Senin, Juli 14, 2014

Siap Jadi Ibu? Bersiaplah Jadi Cerdas


Credit here
Saya mengawali tulisan kali ini dengan sebuah syukur. Syukur karena saya mengenal agama ini. Meskipun belum cukup baik. Bersyukur karena Dia memperkenankan saya menyadari keberadaan saya sebagai manusia yang punya tanggungjawab atas diri saya dan lingkungan saya. Bukan sekedar bertindak semau gue. Kalau lo nggak suka, silahkan pergi. Bukan. Bukan begitu. Ya meskipun pikiran itu sangat sering terpikirkan. Apalagi kalau berhadapan dengan orang-orang bikin angot. Rasanya pengen tak cokot (gigit). Hahaha.

Beberapa waktu lalu saya sempat mengeluarkan kalimat ngaco kepada seorang teman. Sebuah perkataan yang sampai sekarang masih saya insyafi. Menuliskannya dengan tinta merah dan tebal. Bahwa saya tidak boleh mengulanginya lagi. Tahu kalimat apa yang saya katakan? “Saya nggak suka jadi perempuan”. Well, saya tidak sepenuhnya membenci peran saya. Saya sejujurnya sangat menikmati peran saya sebagai seorang perempuan yang konon katanya lebih dominan perasaan dari pada logika. Tapi benarkah begitu? Menurut saya itu mitos. Hehehe.

Tahu jawaban yang diberikan teman saya untuk mematahkan kegilaan saya? Simple tapi manjur. “”Hei luwih penak momong anak, dari pada macul!” Maksudnya lebih enak mendidik anak dari pada bekerja. Saya yang waktu itu sedang angot, anyel banget. Langsung reflek ketawa. Ya Allah, kayak gini nih kalau ngedumel sama orang yang sikap dan sifatnya sama-sama macho, padahal sama-sama cewek. Simple tapi ngena. Hingga akhirnya saya pun kembali (ini bukan yang pertama) menyadari bahwa menjadi laki-laki pun sebenarnya tidak mudah. Bagi laki-laki yang menyadari itu, pasti tidak sempat untuk marah dan berbuat kasar pada perempuan-perempuan disekitarnya. Karena tidak ada waktu.

Selanjutnya, saya kembali menyadari, bahwa sebab saya marahlah yang tidak pada porsinya. Yap, waktu itu saya lagi angot banget dengan seseorang (mungkin karena beliau sudah berkeluarga), yang menurut saya tidak punya target hidup sendiri. Semua ngikut dengan suaminya. Well saya yang mungkin sampai sekarang belum pernah “patuh” kepada laki-laki (selain bapak saya) jadi merasa, “Ih, kok gini banget sih! Masak mau berkembang harus mengikuti alarm dari suaminya. Iya kalau apa yang ingin dikembangkan adalah hal yang sama. Kalau beda?”.

Oh ternyata sudut pandang kami sangat berbeda. Bisa jadi karena sekarang saya sudah memilih dunia yang bisa masuk ke dunia manapun. Anggaplah seni menulis. Jadi, saya pikir bukan masalah kalau nantinya saya harus bersama orang yang punya dunia yang begitu berbeda, selama saling mendukung, bukan saling mematikan. Sedangkan sudut pandang beliau adalah, seorang perempuan harus tunduk patuh semuanya terhadap suami termasuk dunia apa yang ingin digeluti. Wew, saya tidak bisa membayangkan kalau sampai saya tidak boleh diijinkan menulis lagi. Bisa-bisa tiap hari saya ngunyah batu bata dan pecahan genteng saking angotnya. Hahaha.

Sejak saat itu saya menginsyafi diri saya sendiri, jadi apapun itu, seorang perempuan harus bisa jadi ibu yang baik dan menjadikan anak-anaknya baik. Mungkin tergantung pribadi masing-masing orang juga, ada orang yang bisa optimal dengan waktu yang begitu luang. Tapi ada juga yang semakin padat jadwalnya, justru dia semakin produktif. Nah, saya termausk orang yang langsung Zonk kalau sehari saja berdiam diri. Merasa jadi orang paling tidak berguna didunia. #lebay.

Ngobrolin tentang ibu, entah kenapa tema ini muncul begitu saja dikepala saya. Saat itu saya sedang ikut sebuah forum tentang liberalisasi di Indonesia. Saya benar-benar tercengang ketika melihat begitu banyak fakta. Merasa, “Ih kok aku nggak tahu apa-apa gini ya.” Apalagi ketika sang pembicara mengatakan sebuah kalimat, “Nah, bisa kita lihat kalau Negara kita sekarang seperti ini, bagaimana kondisinya 10 tahun kedepan, atau 20 tahun ke depan. Saat anak-anak kita mulai tumbuh.” Beuh, rasanya saya langsung ingin pura-pura mati. Merasa Zonk banget. Kemana aja broo, kayak ginian kok nggak tahu. Terus ntar kalau kamu sudah punya anak dan anak-anakmu nanya, kamu mau bilang, “Googling aja dek.” Alamak ibu macam apa iniii -______- “ .

