluarganya. Imam disini bukan sekedar pemimpin yang egois
memutuskan banyak hal secara sepihak. Saya kira laki-laki muslim yang baik
tidak akan memutuskan sepihak. Tapi juga menanggung dosa. Nah, satu poin saja. Bukankah
kita sudah sangat beruntung. Dari lahir sampai sebelum menikah kita jadi
tanggungan wali kita. Termasuk dengan dosa-dosa kita. Begitu menikah, setelah
ijab qobul diucapkan maka penanggungan itu langsung berpindah ke laki-laki
suami kita. Jadi saya kira tidak ada alasan seorang istri untuk tidak
menghormati suaminya. Bagaimana kita masih ‘tidak mau berdamai’? Bahkan, dosa
kita ditanggung sepenuhnya olehnya. Semoga Allah mengkaruniai kesabaran yang
luar biasa untuk para laki-laki muslim yang sudah berkeluarga.
Poin kedua, perempuanlah yang paling dilindungi. Sebagai
contoh dalam keadaan perang. Islam memuliakan perempuan dengan tidak
dibolehkannya dibunuh dan tidak boleh diperangi. Sedang para laki-laki,
hukumnya wajib untuk ikut berperang. Taruhannya tentu saja nyawa (dengan janji surga
tentunya).
Poin ketiga, setelah menikah seorang perempuan benar-benar
dimuliakan. Dia tidak diberikan kewajiban apapun kecuali satu hal yang saya
tuliskan diakhir tulisan ini. Kewajibannya tetap sama, mematuhi perintah Allah.
Hanya itu. bahkan untuk patuh kepada suami pun tidak. Maka jangan heran kalau
seorang perempuan boleh tidak patuh kepada suaminya kalau suaminya tidak patuh
kepada Allah.
Dan tahukah apa kewajiban laki-laki? Menafkahi perempuan,
lahir maupun batin. Apa yang melekat ditubuh kita, apa yang melindungi kita,
semuanya tanggungjawabnya. Lalu bagaimana dengan aturan dimasyarakat yang katanya
seorang perempuan yang sudah bersuami itu wajib menjalankan urusan domestik. Urusan
domestik ini sejenis mencuci, menyetrika, memasak, menata rumah, menunggu
rumah, pokoknya semua pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun ayat Allah yang
mewajibkan itu semua!!. Semua itu dijadikan pilihan untuk perempuan. Ingat,
bukan kewajiban, tapi pilihan. Bahkan suaminya pun tidak boleh memaksanya kalau
istrinya tidak mau mengerjakan urusan pekerjaan rumah tangga tersebut. Semua
itu pilihan bagi seorang perempuan.
Setiap pilihan tentu saja mengandung konsekwensi. Misalnya kalau
semua itu dilakukan, rumah lebih tertata dengan baik, keuangan keluarga lebih
teratur, kasih sayang dalam keluarga lebih terjaga. Berita baiknya adalah ada
pahala di setiap pekerjaan rumah tangga itu. Selalu ada penggalan surga yang
disiapkan untuk para perempuan yang mengerjakannya. Sekali lagi itu hanya
pilihan. Kalau seorang perempuan tidak mau melakukannya, bisa jadi akan banyak hal
yang tidak diinginkan terjadi. Saya kira, muslimah yang baik akan lebih memilih
penggalan surga dari pada diam tanpa mengerjakan apapun. Tapi sekali lagi itu
pilihan. Mau mulai mencicil surga atau tidak?
Bukan hanya tentang urusan rumah tangga, mengurus anak pun
bukan kewajiban perempuan. Sangat jelas ayat yang menjelaskan tentang ini. Bahwa
yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarga adalah laki-laki.
Perintah untuk menjaga keluarga dari api neraka juga ditujukan untuk laki-laki.
Itu artinya mengurus anakpun pada titik awalnya adalah kewajiban laki-laki.
Urusan publik? Perempuan boleh berkiprah disana. Sahabiyyah nabi
sudah mencontohkannya. Bunda Khadijah misalnya, seorang entrepreneur yang
begitu sukses. Juga Aisyah RA yang sampai sekarang menjadi perawi ribuan hadits
nabi. Mereka perempuan dan mereka dikenal serta dikenang.
Sampai sekarang, satu
hal yang diwajibkan Allah terhadap perempuan yang sudah bersuami adalah dalam
hal pemenuhan kebutuhan biologis. Dan itu juga bukan hanya kebutuhan laki-laki
saja.
Jadi, masih ada yang protes karena dilahirkan sebagai
perempuan? Masuklah islam dan pelajarilah islam. Maka hanya akan ada
perempuan-perempuan yang dimuliakan. Atau masih ada laki-laki yang merasa
begitu gagah berada diatas perempuan? Ketahuilah, kewajibanmu begitu banyak.
Seharusnya kau tidak punya waktu untuk bersombong diri merasa diatas perempuan.
Bukankah nilai kita di hadapan Allah sama?
_Je_
21.32 110114
Tidak ada komentar:
Write Comment