Selasa, Juli 15, 2014

Mawar Untuk Palestina

Gerimis membungkus pagi. Sejauh memandang, hanya ada tetes air. Tidak lebat. Tidak menghalangi pencuri bunga mawarku.

“WHAT? Hilang lagi? ” Aku yang baru bangun tidur langsung blingsatan. Saat membuka jendela kamar. Melihat batang bunga mawar putihku. Patah. Raib mahkotanya.

Ini bukan kali pertama bunga mawarku hilang. Sudah yang kesepuluh, dan aku selalu tidak pernah tahu siapa yang mengambil. Well, mungkin karena aku selalu tidur sehabis subuh dan si pencuri selalu beraksi pada jam-jam itu. Apa mungkin tandanya aku tidak boleh tidur habis subuh? Ah, aku kan tidak sengaja. Batinku membela.

Aku setengah berlari menuju halaman . Tepat di depan kamarku.

“Kurang ajar! Siapa yang berani mengambil mawar-mawarku!?” Aku ngamuk. Kepalaku serasa berasap.
Aku bergegas menuju ke jalan. Berharap si pencuri belum jauh. Nihil! Jalanan sepi.  Sepagi ini belum ada manusia yang memulai hidupnya. Apalagi di komplek perumahan tengah ibukota..
“Argh!” Ini yang terakhir. Tidak boleh terjadi lagi.
--
Keesokan harinya.

Rinai membalut kota. Sejak tadi malam gerimis tak ada henti. Tidak lebat. Tapi cukup menjadi alasan  orang yang mati hatinya, memilih bergumul dengan selimut.Dari pada  wudhu dan menghadap Robb-nya.

Pagi ini aku sekuat tenaga menahan kantuk. Sebelum adzan terdengar aku sudah menyiapkan tiga gelas kopi. Lampu kamar aku matikan, seperti biasa. Biar pencuri itu tidak tahu, kalau aku mengintainya. Begitu adzan terdengar, aku langsung subuh. Kilat. Tanpa salat sunnah.  Aku nggak mau mawarku hilang lagi.
Aku mengintip keluar dari sela gorden. Sepi. Tidak ada yang datang. Sepuluh menit, 20 menit, 30 menit, lewat begitu saja, tak ada yang datang.

Kurang ajar! Dia mempermainkanku.” Batinku. Aku berjalan menuju tempat tidur. Ngantuk. Tiga gelas kopi, tak ada gunanya.

Tepat sebelum aku tumbang dan tertidur, tetiba terdengar suara pintu gerbang bergeser.

Nah! Habis kau sekarang.” Aku tersenyum sinis.Berjingkat kudekati celah gorden.

“WHAT? Dia kan anak kecil yang suka memulung di komplek ini.” Aku berbisik.

Seorang anak kira-kira umur 10 tahun, mengendap-endap. Bak kucing yang mau mencuri ikan. Melihat semua koleksi mawarku. Memilih yang paling besar dan paling bagus warnanya. Mengeluarkan gunting dari sakunya, dan klek. Mawarku sudah terpotong.

Aku langsung lari kehalaman. Kali ini harus tertangkap. Aku mendidih.

“HEI!” teriakku begitu kubuka pintu depan.

Tanpa aba-aba, dia langsung lari, melesat. Aku pun sama. Bagaimanapun caranya, aku harus menangkapnya. Dia menuju pemukiman kumuh di belakang komplek. Begitu masuk pemukiman kumuh, bau busuk menguar. Aku nyaris muntah. Dia terus berlari. Aku terhuyung, kehabisan napas.

“HEI!”

Aku paksa kakiku bergerak. Aku bernapas dengan mulut. Tidak sanggup menghirup bau busuk disini. Aku sempat melihat anak itu masuk sebuah rumah, lalu dia menutup pintu. Sekelebat kulihat rona takut.

Tok..tok..tok..

“BUKA!” Aku mendidih.

“BUKA!” Hening.

Aku sedikit mendorong, “Eh.”  Ternyata tidak dikunci. Dengan sekali hentak, pintu pintu terbuka. Tahu apa yang kulihat? Tumpukan bunga mawar di depan TV. Aku mendidih. Bunga yang selama ini kurawat, hanya dibiarkan mengering di depan TV?

Anak itu duduk ketakutan. Memeluk dengkulnya yang kurus, dipojok ruangan. Belum sempurna aku membuka mulut untuk sumpah serapah.

“Maaf  kak, aku hanya ingin ikut berduka. Pada setiap orang yang mati setiap hari di Palestina.”


Aku tercekat.

Senorita
0655|15072014

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment