Gerimis membungkus pagi. Sejauh memandang, hanya ada
tetes air. Tidak lebat. Tidak menghalangi pencuri bunga mawarku.
“WHAT? Hilang lagi? ” Aku yang baru bangun tidur
langsung blingsatan. Saat membuka jendela kamar. Melihat batang bunga mawar
putihku. Patah. Raib mahkotanya.
Ini bukan kali pertama bunga mawarku hilang. Sudah yang
kesepuluh, dan aku selalu tidak pernah tahu siapa yang mengambil. Well, mungkin
karena aku selalu tidur sehabis subuh dan si pencuri selalu beraksi pada
jam-jam itu. Apa mungkin tandanya aku tidak boleh tidur habis subuh? Ah, aku kan
tidak sengaja. Batinku membela.
Aku setengah berlari menuju halaman . Tepat di depan
kamarku.
“Kurang ajar! Siapa yang berani mengambil
mawar-mawarku!?” Aku ngamuk. Kepalaku serasa berasap.
Aku bergegas menuju ke jalan. Berharap si pencuri
belum jauh. Nihil! Jalanan sepi. Sepagi
ini belum ada manusia yang memulai hidupnya. Apalagi di komplek perumahan tengah
ibukota..
“Argh!” Ini yang terakhir. Tidak boleh terjadi lagi.
--
Keesokan harinya.
Rinai membalut kota. Sejak tadi malam gerimis tak
ada henti. Tidak lebat. Tapi cukup menjadi alasan orang yang mati hatinya, memilih bergumul dengan
selimut.Dari pada wudhu dan menghadap
Robb-nya.
Pagi ini aku
sekuat tenaga menahan kantuk. Sebelum adzan terdengar aku sudah menyiapkan tiga
gelas kopi. Lampu kamar aku matikan, seperti biasa. Biar pencuri itu tidak
tahu, kalau aku mengintainya. Begitu adzan terdengar, aku langsung subuh. Kilat.
Tanpa salat sunnah. Aku nggak mau
mawarku hilang lagi.
Aku mengintip keluar dari sela gorden. Sepi. Tidak
ada yang datang. Sepuluh menit, 20 menit, 30 menit, lewat begitu saja, tak ada
yang datang.
“Kurang ajar!
Dia mempermainkanku.” Batinku. Aku berjalan menuju tempat tidur. Ngantuk. Tiga
gelas kopi, tak ada gunanya.
Tepat sebelum aku tumbang dan tertidur, tetiba
terdengar suara pintu gerbang bergeser.
“Nah! Habis
kau sekarang.” Aku tersenyum sinis.Berjingkat kudekati celah gorden.
“WHAT? Dia kan anak kecil yang suka memulung di
komplek ini.” Aku berbisik.
Seorang anak kira-kira umur 10 tahun,
mengendap-endap. Bak kucing yang mau mencuri ikan. Melihat semua koleksi
mawarku. Memilih yang paling besar dan paling bagus warnanya. Mengeluarkan gunting
dari sakunya, dan klek. Mawarku sudah terpotong.
Aku langsung lari kehalaman. Kali ini harus
tertangkap. Aku mendidih.
“HEI!” teriakku begitu kubuka pintu depan.
Tanpa aba-aba, dia langsung lari, melesat. Aku pun
sama. Bagaimanapun caranya, aku harus menangkapnya. Dia menuju pemukiman kumuh
di belakang komplek. Begitu masuk pemukiman kumuh, bau busuk menguar. Aku nyaris
muntah. Dia terus berlari. Aku terhuyung, kehabisan napas.
“HEI!”
Aku paksa kakiku bergerak. Aku bernapas dengan
mulut. Tidak sanggup menghirup bau busuk disini. Aku sempat melihat anak itu
masuk sebuah rumah, lalu dia menutup pintu. Sekelebat kulihat rona takut.
Tok..tok..tok..
“BUKA!” Aku mendidih.
“BUKA!” Hening.
Aku sedikit mendorong, “Eh.” Ternyata tidak dikunci. Dengan sekali hentak, pintu
pintu terbuka. Tahu apa yang kulihat? Tumpukan bunga mawar di depan TV. Aku
mendidih. Bunga yang selama ini kurawat, hanya dibiarkan mengering di depan TV?
Anak itu duduk ketakutan. Memeluk dengkulnya yang
kurus, dipojok ruangan. Belum sempurna aku membuka mulut untuk sumpah serapah.
“Maaf kak,
aku hanya ingin ikut berduka. Pada setiap orang yang mati setiap hari di
Palestina.”
Aku tercekat.
Senorita
0655|15072014
Tidak ada komentar:
Write Comment