Credit here |
Beberapa waktu lalu saya sempat mengeluarkan
kalimat ngaco kepada seorang teman. Sebuah perkataan yang sampai sekarang masih
saya insyafi. Menuliskannya dengan tinta merah dan tebal. Bahwa saya tidak
boleh mengulanginya lagi. Tahu kalimat apa yang saya katakan? “Saya nggak suka
jadi perempuan”. Well, saya tidak sepenuhnya membenci peran saya. Saya sejujurnya
sangat menikmati peran saya sebagai seorang perempuan yang konon katanya lebih
dominan perasaan dari pada logika. Tapi benarkah begitu? Menurut saya itu
mitos. Hehehe.
Tahu jawaban yang diberikan teman saya untuk
mematahkan kegilaan saya? Simple tapi manjur. “”Hei luwih penak momong anak,
dari pada macul!” Maksudnya lebih enak mendidik anak dari pada bekerja. Saya
yang waktu itu sedang angot, anyel banget. Langsung reflek ketawa. Ya Allah,
kayak gini nih kalau ngedumel sama orang yang sikap dan sifatnya sama-sama
macho, padahal sama-sama cewek. Simple tapi ngena. Hingga akhirnya saya pun
kembali (ini bukan yang pertama) menyadari bahwa menjadi laki-laki pun
sebenarnya tidak mudah. Bagi laki-laki yang menyadari itu, pasti tidak sempat
untuk marah dan berbuat kasar pada perempuan-perempuan disekitarnya. Karena
tidak ada waktu.
Selanjutnya, saya kembali menyadari, bahwa sebab
saya marahlah yang tidak pada porsinya. Yap, waktu itu saya lagi angot banget
dengan seseorang (mungkin karena beliau sudah berkeluarga), yang menurut saya
tidak punya target hidup sendiri. Semua ngikut dengan suaminya. Well saya yang
mungkin sampai sekarang belum pernah “patuh” kepada laki-laki (selain bapak
saya) jadi merasa, “Ih, kok gini banget sih! Masak mau berkembang harus
mengikuti alarm dari suaminya. Iya kalau apa yang ingin dikembangkan adalah hal
yang sama. Kalau beda?”.
Oh ternyata sudut pandang kami sangat berbeda.
Bisa jadi karena sekarang saya sudah memilih dunia yang bisa masuk ke dunia
manapun. Anggaplah seni menulis. Jadi, saya pikir bukan masalah kalau nantinya
saya harus bersama orang yang punya dunia yang begitu berbeda, selama saling
mendukung, bukan saling mematikan. Sedangkan sudut pandang beliau adalah,
seorang perempuan harus tunduk patuh semuanya terhadap suami termasuk dunia apa
yang ingin digeluti. Wew, saya tidak bisa membayangkan kalau sampai saya tidak
boleh diijinkan menulis lagi. Bisa-bisa tiap hari saya ngunyah batu bata dan
pecahan genteng saking angotnya. Hahaha.
Sejak saat itu saya menginsyafi diri saya
sendiri, jadi apapun itu, seorang perempuan harus bisa jadi ibu yang baik dan
menjadikan anak-anaknya baik. Mungkin tergantung pribadi masing-masing orang
juga, ada orang yang bisa optimal dengan waktu yang begitu luang. Tapi ada juga
yang semakin padat jadwalnya, justru dia semakin produktif. Nah, saya termausk
orang yang langsung Zonk kalau sehari saja berdiam diri. Merasa jadi orang
paling tidak berguna didunia. #lebay.
Ngobrolin tentang ibu, entah kenapa tema ini
muncul begitu saja dikepala saya. Saat itu saya sedang ikut sebuah forum
tentang liberalisasi di Indonesia. Saya benar-benar tercengang ketika melihat
begitu banyak fakta. Merasa, “Ih kok aku nggak tahu apa-apa gini ya.” Apalagi
ketika sang pembicara mengatakan sebuah kalimat, “Nah, bisa kita lihat kalau Negara
kita sekarang seperti ini, bagaimana kondisinya 10 tahun kedepan, atau 20 tahun
ke depan. Saat anak-anak kita mulai tumbuh.” Beuh, rasanya saya langsung ingin
pura-pura mati. Merasa Zonk banget. Kemana aja broo, kayak ginian kok nggak
tahu. Terus ntar kalau kamu sudah punya anak dan anak-anakmu nanya, kamu mau
bilang, “Googling aja dek.” Alamak ibu macam apa iniii -______- “ .
Jadi harus secerdas apakah seorang perempuan?
Sangat cerdas, harus! No Kompromi. Bagaimana pun pertalian seorang perempuan dengan
anak-anaknya adalah pertalian yang paling dekat. Proses berpikir kita akan
banyak diadopsi oleh anak-anak kita. Maka menjadi perempuan yang multi itu
hukumnya wajib.
Apakah harus tahu semuanya? Minimal dasarnya.
Bukan sebuah hal yang haram seorang perempuan tahu bagaimana cara merangkai
listrik sederhana. Atau tahu cara mengganti genteng bocor. Bisa mengganti busi
motor. Tahu dunia perfilman, permusikkan, politik, dunia remaja dan sejenisnya.
Melihat semakin luasnya pergaulan anak nantinya.
Juga bukan hal yang haram kalau ada laki-laki
yang mau belajar cara memasak sederhana, memandikan anak, membersihkan rumah,
dan beberapa pekerjaan yang konon katanya adalah pekerjaan perempuan. Apakah
nantinya memasak, memandikan anak, membersihkan rumah adalah tugasnya? Tidak! Ini
hanya akan membuat para laki-laki bisa berempati lebih kepada para perempuan.
Bahwa pekerjaan perempuan yang katanya sepele dan tidak menghasilkan uang itu,
cukup menguras waktu dan tenaga. Hanya untuk menumbuhkan empati. Tidak lebih! Pun
kalau nantinya mau ikut membantu mengerjakan, biar itu menjadi bonus untuk para
perempuan. Namanya bonus kan tidak setiap saat didapatkan. THR aja setahun
sekali. Jadi untuk para laki-laki nggak usah parno, Untuk perempuan juga jangan
berharap lebih bahkan menuntut.
Mungkin akan ada yang bertanya, “lalu apa
gunanya suami?”. Banyak! Ingat, dia ikut menanggung dosa dari apa yang ikut
kita perbuat. Itu sudah lebih dari cukup untuk kita menuntut keadilan bukan? Lagi
pula, akan lebih baik kalau kita berhenti berpikir terbalik. Kita seringnya
berpikir mana hak-ku. Akhirnya yang kita pelajari adalah kewajiban dari orang
lain. Laki-laki pun juga banyak yang terbalik kok, seringnya berpikir tentang
haknya sendiri dan belajar betul tentang kewajiban perempuan. Wajar kalau
akhirnya saling menuntut. Yuk sama-sama menginsyafi itu. Pelajari kewajiban
masing-masing. Saya pun belum lama insyaf :D.
Saya gemesss betul kalau ada perempuan yang
hanya sekedar menunjukkan kecantikan dan kelembutannya dihadapan laki-laki.
Duh, itu kan bukan siapa-siapamu. #mewek. Ya mungkin dia khilaf, tapi kalau ini
terjadi pada lebih dari 2 orang gimana? Khilaf berjamaah? #eh. Padahal dia akan
jauh lebih cantik kalau lebih rajin memperbanyak lipatan di otaknya. Dari pada
sekedar bermanis-manis untuk setiap orang.
Jadi nggak boleh terlihat cantik nih? Nggak!
Kan latihan buat jadi yang cantik buat suami.
Masa nggak boleh? Boleh. Tapi tidak untuk dibawa keluar atau dipertunjukkan
keluar (misalnya dnegan dipublish).
Entar nggak ada yang lihat donk! -_____- jadi
niatnya harus pengen dilihat laki-laki nih.
Terus kapan latihan dandan? Pas mau tidur, hanya
boleh dilihat oleh keluarga yang mahram saja. Kalau jadi anak kost, tetap harus
hati-hati. Waspada dengan foto yang diambil menggunakan Hp teman. Bagi yang nyaman-nyaman
saja dnegan kecantikan yang boleh dilihat sembarang orang, dia akan begitu
ringan untuk upload foto tersebut. Padahal nggak ada pentingnya. Kalau hanya
untuk diberikan kepada yang difoto, kan bisa via pesan pribadi. Kan?
Jadi, ayuk bareng-barenga jadi cerdas. Cerdas
memilih dan memilah mana yang boleh dan mana yang tidak. Apa ditempatkan
dimana. Apa ditunjukkan waktu kapan. Kapan bisa belemah lembut ria dan kepada
siapa. Ini termasuk kecerdasan emosional juga. Bisa memilih dan memilah.
Menjadi cerdas itu jauh lebih utama dari sekedar
cantik secara fisik. Karena bagian tubuh yang paling menarik adalah otak. Cakep
kalau diajak ngomong suka nggak nyambung, ya mending nggak deh. Hehehe.
So, siap jadi ibu cerdas? Tidak ada ilmu yang
tidak bermanfaat. Apapun itu!
Senorita
1546|14072014
Tidak ada komentar:
Write Comment