Jangan
tanya berapa kali saya kecewa. Jangan tanya berapa kali saya mencari apa yang
sebenarnya. Jangan pula tanya berapa kali saya ingin tidak peduli pada semua
ini. Tak terhitung. Tapi Alhamdulillah, rasa ingin kembali untuk meluruskan
selalu menang. Tidak ada jamaah malaikat di dunia ini. Ketika salah, justru
saat itulah fungsi dari seorang saudara, mengingatkan. Bukan mencela apalagi
menjauhi. Hal ini sekaligus menampar saya, karena sejatinya saya selama ini
masih berharap pada manusia. Makanya saya kecewa.
Sekarang,
kalau saya melihat saudara-saudara saya kecewa, saya seperti bercermin. Pasti saya
saya lebih menyebalkan dari itu. Apalagi saya kalau ngomong nggak peduli
ngomong sama siapa. Apa yang harus dikatakan, dikatakan saja. Allah, banyak
orang yang sakit hati deh kayaknya. Ampun ya Allah. Semoga dulu teman-teman
saya tidak ada yang pendendam. Semoga nggak ada yang mendoakan buruk. Aamin.
Hari
ini tadi, saya iseng membaca sebuah artikel dari seorang teman. Sepertinya artikel
itu cara dia menumpahkan kekesalannya. Katarsis banget. Pakai sebut merk pula.
Harusnya kalau seperti ini, perlu dipertanyakan, siapa yang santun dan siapa
yang tidak tahu etika penulisan. Ah tapi ya sudahlah, artikel itu sudah
dishare. Semoga ada banyak pembelajaran disana.
Ada
beberapa kisah yang ingin saya tuliskan disini. Tentang mereka yang kecewa tapi
pada akhirnya lepas kendali. Pertama seorang akhwat yang saya belum pernah
bertemu dengannya. Tapi dari apa yang dia tulisnya, siapapun bisa menilainya. Dia
pernah bergabung dalam sebuah kelompok, yang insyaAllah baik. Hingga suatu saat
dia merasa menemukan satu gerakan lain yang menurut dia lebih baik.
Singkat
cerita, dia sudah 7 tahun berkecimpung di gerakan yang pertama. Lalu baru
berapa bulan pindah ke gerakan yang kedua. Kalau boleh saya katakan, dia sombong
dengan apa yang dicapainya. Semoga saja penialian saya salah. Setelah sekian
bulan di gerakan yang baru, tiba-tiba sebuah kalimat yang seharusnya tidak baik
untuk diucapkan keluar darinya, “Saya baru sekian bulan di gerakan ini, tapi
sudah belajar sekian kitab. Sedangkan di gerakan yang kemarin, saya tidak
belajar apa-apa. Hanya kulit arinya saja.” Ah, sayang sekali ya, kitab-kitab
yang dia pelajari justru membuat dia tidak bijak dalam menilai. Tujuh tahun itu
bukan waktu yang singkat, kalau pun hanya kulit arinya saja yang dipelajari,
siapa yang salah? Apakah belajar itu hanya pasif? Menunggu guru ngomong? Hmm…think again.
Kisah
kedua, seorang teman yang katanya dulu begitu cinta dengan sebuah partai.
Sepertinya dia salah memulai. Biasanya ini terjadi dengan mereka yang baru
mengenal gerakan saat dikampus. Sangat militant di awal, tapi sekali kecewa
langsung tenggelam, hilang. Dia mengaku dulu saat masih cinta dengan partainya
itu, dia pernah melakukan kesalahan, yaitu membuat proposal yang fiktif. Katanya
itu suruhan seniornya. Hmm…pliss mari kita kritis disini. Tidak ada paksaan.
Kenapa harus mau menjalankan? Dan sekarang mati-matian menyalahkan partai.
Wait! Itu proposal yang bikin siapa? Yang disalahin siapa? Nah, kan mbulet. Bagaimanapun,
kita ada dimanapun tugasnya bukan hanya menerima, tapi juga mengingatkan,
memperbaiki, menjadikan lebih baik. Kalau memang itu salah, ingatkan. Jangan
dilakukan. Kita tidak sedang hidup di dunia malaikat bukan?
Kadang
dalam hidup kita tidak hanya berlomba siapa yang paling benar, tapi juga
belajar siapa yang lebih santun dalam mengingatkan saudaranya. Berlomba siapa
yang paling bisa mencerminkan islam dari dirinya. Apakah sebuah hal yang
menurutmu baik harus disampaikan dengan tidak baik? Kecewa itu boleh. Berhenti
sejenak itu boleh. Tapi jangan lupa untuk memperbaiki hal yang membuat kita
kecewa. Jangan sampai lupa kalau kita juga harus kembali bergerak.
Kecewa?
Kecewalah dengan anggun.
Teruslah menganggun
Senorita
Tidak ada komentar:
Write Comment