Allah menciptakan satu mulut dan dua telinga, agar
kita lebih sering mendengar ketimbang bicara. Pun dua tangan, agar lebih biasa
menuliskan dan melakukan kebaikan (teladan), bukan hanya membicarakannya saja.
Dia dekatkan mulut dan telinga, agar apa-apa yang keluar dari mulut kita, maka kitalah
yang pertama kali mendengarnya. Itu artinya, kitalah orang pertama yang wajib
‘taat’ pada ‘titah’ yang keluar dari mulut kita. Tandanya pun sudah begitu
jelas, bahwa Allah begitu besar kebenciannya kepada mereka yang berkata namun
tidak melakukannya. Sungguh, semuanya saling terhubung.
Begitu pula tentang satu hal ini, saling bernasehat.
Bukan karena mulut kita yang paling dekat dengan telinga kita lantas kita mudah
berkata sesuka hati. Begitu kuat berpegang, ‘katakan walau itu pahit’. Namun
melupakan bahwa ada pula teladan dan perintah, ‘bicaralah dengan bahasa kaum’.
Artinya apa? Ini bukan sekedar berkata ‘tidak!’ atau ‘tidak boleh!’ Namun
bagaimana caranya apa yang kita katakan mudah dicerna dan diterima dengan baik.
Sering karena keterbatasan kita-atau mungkin saya
saja-, menggebu-gebu untuk menyampaikan kebenaran yang kita yakini, hingga
akhirnya melupakan bahwa ada adab-adab yang harus dipenuhi saat bernasehat.
Terlebih bila itu kepada mereka yang kita anggap salah, atau berbeda dari apa
yang kita yakini. Maka keluarlah nasehat bagai lahar gunung, deras dan panas.
Menerjang semua yang ada dijalannya, membakar hangus setiap yang merintanginya.
Manusia memang sulit untuk menjadi adil untuk semua
yang ada disekitarnya. Bukan hanya dalam hal bertindak, namun juga
menilai. Banyak dari kita –bisa jadi
saya juga- yang timpang menilai ketika berhadapan dengan orang atau kelompok
yang tidak kita sukai. Hingga akhirnya yang keluar dari mulut kita bukan
nasehat namun dzon atau prasangka. Terlebih sering kalimat atau kata sejenis, ‘kamu/dia
salah’,keluar pertama kali saat melihat atau mendengar orangatau keompok yang
tidak kita sukai berlaku berbeda dengan apa yang kita lakukan.
Menyampaikan kebenaran itu baik, namun sungguh lebih
baik bila itu disampaikan dengan perlahan dan dengan bahasa yang mudah dicerna
dan dipahami. Tergantung dengan siapa kita sedang berkomunikasi.
Beberapa waktu ini banyak yang menyentil tentang
anti arab atau anti islam. Sedikit menyerempet dengan hal tersebut, banyak bagian
dari orang baik yang memilih membuat ‘klan’ sendiri, dibanding membaur dengan
yang lain. Menggunakan alasan bahwa bahasa Alquran adalah bahasa arab, lantas
menggunakan bahasa tersebut dimanapun dan dengan siapapun. Hingga akhirnya
terbentuklah ‘klan-klan’ baru yang saling berbeda bahasa. Hingga akhirnya,
mereka yang paham kebaikan, sulit untuk masuk ke banyak lingkungan karena tidak
mau menggunakan bahasa yang biasa digunakan lingkungan-lingkungan tersebut
(bahasa kaum). Lupa bahwa Allah menciptakan makhluknya bersuku-suku adalah
untuk saling mengenal.
Sungguh hubungan ini mulai terlihat. Kita diminta untuk
menyampaikan kebaikan meski itu pahit, namun ada anjuran untuk menggunakan
bahasa kaum, pada sisi lain kita diwajibkan untuk menilai adil terhadap
siapapun. Bukan karena membenci lantas membuat kita berlaku tidak adil. Sehingga
saat kita menyampaikan kebaikan, yang muncul adalah kebaikan, bukan hardikan.
Sebab, kita bersaudara. Makin jelas runutan dari semua ini.Benarlah nasehat itu,
selalu ada cara baik untuk melakukan hal yang baik.
Poinnya pentinya ada dua:
1. Berbicara dengan
bahasa kaum, atau bahasa yang umum digunakan
2. Menilai dengan adil
apapun dan siapapun, sesuai porsi sebenarnya. Bukan dari cetakan kita saja,
namun cetakan orang lain juga. Sebab ukuran kita tidak sama.
Tidak ada komentar:
Write Comment