Jadi harus secerdas apakah seorang perempuan? Sangat cerdas, harus! No Kompromi. Bagaimana pun pertalian seorang perempuan dengan anak-anaknya adalah pertalian yang paling dekat. Proses berpikir kita akan banyak diadopsi oleh anak-anak kita. Maka menjadi perempuan yang multi itu hukumnya wajib.
Apakah harus tahu semuanya? Minimal dasarnya. Bukan sebuah hal yang haram seorang perempuan tahu bagaimana cara merangkai listrik sederhana. Atau tahu cara mengganti genteng bocor. Bisa mengganti busi motor. Tahu dunia perfilman, permusikkan, politik, dunia remaja dan sejenisnya. Melihat semakin luasnya pergaulan anak nantinya.

Juga bukan hal yang haram kalau ada laki-laki yang mau belajar cara memasak sederhana, memandikan anak, membersihkan rumah, dan beberapa pekerjaan yang konon katanya adalah pekerjaan perempuan. Apakah nantinya memasak, memandikan anak, membersihkan rumah adalah tugasnya? Tidak! Ini hanya akan membuat para laki-laki bisa berempati lebih kepada para perempuan. Bahwa pekerjaan perempuan yang katanya sepele dan tidak menghasilkan uang itu, cukup menguras waktu dan tenaga. Hanya untuk menumbuhkan empati. Tidak lebih! Pun kalau nantinya mau ikut membantu  mengerjakan, biar itu menjadi bonus untuk para perempuan. Namanya bonus kan tidak setiap saat didapatkan. THR aja setahun sekali. Jadi untuk para laki-laki nggak usah parno, Untuk perempuan juga jangan berharap lebih bahkan menuntut.

Mungkin akan ada yang bertanya, “lalu apa gunanya suami?”. Banyak! Ingat, dia ikut menanggung dosa dari apa yang ikut kita perbuat. Itu sudah lebih dari cukup untuk kita menuntut keadilan bukan? Lagi pula, akan lebih baik kalau kita berhenti berpikir terbalik. Kita seringnya berpikir mana hak-ku. Akhirnya yang kita pelajari adalah kewajiban dari orang lain. Laki-laki pun juga banyak yang terbalik kok, seringnya berpikir tentang haknya sendiri dan belajar betul tentang kewajiban perempuan. Wajar kalau akhirnya saling menuntut. Yuk sama-sama menginsyafi itu. Pelajari kewajiban masing-masing. Saya pun belum lama insyaf :D.

Saya gemesss betul kalau ada perempuan yang hanya sekedar menunjukkan kecantikan dan kelembutannya dihadapan laki-laki. Duh, itu kan bukan siapa-siapamu. #mewek. Ya mungkin dia khilaf, tapi kalau ini terjadi pada lebih dari 2 orang gimana? Khilaf berjamaah? #eh. Padahal dia akan jauh lebih cantik kalau lebih rajin memperbanyak lipatan di otaknya. Dari pada sekedar bermanis-manis untuk setiap orang.

Jadi nggak boleh terlihat cantik nih? Nggak!

Kan latihan buat jadi yang cantik buat suami. Masa nggak boleh? Boleh. Tapi tidak untuk dibawa keluar atau dipertunjukkan keluar (misalnya dnegan dipublish).

Entar nggak ada yang lihat donk! -_____- jadi niatnya harus pengen dilihat laki-laki nih.

Terus kapan latihan dandan? Pas mau tidur, hanya boleh dilihat oleh keluarga yang mahram saja. Kalau jadi anak kost, tetap harus hati-hati. Waspada dengan foto yang diambil menggunakan Hp teman. Bagi yang nyaman-nyaman saja dnegan kecantikan yang boleh dilihat sembarang orang, dia akan begitu ringan untuk upload foto tersebut. Padahal nggak ada pentingnya. Kalau hanya untuk diberikan kepada yang difoto, kan bisa via pesan pribadi. Kan?

Jadi, ayuk bareng-barenga jadi cerdas. Cerdas memilih dan memilah mana yang boleh dan mana yang tidak. Apa ditempatkan dimana. Apa ditunjukkan waktu kapan. Kapan bisa belemah lembut ria dan kepada siapa. Ini termasuk kecerdasan emosional juga. Bisa memilih dan memilah.

Menjadi cerdas itu jauh lebih utama dari sekedar cantik secara fisik. Karena bagian tubuh yang paling menarik adalah otak. Cakep kalau diajak ngomong suka nggak nyambung, ya mending nggak deh. Hehehe.

So, siap jadi ibu cerdas? Tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat. Apapun itu!

Senorita

1546|14072014

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment