Selasa, Juni 03, 2014

Menjadi Muslim yang Bisa Menempatkan Diri

Sebagai umat yang mayoritas di Negara ini, mau tidak mau umat islam menjadi sorotan tersendiri dibandingkan dengan umat yang lain. Berbagai macam perkerjaan pun akhirnya didominasi oleh umat musli. Mulai dari pekerjaan kantoran, hingga pedagang asongan. Mulai dari penulis, pedagang, penjahit, dokter, guru, dosen, sampai pengemis –kalau bisa disebut pekerjaan-. Akhirnya ini menuntut setiap muslim untuk bisa lebih cerdas dalam membawa diri. Apalagi ketika berada di lingkungan yang plural.

Tidak bisa disangkal kalau saat ini masih banyak muslim yang gagap dalam bergaul. Seolah terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama mereka yang baik, menjadi kelompok yang kaku. Sulit bergaul dengan yang lain. Kubu yang kedua menjadi kelompok yang terlalu luwes. Akhinya toleransi umat beragama menjadi alasan untuk membenarkan banyak hal yang salah.

Kubu Pertama

Mari kita bahas satu persatu. Kubu yang pertama berisi orang yang baik. Atau bisa jadi merasa diri mereka baik. Aurat tertutup rapat. Ibadah kenceng. Menjaga pandangan. Menjaga sentuhan dan lain sebagainya. Tapi selalu berpikir buruk terhadap orang lain. Bahwa orang lain salah, saya yang benar. Mereka belum betul ibadahnya dan saya sudah benar. Begitu seterusnya. Akhirnya ketika bertemu dnegan orang lain yang berbeda, merasa diri paling benar. Tidak bisa membaur. Ingat, membaur dan melebur adalah dua hal yang berbeda. Boleh membaur tapi tidak melebur. Bagaimana pun kita tetap punya identitas diri sebagai umat terbaik.

Kelompok kubu ini banyak ada di masyarakat. Cirinya susah menghentikan sindiran atau bahkan cemohan dalam berbicara. Apalagi kalau berbicara dengan orang yang memang dari awal menurut dia sudah berbeda pendapat. Padahal bisa jadi apa yang sedang dibicarakan adalah sesuai yang bukan inti. Sesuatu yang bukan prinsip. Contohnya tentang partai. Tema ini menjadi tema yang hot apalagi kalau sudah masuk dalam pembahasan halal haram partai. Bisa sampai tiga hari tidak saling sapa. Padahal ini bukan hal yang prinsip dalam islam.

Ciri lainnya, susah untuk menerima masukkan. Bagi beberapa orang, rasa tidak mau kalah adalah sesuatu yang penting untuk dipertahankan. Padahal hal ini sangat tidak baik. Ada orang yang merasa begitu hina saat menerima masukkan. Merasa kalah kalau menerima pendapat orang lain. Pokoknya pendapat saya yang benar, begitu pikirnya. Padahal bisa jadi kalau dia mau sedikit saja berpikir positif, apa yang dikatakan orang lain terhadapnya bukan sesuatu yang salah.

Kubu Kedua

Mereka yang masuk kedalam kubu ini biasanya merasa paling berhak untuk membela orang lain. Salah satu contohya adalah mereka yang kebablasan memahami toleransi anatar umat beragama. Contoh nyata yang ada di Indonesia adalah beberapa oknum anggota KOMNAS HAM di Indonesia. Ketika ada waria –yang jelas-jelas sesuatu yang menyalahi kodrat- dianggap tertekan atau terdzolimi, mereka berlomba menjadi orang pertama yang membela. Tapi ketika umat islam yang dirugikan, mereka kalem saja.

Juga mereka yang kalau mendengar umat lain terdzolimi, langsung semangat berkobar membela. Tapi kalau ada umat muslim yang terdzolimi, dianggap sesuatu yang biasa. Contohnya adalah banyaknya orang yang menghujat saat akhir-akhir ini banyak pengrusakan sarana ibadah umat non muslim oleh orang tidak bertanggungjawab. Padahal disaat yang sama, Palestina terus menyala, dan mereka diam saja. Takut dianggap fanatik kalau membela umat islam. Padahal kalau tahu, umat agama lain itu justru sangat fanatik terhadap agamanya sendiri. Kita ambil contoh mahatma Gandhi. Beliau adalah salah satu orang yang bisa kita contoh pembelaannya terhadap agama. Dulu ada seorang mahasiswi hindu yang menjalin hubungan dengan seorang pemuda islam. Mereka hamper menikah. Tahu apa yang dilakukan seorang mahatma Gandhi? Beliau mendatangi mahasiswi tersebut. Diajak bicara. Saat sang mahasiswi tersebut tidak mau mendengarkannya, beliau tidak mau makan, tidak mau minum. Marah. Sedih. Tidak iklas. Ah andai saja kita bisa begitu.

Selalu Saja Ada Jalan Tengah

Seimbang memang hal yang paling indah. Adil. Begitu juga kita sebagai muslim. Akan sangat baik kalau kita bisa tetap mentaati agama kita, tapi juga tetap bisa bergaul dengan baik. Bukankah islam juga mengajarkan hubungan dengan manusia. Tidak perlu merasa paling baik, tapi juga tidak usah menjadi garda terdepan sebuah keburukan. Islam mengatur dengan baik toleransi umat beragama. Tanpa harus menyakiti. Tanpa harus kita takut dianggap fanatik. Bagaimanapun, pada dasarnya sikap fanatik terhadap agama itu sangat penting. Sayangnya selama ini banyak dari kita yang mengartikan fanatik beragama adalah fanatik terhadap kelompoknya masing-masing.

Masih ada waktu untuk membuktikan bahwa kita umat terbaik. Right?

Senorita
020614

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment