Para era medsos seperti sekarang ini, kita sudah
sangat maklum sekali dengan kecepatan berpindahnya informasi. Apalagi hampir
setiap aplikasi medsos FB, twitter dan sejenisnya pasti dilengkapi dengan
tombol share. Aplikasi chatting pun sama, pasti ada menu ini. Apakah dalam
bentuk, copy paste, broadcast, dan sejenisnya. Tinggal klik-klik semua langsung
bisa disebarkan ke banyak orang.
Tapi,
Kemudahan ini akhirnya membuat banyak informasi
yang simpang siur dan diragukan kebenarannya mudah tersebar luas. Apalagi dengan
budaya kebanyakan masyarakat kita yang punya rasa malas yang cukup tinggi untuk
sekedar mengklarifikasi informasi yang mereka dapatkan. Seamburadul apapun itu.
Memang lebih mudah untuk sekedar baca lalu percaya. Kita hanya tinggal
manggut-manggut, dan menelan mentah-mentah apapun yang kita baca. Hal yang
sering dilupa adalah ketika kita berani menyebar informasi itu adalah, kita
secara tidak langsung sudah tandatangan “kontrak”, apapun yang menjadi akibat
dari tersebarnya informasi ini, kita siap menanggung. Right? Meskipun banyak
yang curang, member embel-embel “Saya tidak bertanggungjawab atas apa yang
tertulis disini”. Padahal dia yang menshare informasi tersebut.
Ada juga yang dengan sengaja klarifikasi di
medsos. Misal ada berita tentang si X yang diberitakan korupsi. Lalu kita
dengan seenaknya klik share dan kita bubuhi kalimat, “Ada yang mau klarifikasi?”.
Oh, man! Begitukah cara klarifikasi yang baik?
Atau mungkin kita beri contoh
yang lebih luas dan global. Misalnya diberitakan sebuah organisasi yang cukup
besar, membuat sebuah statement yang kontroversi. Kita tahu ini meragukan. Tapi
kita masih dengan entengnya klik share
informasi itu, juga dengan embel-embel “Ada yang mau klarifikasi?”. Ini tentu
berbeda ketika kita benar-benar klarifikasi. Datang kepada orang yang memang
layak untuk menjelaskan ini. Bukan sekedar klik share seadanya. Sekali lagi
karena kita tidak tahu seperti apa orang-orang yang membaca berita yang kita
bagikan.
Beberapa waktu yang lalu saya angot. Sebel. Kesel.
Ada beberapa temen yang entah kenapa suka banget men-share berita yang dari
sisi kevalidannya diragukan. Apalagi menjelang pilpres (bab ini ingin saya
tulis dalam satu tulisan khusus), dan serangan Israel ke Palestina. Isu Palestina
ini cukup menyedot perhatian sebagian besar umat muslim dan sebagian
non-muslim. Bagi umat muslim jelas alasannya. Bagi yang non-muslim (sepertinya)
lebih pada konflik kemanusiaan yang terjadi.
Ini isu yang sangat sensitif. Ada isu agama disana. Sedikit sentilan
saja, api bisa langsung tersulut. Hot! Berita apapun, media apapun rasanya jadi
kawan kalau pemberitaannya mendukung apa yang diyakini. Begitu juga sebaliknya.
Nah, disinilah etika, adab, sampai intelelektualitas kita diuji. Baik itu
intelektualitas dari segi ilmu agama, maupun ilmu tentang apa yang sedang
terjadi, dalam hal ini Palestina.
Banyak yang main hujat, hina dina, sampai muncul
kata-kata kotor mengikuti berita atau informasi yang dishare. Secara etika
tentu saja ini sudah Zonk! Secara adab, seseorang yang beradab tentu saja tahu
kata apa yang layak diucapkan dan yang tidak. Secara intelektualitas agama,
tidak ada agama mana pun yang jelas-jelas mengajarkan hina dina apalagi islam. Kita
tidak membahas ini secara sejarah teologi masing-masing agama. Secara intelektualitas
ilmu, tergantung berita atau info apa yang dishare. Validkah? Tangan keberapa? Atau
media apa yang menulis atau meberitakannya?
Saya ambil contoh begini, kemarin ada teman
menshare sebuah tulisan singkat di WA. Isinya tentang lambang pita hitam yang
oleh beberapa orang digunakan sebagai lambang duka untuk Palestina. Dalam info
yang di bagikan kepada saya mengatakan bahwa ini salah. Ini symbol salah. Oke fine,
saya pun tidak menggunakan symbol ini untuk menunjukkan duka atas tragedy Palestina.
Karena ini menurut saya ini sudah banyak digunakan orang. Heee. Jadi saya pun
tidak merasa disinggung atau sejenisnya. Hanya saja info yang dia berikan
adalah sebuah info yang sangat informative, bukan sekedar ajakan, tapi
menyalahkan sesuatu. Sayangnya saat saya ganti bertanya, “kamu dapat info BC
(broadcast) ini dari siapa?” dia tidak membalas sampai sekarang.
Nah, pada kasus ini mungkin saja informasinya
benar, tapi cara untuk mendapatkannya yang perlu dipertanyakan. Sumbernya apa?
Buktinya apa? Minimal, mana link rujukan yang bisa kita baca untuk menguatkan
informasi ini dan seterusnya.
Hal-hal ini yang sering kita lupakan. Main asal percaya
saja pada sebuah berita atau informasi. Padahal entah itu sumbernya dari mana. Atau
jangan-jangan ada orang yang asal ketik lalu dipublish. Ajaibnya lagi, saat ada
yang tanya kebenaran tentang informasi itu, banyak yang dengan entengnya
bilang, “Nggak tahu, aku juga cuma dapat dari temen ”. Nah! Dapat poinnya?
Oke, semoga besok-besok kita lebih selektif
dalam menyebarkan informasi dan berita. ^^
Senorita
1454|12062014
Tidak ada komentar:
Write Comment